Rabu, 26 Oktober 2011

SOCIAL MEDIA AUDIT - Kampanye Viral


Mungkin terlalu berlebihan bila mengatakan – dengan makin berkembangna teknik marketing alternatif -- marketing tradisional sudah tidak efektif lagi atau kurang efektif. Lalu bagaimana mengintegrasikannya?


Word of Mouth sebenarnya bukanlah hal baru. Namun belakangan berkembang luar biasa. Sebelum media massa – seperti koran, dan sebagainya – berkembang, masyarakat sudah mengenal tradisi word of mouth dalam pertukaran barang dan sebagainya. Komunikasi interpersonal dan massa dilakukan langsung tanpa perantara. Kendalanya, masih ada batasan ruang dan waktu dimana komunikasi hanya bersifat local dan ada jeda.

Setelah media massa konvensional berkembang, batasan ruang berkurang namun masih dibatasi oleh waktu. Koran bisa menyebarkan informasi lebih luas, namun masih terkendala oleh jadwal terbit. Kalaupun jadwa terbit dipercepat, masih terkendala oleh proses cetak dan edar. Kemudia televisi berkembang, itu pun masih ada kendala. Ruang dan waktu  mungin tertasi, tapi kebutuhan orang untuk mengekpresikan opininya tidak terpenuhi karena televisi masih bersifat linear atau satu arah. Pemirsa tidak dapat protes secara langsung manakala menyaksikan tayangan yang tidak berkenan.

Kemudian internet ditambah dengan teknologi mobile membuat komunikasi interpersonal – meski diperantai – menembus atasan ruang, waktu, dan batasan interaksi. Prkembangan internet menciptakan wahana baru berupa media sosial. Media sosial adalah tempat orang dari berbagai ketertarikan berkumpul secara online. Mereka berbagi ide, komentar dan pendapat. Media sosial disini termasuk MySpace, Gather, Facebook, BlackPlanet, Eons, LinkedIn, dan ratusan bahkan ribuan lainnya. Ada yang branded seperti Amazon, Netflix, dan eBay., ada yang personal. Dengan kata lain, media sosial merupakan media tanpa bayar yang bisa dikbuat oleh individu atau perusahaan.

Jadilah awareness terhadap word of mouth tumbuh secara eksponensial di kalangan media, praktisi marketing dan pasar. Word of mouth berkembang dengan segala bentuk turunannya. Menurut Dr. Paul Marsden, profesor dari London Scholl of Economic -- salah satu penulis buku Connected Marketing, memang ada kemiripan antara word of mout marketing, buzz atau viral marketing. Semuanya meleverage word of mouth.

Namun nuansanya berbeda. Viral marketing meleverage jejaring digital, buzz meleverage jejaring media, dan word of mouth marketing meleverage jejaring sosial. Viral marketing mampu mengerahkan penyebaran ide yang mengejutkan, di sisi lain jejaring sosial secara khusus dapat dikelola sebagai hubungan dengan para “pemimpin pendapat.”

Namun, aktivitas marketing atau public relations bukanlah sekadar sosialisasi. Ada persoalan lain seperti pengelolaan isu dan krisis misalnya yang merupakan bagian penting dari aktivitas PR. Ini termasuk bagaimana mengelola isu yang berkembang secara online tentang brand atau perusahaan kita. Selama ini, berdasarkan targetnya, marketing dibagi menjadi dua, B2B dan B2C. Business to business dan business to consumer. Sekarang dengan berkembangnya platform Web 2.0, dunia marketing dipaksa untuk familiar dengan istilah C2C, consumer to consumer communications. 

Itu sebabnya, barangkali kurang bijaksana bila upaya marketing hanya mengandalkan viral marketing. Sebab, nyatanya, banyak perusahaan yang berhasil dengan tidak mengandalkan satu teknik, karena sekarang yang dihadapi marketer adalah mengelola komunikasi antar konsumen. Di sisi lain, di tangan konsumen kni tergenggam beragam media untuk menyampaikan uneg-uneg atau suara negatifnya.

 “Satu kesalahan besar adalah melihat bahwa kampanye viral merupakan suatu akhir. Viral marketing – seperti halnya public relations – merupakan suatu proses bukan suatu kegiatan,” kata Justin Kirby, Managing Director Digital Media Communications (DMC) yang menjadi penulis pendamping Marsden di buku Connected Marketing. Arik,Setelah masuk ke social media, pekerjaan selanjutnya adalah membuat bagaimana kita menjadi “terlihat”, menarik, dilihat (bahkan dipelototi), direspon, ditunggu, dan seterusnya.           

Seperti dikemukakan sebelumnya, Word of Mouth Marketing merupakan respon terhadap perkembangan dimana konsumen makin terdidik dan kritis, dan perkembangan internet. Begitu kemampuan (kecepatan) konsumen untuk berkomunikasi dengan dengan konsumen lainnya berkembang dengan sangat pesat, kredibilitas marketer yang berkomunikasi dengan konsumen melemah.

Survey dimana pun menunjukkan bahwa iklan hanyalah menciptakan awareness tidak mendorong untuk membeli. Dengan kata lain, kemampuan iklan untuk mendorong atau membujuk konsumen untuk membeli kurang karena kepercayaan atau kredibilitas iklan lemah. Jauh lebih lemah dibadingkan – katakanlah – rekomendasi teman atau keluarga.

Tabel 1. Teknik-teknik Word of Mouth

PENDEKATAN
PERBEDAAN
Word of Mouth Marketing
Payung dari semua praktek marketing yang bertujuan untuk membuat konsumen membicarakan suatu brand.
Buzz Marketing
Menggunakan teknik khusus, seperti event atau promosi untuk menarik konsumen dan media membicarakan tentang suatu kampanye.
Viral Marketing
Menciptakan materi tentang brand di internet atau website yang membuat konsumen asyik bila bisa berbagi dengan teman-temannya tentang materi tersebut, biasanya melalui email. 
Influencer Marketing
Mengidentifikasi dan melibatkan sebagian besar konsumen berpengaruh di dalam suatu target pasar untuk menjadi brand advocates.
Evangelist Marketing
Melibatkan pelanggan loyal untuk menjadi brand advocates.
Street Marketing
Menjangkau dan berinteraksi dengan konsumen secara langsung di suatu tempat mereka biasa bertemu tatap muka secara berkala.
Stealth/Undercover Marketing
Marketing di bawah ambang kesadaran (misalnya, menyewa serang aktor untuk menyebarkan pesan positif dari suatu brand kepada publik)
Sumber: Kirby, J., and Marsden, P., 2006. Connected Marketing. London: Elsevier.

Persoalan kredibilitas dari penyampai pesan itu makin penting manakala konsumen di hadapan pilihan pada produk yang mempunyai nilai gengsi atau prestise dan risiko yang tinggi serta memiliki diferensiasi yang berarti. Untuk produk yang  tidak menimbulkan gengsi atau risiko, tingkat kebutuhan rekomendasi mungkin lebih lemah.

Itu alasan Sumardy, Head of Consultant Octovate Consulting Group, mengatakan bahwa Banyak aktivitas WOM Marketing gagal karena menggunakan spoke person yang bukan konsumen merek/produk tersebut. Sebab pada intinya, menggunakan spoke person yang bukan dari konsumen atau orang yang mempunyai pengalaman atas produk tersebut, kredibilitas dari informasi yang disampaikan  relatif rendah. Itu berarti sama dengan marketing konvensional lainnya atau iklan.

Marketing online dan upaya PR yang sukses karena mereka memulainya dengan mengidentifikasi satu atau lebih pembeli personal yang akan menjadi target. Dengan demikian pembeli personal seyogyanya menjadi bagian dari proses perencanaan marketing non konvensional maupun konvensional Anda.

Itu sebabnya, pada akhirnya, “Terminologi PR 2.0 adalah ungkapan yang tidak terlalu perlu,” kata pakar komunikasi global Dr. Jon White FCIPR. Public relation, kata penulis buku “How to Understand and Manage Public Relations” ini adalah sebuah teknik marketing yang niscaya berevolusi seiring perkembangan teknologi. Karenanya, pada akhirnya semua praktek dalam marketing ini memang harus mengarah agar suatu ide atau merek bisa melekat pada konsumen yang dituju, sehingga objektifnya tercapai. “Dan bisa menyebar seperti epidemi,” kata Malcolm Gladwell, penulis buku The Tipping Point.

Tabel 2. Aktivitas Online

AKTIVITAS
PERSENTASE PARTISIPAN
Mengirim atau membaca email
91
Menggunakan sebuah mesin pencari (search engine)
91
Research tentang poduk sebelum membelinya
78
Men-search Web sekadar untuk fun
62
Menonton atau mendengarkan video klip
56
Men-download games, ideo, atau gambar
42
Mengirim pesan instant
39
Membaca sebuah blog
39
Memainkan game online
35
Search iklan baris online
30
Memeringkat suatu produk secara online.
28
Membuat isi
19
Menggunakan stus jejaring sosial
16
Mendownload sebuah podcast
12
Sumber: PEW dalam Tuten, L. T., 2009. Advertising 2.0, Social Media Marketing in Web 2.0 World. London: Praeger

Disini diperlukan pemahaman bahwa ruang media online yang baik dibangun dengan pemahaman bahwa beberapa orang ingin mencari informasi dan sebagian lainnya ingin menjelajah. Sebagian orang sudah mengetahui apa yang mereka cari misalnya, rilis berita terbaru, atau ingin mencari alamat atau lokasi yang menyediakan makanan favoritnya. Mereka membutuhkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan spesifik, dan karenanya perusahaan mengoptimalkan konten sehingga mudah untuk ditemukan, mungkin dengan memasukkan sebuah mesin pencari di dalamnya.

Seperti pernah ditulis oleh Nukman Lutfie di majalah SWA, pengguna internet memiliki perilaku khusus dalam hal mencari informasi  produk. Mereka tidak terlalu suka langsung masuk ke situs web sebuah perusahaan yang bersangkutan, namun lebih senang mencarinya melalui search engine seperti Google, Yahoo!, MSN Live dan lainnya. Statistik dari berbagai lembaga riset menunjukkan, sekitar  68% pengguna Internet mencari informasi produk melalui mesin pencarian.

Oleh karena itu, wajib hukumnya memiliki situs web yang search engine friendly. Situs yang memenuhi standar ini akan mudah dan cepat diindeks oleh berbagai search engine utama, seperti Google, Yahoo! dan MSN Live. Namun banyak perusahaan yang seringkali abai dengan hal-hal semacam ini. Perhatian mereka lebih terfokus pada tampilan – indah tidaknya – sebuah situs. Padahal, search engine friendly ini justru memiliki nilai startegis agar mudah dicari pengguna Internet.

Lantas bagaimana dengan nasib teknik marketing konvensional? Mungkin terlalu berlebihan bila mengatakan bahwa marketing tradisional sudah tidak efektif lagi atau kurang efektif. Sebab bagaimana pun tidak ada jaminan bahwa menggunakan teknik marketing konvensional maupun alternatif secara sendiri-sendiri juga akan berhasil. Meski harus diakui bagia ada juga brand yang diprmosikan dengan hanya teknik konvensional atau alternatif berhasil.

Ambil contoh Jakartanotebook.com. Toko kumputer online yang baru beroperasi beberapa bulan ini hanya mengandalkan teknik marketing dari mulut ke mulut dan viral marketing. Dengan harga lebih murah  dan deliveri yang bisa diadalkan membuat konsumen yang membeli produk melalui Jakartanotebook.com bercerita ke teman-temannya. Konsumennya yang puas dan yang sangat familiar dengan komputer dan modem melakukan testimoni dan merekomendasikan melalui internet. Jadinya, Jakartanotebook.com yang awalnya cuma memiliki lima orang pekerja, sekarang sudah 20 orang. Awalnya, pembelinya cuma 10-20 per hari, kini mencapai 100 orang per hari.



Tabel 3. Bagaimana Orang Menggunakan Media Sosial?

Menyaksikan video klip online
82,9
Membaca blog
72,5
Membaca blog pribadi
67,5
Mengunjungi sebuah website berbagi foto
63,2
Mengelola sebuah profil pada sebuah jejaring sosial yang ada
57,3
Menulis sebuah pesan pada sebuah blog
54,8
Upload foto saya
52,2
Menulis sebuah komentar di sebuah situs berita
45,8
Mendownload sebuah podcast
45,1
Memulai ”my own blog”
38,7
Mengup-load sebuah video
38,5
Berlanggan seah feeder RSS
33,7
Sumber: Lincoln, R. S., 2009. Mastering Web 2.0. London:Kogan Page.


Ini membuktikan bahwa di tengah hiruk pikuk bermacam-macam teknik marketing alternatif, keberhasilan aktivitas marketing untuk menghubungkan brand dengan pelanggan, pelanggan dengan pelanggan, dan sebaliknya, tidak bisa hanya mengandalkan satu teknik, konvensional atau alternatif. Agar behasil, dibutuhkan integrasi semua teknik marketing baik yang konvensional maupun yang alternatif.

Marketing kini memang tidak hanya sekadar mengenali 20% pembeli yang mewakili 80% omset perusahaa dan pertahan mereka supaya tetap beli lagi. Membuat mereka senang dan membeli brand kita lagi tidak cukup. Jakartanotebook.com tentu tidak akan bisa berhasil bila hanya mengandalkan word of mouth saja. Ia akan menjadi pembicaraan negatif dan brandnya lemah bila deliveri-nya tidak sesuai dengan yang dijanjikan.
 
Yang menjadi tantangan merketer adalah bagaimana pembeli itu ikut membujuk calon pembeli lainnya untuk membeli brand kita. Mungkin banyak orang yang membicarakan tetapi membuat mereka untuk bisa mempengaruhi orang lain membeli brand kita adalah lebih penting. Tak peduli berapa banyak uang yang dibelanjakan oleh 20% pelanggan itu untuk membeli brand kita, yang penting bagaimana caranya mereka menyuarakan dan mempercepat word of mouth positif brand kita. Itu bukan hanya untuk produk baru. Produk lama pun juga berlaku hukum tersebut.

Marketing pada dasarnya adalah berbicara tentang bagaimana mendiferensiasi apa yang kita tawarkan dari penawaran pesaing. Marketing alternatif juga demikian. Jika kita menginginkan orang lain membicarakan brand kita, kita perlu memberikan sesuatu yang berarti untuk dibicarakan. Ini berarti apa yang kita berikan itu haruslah mempunyai keunikan. Intinya, untuk menciptakan word of mouth, upaya harus dibangun berdasarkan diferensiasi produk atau merek dan kepercayaan.

Upaya atau strategi marketing pada dasarnya bukan sekadar kontrol, tapi menyangkut menagament. Di sisi lain, upaya marketing tidak dapat dikelola dengan baik bila tanpa pengukuran. Pengukuran disini tidak hanya didasarkan pada tingkat awarenes. Upaya marketing alternatif seyogyanya ditujukan untuk meningkatkan jumlah atau persentase konsumen yang merekomendasikan dan karenanya mereka membeli. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar