Minggu, 16 Oktober 2011

POTRET PEREMPUAN KONSUMEN LAJANG DI INDONESIA (1)



Dalam dua puluh tahun terakhir, terjadi perubahan demografi yang cukup signifikan di Indonesia. Beberapa tahun lalu misalnya, populasi perempuan di Indonesia melebihi lelaki meski tahun ini populasi Indonesia didominasai lelaki kembali. 

Namun yang paling menarik adalah makin meningkatnya presentase perempuan lajangPada 1980 sebanyak 31% wanita yang belum menikah di usia dewasa (20 tahun keatas). Jumlah tersebut meningkat menjadi 33% pada tahun 1990, sehingga secara absolut, selama periode 1980-1990 terdapat kenaikan penduduk wanita yang belum menikah sebanyak 6,5 juta orang (Kristanti, 2005).

Istilah 'lajang' mengacu pada populasi heterogen yang terdiri dari perempuan yang pernah menikah (janda, bercerai dan memisahkan perempuan) dan tidak pernah menikah (tua dan muda, dengan atau tanpa anak, tinggal dengan orang tua, saudara, orang tua, orang asing atau hidup sendirian) (Byrne 2000).

Fenomena makin banyaknya perempuan lajang ini merupakan fenomena sosiologi global yang baru pertama kali terjadi pada abad 21 ini. Data The National Marriage Project di Rutgers University menunjukkan bahwa secara keseluruhan, tingkat pernikahan di Amerika Serikat menurun 43% antara tahun 1960 dan 1996, dari 87,5 per seribu menjadi 49,7 per seribu (Kanner, 2005: 112). Saat ini, perempuan lajang tersebut menduduki berbagai macam posisi seperti professional di perusahaan, profesor dan ilmuwan, pemimpin bisnis dan pemilik bisnis.

Kecenderungan melajang ini biasanya lebih sering dijumpai pada perempuan yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dan mengutamakan karir mereka dibandingkan perempuan-perempuan kebanyakan.

Mereka cenderung memiliki gaya hidup yang lebih mandiri dan kebebasan yang tidak dimiliki oleh perempuan-perempuan yang sudah menikah pada umumnya. (Robinson dan Bessell, 2002: 229). Mereka cukup mempunyai pendapatan, siap konsumsi dan cenderung membelanjakannya untuk mendukung hidup hura-hura, seperti hiburan, membeli pakaian dan dekorasi rumah (Prasetijo dan Ihalaw, 2003).

Dalam tulisan ini dalam konteks tulisan ini, perempuan yang pernah menikah namun kini melajang karena bercerai atau suaminya meninggal disebut sebagai janda.  Sedangkan 'perempuan lajang' mengacu pada perempuan yang tidak pernah menikah yang melewati usia menikah normal.

Jones (2003) melaporkan bahwa sampai sekitar tiga dekade lalu, kebanyakan perempuan di negara dengan  populasi Muslim-Melayu seperti Malaysia, Indonesia, Singapura dan Thailand Selatan menikah pada usia 18. Namun, kecenderungan ini berubah dan tampaknya telah menjadi pola umum di negara-negara tersebut dimana perempuan menunda pernikahan mereka.

Menurut Cargan (1981:378), melajang sering dianggap sebagai suatu hal yang bersifat  sementara sebelum atau di antara pernikahan dan pernikahan adalah suatu norma social. Namun, dalam beberapa tahun terakhir terdapat tren yang menunjukkan bahwa melajang menjadi  berkepanjangan dan fenomena ini banyak dijumpai di daerah perkotaan, perempuan berpendidikan tinggi dan mandiri secara ekonomi (Maeda 2006, Sitomurang 2005).

Para pemasar menyadari besarnya dampak dari fenomena yang berkembang pesat sejak 1980-an ini dan melihat pentingnya mengevaluasi kembali strategi pemasaran produk dan jasa mereka guna melayani segmen pasar ini secara lebih efisien (Sin dkk., 2001).

Evaluasi tersebut makin penting karena di balik fenomena melajang tersebut, sebagian besar mencuat fenomena lainnya, yakni jumlah perempuan lajang tersebut yang berasalk dari kalangan prefesional cukup tinggi. Stein (1976) mendefinisikan lajang sebagai orang yang cukup usia tetapi belum atau tidak menikah, apapun alasannya.

Beberapa retailer melihat fenomena ini sebagai sebagai peluang. Tesco, ASDA Wal-Mart, dan Sainsbury misalnya berlomba untuk berinvestasi dalam pengembangan lini produk yang ditargetkan pada kaum lajang berpendapatan tinggi dan gaya hidup sibuk. Misalnya dengan menyediakan makanan “untuk satu' siap santap.

Hal ini kontras dengan kemasan 'multi-pack' yang selama ditargetkan untuk keluarga. Bahkan, menurut National Association of Realtors, wanita lajang adalah kelompok kedua terbesar dalam pembelian rumah setelah pasangan. Rata-rata kepemilikan rumah oleh wanita lajang lebih besar dua kali lipat dibandingkan dengan pria lajang (Kanner, 2005: 112).

Kalau Anda suka browsing jurnal penrlitian tentang proses keputusan pembelian perempuan konsumen lajang ini tidak akan mendapatkan banyak informasi. Tulisan ini mencoba mengkonstruksi bagaimana proses pembelian itu baik melalui data primer (hasil penelitian di lapangan) dam sekunder.  

Ketika memasuki usia 30 tahun, perempuan lajang mulai menyadari adanya kekosongan dalam hidupnya. Mereka seringkali diidentikkan dengan perasaan kesepian. Masalah kesepian ini yang seringkali disorot pada perempuan lajang karena ketidakhadiran pasangan hidup. Meskipun intimasi tidak selalu datang dari pernikahan, mereka tetap mendapat tuntutan untuk menikah.

Dari beberepa informasi diperoleh gambaran bahwa banyak diantara mereka yang lajang tersebut umumnya mengatakan tidak ada masalah dengan statusnya. Namun, seperti halnya yang tidak melajang, ada saat mereka berada pada situasi “sendiri”. Ini beda antara perempuan lajang dan berpasangan.

Ketika wanita lajang mengalami kesepian, sejumlah dampak negatif bisa menyertai perasaan kesepian tersebut. Salah satu cara untuk mengatasi perasaan kesepian adalah pergi berbelanja. Perempuan yang memilki pasangan juga punya kecenderungan demikian.

Hanya saja,  ketika proses pembelian barang sudah tidak lagi mempertimbangkan kebutuhan pokok dan lebih kepada pemenuhan kebutuhan emosional, maka perilaku tersebut cenderung impulsive yang berbeda (Sari, 2010).

Lalu pertanyaan lain yang muncul dari fenomena ini adalah apakah perilaku belanja perempuan melajang tersebut berbeda dengan perempuan yang tidak melajang. Demikian pula apakah perilaku belanja perempuan melajang juga berbeda dengan para janda.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar