Sabtu, 08 Desember 2012

Sampling Yang Kreatif


Konsumen saat ini dibombardir dengan berbagai macam promosi, termasuk promosi penjualan. Vlachvei et al. (2009) menunjukkan bahwa untuk beberapa produk minuman seperti anggur, promosi penjualanya bahkan lebih penting daripada iklan dalam memastikan profitabilitas produk.

Di antara berbagai jenis promosi, sampel gratis secara efektif menghasilkan percobaan dan pembelian. Studi tentang promosi penjualan berupa sample gratis di dalam toko  menunjukkan bahwa 92 persen konsumen mendapatkan sampel gratis di toko (Fitzgerald, 1996). Dari orang yang mendapat sample tersebut, hampir 70 persen berniat mencoba bila ditawari petugas dan 37 persen akan membeli produk (Lindstedt, 1999)

Penelitian lain menunjukkan bahwa pembagian sample di dalam toko dapat meningkatkan penjualan produk yang dijadikan sampel sebanyak 300 persen pada hari promosi (Musa, 2005). Mengingat manfaat ini, tidaklah mengherankan bahwa pengeluaran untuk program pembagian sampel ini dari tahun ke tahun meningkat (Zwiebach, 2005). Selain itu, perusahaan-perusahaan menerapkan berbagai macam cara yang kreatif untuk memberikan sample di tangan konsumen sararan.

Dalam rangka peluncuran varian baru Mizone, Ur Flava atau Mangga Kweni, pada 2011 lalu Danone memilih format sampling bertajuk Mizone Ur Flava. Menurut Bibiana Lo, Brand Director Mizone, konsep aktivasi merek ini adalah menciptakan excitement dalam kegiatan sehari-hari konsumen. Tim Mizone mendatangi mereka dengan cara yang tidak disangka-sangka. “Dengan demikian, konsumen  bisa menikmati Mizone mangga kweni di saat yang tepat ketika mereka beraktivitas. Terlebih, sejak awal Ur Flava ini perumusan produknya teramat dipengaruhi oleh konsumen sendiri. “Bahkan, desain label pun dipilih oleh konsumen,” kata Bibiana seperti dikutip Majalah MIX-Marketing Communications.

Sebagai sebuah bauran pemasaran, kegiatan merek tersebut dikemas secara terintegrasi dengan kegiatan above the line-nya serta online activity—yakni lewat online, radio, dan TV Filler. Kegiatan mereka dibagi dalam dua babak, yakni “Mizone Ur Flava-Inspired by You” dan “Mizone Ur Flava-Ada Kamu di Sini”.  Babak “Mizone Ur Flava-Inspired You” digelar lebih dahulu dengan mengundang 150 key opinion leader untuk menjadi orang pertama yang mengalami sensasi Ur Flava. Mereka harus mengundang 11 orang temannya untuk sama-sama merencanakan Ur Flava Party dengan mengeksekusi pesta perayaan ala mereka. Selanjutnya, mereka harus men-share video atau foto-foto dari pesta perayaan Ur Flava tersebut lewat media social Facebook.

Di babak “Ada Kamu di Sini,” Mizone membidik 32 ribu titik di enam kota besar, Jakarta, Bandung, Jogja, Semarang, Surabaya, dan Bali. Tepatnya, di area kampus, perkantoran, TV Stasion, mal dan tempat hang out, hingga tempat konser atau event. 

Pada babak perekrutan peserta, Mizone Ur Flava diformat seperti “Mizone Ur Flava Sudden Drop Box”. Mizone menghadirkan box dan bongkahan es yang berisi sampling produk baru Mizone Ur Flava di ribuan titik tadi—sehingga seolah-olah jatuh dari langit. Curiosity mereka dipancing agar mau mengambil sampling produk tersebut secara cuma-cuma. Mizone juga mengundang pelanggan untuk terlibat dalam pengembangan produk baru serta serta ikut memilih desain label kemasan produk baru Mizone via digital. Kegiatan lain, seperti TV filler, internal launch, modern trade, dan ketersediaan produk di toko secara massif juga digelar sebagai pendukungnya.

Kegiatan tersebut mampu menjangkau lebih dari 152 ribu di 170 spot di enam kota. Bahkan, tak kurang dari 52.250 botol telah dicoba oleh target market yang memang dibidik Mizone. Pesan komunikasi “Ada Kamu di Sini” juga sukses tersampaikan di masyarakat. “Hasil tersebut tentunya sesuai dengan obyektif awal. Bahkan, secara signifikan membantu awareness dan image brand Mizone sebagai sebuah brand yang selalu dekat dengan konsumennya serta selalu menghadirkan hal baru dan inovatif,” kata Bibiana.

Tim Mizone juga sukses secara emosional menyajikan surprise yang menyenangkan (dan pastinya) memorable untuk konsumen. Amplification dan optimalisasi social media juga merupakan key factors yang sangat menunjang suksesnya kampanye ini.







Sebagai produk yang sudah established, Mizone mampu menghadirkan fun dalam kegiatan sampling-nya. Penggunaan box dan signage dari es cukup menarik. Respon yang diharapkan dari target audience juga dapat, lengkap dengan ekspresi dan respon yang positif. Mizone selalu mampu memberikan kejuatan bagi konsumennya. Kekurangan dari konsep ini adalah jumlah produk sampling tidak sama dengan audience yang ter-capture. Sebab, satu orang bisa mengambil dua botol atau lebih, sehingga claim data target audience-nya kurang tepat,” kata Adi Widjaya dari biro RedLine

The Age of Post-Social Media?


Media sosial marketing kini mulai saturated. Banyak pemasar yang menggunakan itu Twitter misalnya, sementara keaktifan penggunanya jauh di bawah pemasar. Deikian pula dengan Facebook. Lalu bagaimana jalan keluarnya? 

Hampir sepuluh tahun sejak pertama kali blog diluncurkan, media sosial mendominasi percakapan yang dilakukan para professional di bidang pemasaran. Orang takk lagi mendiskusikan soal pengaruh media sosial di pemasaran. Sejak lima atau enam tahun lalu, pemasar menikmati media yang dikenal dengan media sosial. Secara fundamental, platform ini telah mengubah cara perusahaan berinteraksi dengan pelanggannya.
Media baru – media sosial – telah menggeser pergeseran paradigma praktik pemasaran di banyak perusahaan. sebelumnya, perusahaan menggunakan pendekatan traditional brand atau product-driven, kini mereka mengaplikasikan metode "customer-driven" marketing dengan cara yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Media baru dalam komunikasi ini memberikan kesempatan kepada pemasar sosial (social marketer) misalnya untuk mempersonalisasi lokasi dan mencapai target konsumen di titik kritis perilaku pengambilan keputusannya.
Media baru juga memberikan pemasar sosial beberapa saluran mobile guna menjangkau konsumen dalam konteks di mana mereka membuat keputusan, sehingga menciptakan komunikasi personal dua arah secara langsug. Pertukaran dua arah ini dapat berlangsung secara real-time, kapan dan di manapun keputusan dibuat konsumen. Untuk pertama kalinya, pemasar sosial juga dapat memanfaatkan saluran ini baru guna melibatkan ribuan atau bahkan jutaan orang dengan biaya yang relatif rendah untuk mempromosikan pilihan gaya hidup sehat dan mempengaruhi perubahan sosial.
Secara tradisional, upaya pemasaran sosial untuk mempromosikan perubahan perilaku kesehatan sangat bergantung pada lokasi fisik sebagai sarana untuk mendistribusikan produk mereka. Misalnya, menempatkan mesin penjual kondom di toilet umum untuk mempromosikan seks yang aman atau menempatkan nutrition signs di sudut toko untuk membujuk pelanggan memilih makanan sehat .
Contoh-contoh praktek pemasaran tersebut memerlukan investasi yang signifikan baik waktu dan sumber daya materi agar bisa menjangkau konsumen. Selain itu, menentukan apakah kondom yang dibeli dan digunakan oleh konsumen sasaran yang tepat atau jika informasi tanda-tanda gizi iklan mempengaruhi keputusan yang sehat merupakan tantangan berat bagipemasar.
Sebaliknya, media baru dapat memberikan pemasar sosial kemampuan untuk secara langsung melibatkan konsumen di tempat-tempat seperti rumah, kantor, atau sekolah, tepatnya pada saat keputusan dibuat. Dengan kata lain, media baru dapat menggeser "tempat" dari toilet dan toko ke lokasi yang langsung menjangkau mereka melalui komputer atau ponsel  yang dapat diakses kapan saja dan di mana saja.
Akan tetapi, jajak pendapat yang dilakukan Software Pitney Bowes pada September lalu terhadap pengguna internet dewasa dan para pengambil keputusan pemasaran di AS, Inggris, Perancis, Jerman dan Australia  menemukan paradox. Temuan ini membuat mereka mengingatkan pemasar untuk berhati-hati agar mereka terlalu berkomitmen pada media sosial tertentu.
Hasil jajak pendapat itu juga seakan mengingatkan bahwa penggunaan media sosial hendaknya dilakukan selaras dengan preferensi konsumen. Kenapa? Survei itu menemukan adanya perbedaan yang  mencolok antara konsentrasi konsumen di beberapa jaringan media sosial dan persentase pemasar yang menggunakan jaringan sosial itu. Namun dalam kasus lain, jumlah pemasar di platform yang tersedia justru melampaui pelanggan potensial yang ada.
Di Twitter, misalnya, 57% pemasar dilaporkan menggunakan situs tersebut. Di sisi lain, hanya 31%  konsumen yang menggunakan situs yang yang sama. Twitter diakui sebagai pendorong utama di balik fenomena yang relatif baru, televisi sosial. Menurut sebuah study terbaru yang dilakukan NM Incite dan Nielsen,  selama Juni 2012, sepertiga dari pengguna Twitter mentweet secara aktif konten TV atau naik 27 persen dibandingkan  Januari. Seperempat dari pengguna sosial media adalah mereka yang berusia 18-24 yang selalu memberikan komen atas konten TV sosial yang dilihatnya. Karena itu, muncul hipotesis bahwa menggunakan dengan Twitter strategi pemasaran beralan lancar.
Informasi lainnya menunjukkan ada  51% pemasar memanfaatkan kehadiran Google+, padahal hanya 21% konsumen yang menggunakannya. Sementara itu di bagian lain, survey menemukan 53% dari konsumen memanfaatkan YouTube, tetapi di lain pihak hanya 41%  pemasar yang memanfaatkannya. Artinya, sementara banyak pengguna internet yang melototi YouTube, tapi di sisi lain jarang pemasar yang melongok jejaring itu. Mereka menyukai menggunakan mikroblog.
Di Indonesia, menurut Irawati Pratignyo, Managing Director - Media Nielsen Indonesia, dari sisi tren konsumsi terhadap media, tahun ini konsumen/pemirsa TV tetap tinggi sementara konsumen/pembaca pada media cetak (koran dan majalah versi cetak) dan radio tidak setinggi TV. “Kami melihat ada pengaruh pertumbuhan kepemilikan cell-phone/mobile phone dan peningkatan jumlah pengguna internet, serta adanya perubahan konsumsi terhadap media cetak dan radio yang kini dapat diakses melalui internet,” kata Ira.
Situasi ini membuat pemasar tak lagi hanya memikirkan apakah melakukan branding melalui Twitter atau Facebook. Mereka harus berpikir tentang bagaimana mengintegrasikan semua saluran komunikasi pemasaran, termasuk media konvensional. Inilah yang disebut sebagai era post-social media, era dimana pemasar tidak hanya memikirkan tentang media sosial tapi juga media konvensional.
Ini bukan berarti bahwa media sosial tidak dibutuhkan lagi dalam pemasaran terutama dalam konteks interaksi. Media sosial masih tetap dan sangat diperlukan. Akan tetapi, seperti ditulis Gini Dietrich dan Geoff Livingston dalam buku Marketing in the Round, media sosial tidak bekerja sendiri, terutama jika digunakan untuk menerobos pasar atau menyampaikan pesan.
Adopsi teknologi internet, media sosial, dan telepon seluler/mobile telah menggeser kekuasaan dari produsen ke konsumen. Dalam Techonomy baru, konsumen semakin canggih dan sangat-terhubung membuat ekspektasi mereka terhadap merek semakin tinggi.  Mereka ingin dipersonalkan, relevan, nyaman, sederhana, dan dekat. Karena itu, agar tetap kompetitif, merek perlu pendekatan baru guna meningkatkan keterlibatan (engagement) konsumen dan konversi menjadi pembelian.Dalam ondisi seperti itu, merek membutuhkan strategi pemasaran digital terpadu.
Seperti diketahui, tujuan dari penggunaan media sosial adalah membangun engagement. Tujuan ini secara efisien tercapai bila mengintegrasikan media sosial dengan media konvensional. Beberapa fenomena membuktikan itu, mulai dari kasus Prita, Cicak Vs Buata dan sebagainya. Engagement berarti pelanggan atau stakeholder menjadi peserta, bukan sekadar pemirsa. Ini yang membedakan antara menonton dan berpartisipasi dalam pemutaran film misalnya.
Engagement, dalam koteks bisnis sosial, berarti pelanggan Anda bersedia meluangkan waktu dan energi mereka untuk berbicara dengan Anda tentang Anda dalam sutau percakapan dan melalui proses yang mempengaruhi bisnis Anda. Proses keterlibatan ini merupakan dasar kesuksesan bisnis sosial. Keterlibatan dalam konteks sosial menyiratkan bahwa pelanggan telah mengambil kepentingan pribadi dalam apa yang Anda bawa ke pasar.
Seperti diketahui, keistimewaan media sosial bagi perusahaan adalah bahwa mereka dapat mengidentifikasi pengguna kunci yang loyal terhadap perusahaan dan dapat berpengaruh terhadap hubungan dekat mereka. Berdasarkan pada penelitian, strategi pemasaran yang paling baik adalah membiarkan pelanggan sendiri untuk menjadi pemasar. Studi ini mengemukakan bahwa individu-individu dengan kepentingan bersama berkomunikasi satu sama lain, sehingga mereka memiliki sikap, keyakinan atau kepentingan yang sama.
Ketika Nikon merilis kamera DSLR seri D4-nya ke pasar fotografi professional, selain menggunakan kampanye top-down PR yang konvensional, Nikon melanjutkan tradisi mereka memberikan DSLRs baru kepada blogger berpengaruh untuk mereview kamera tersebut disertai dengan foto hasil jepretannya dengan kamera itu. Tujuannya, membuat para blogger membicarakannya ketika kamera itu dirilis. Peluncuran itu pun direspon dengan percakapan online yang luas.
Contoh diatas menginformasikan bahwa target pemasaran melalui jaringan media sosial bisa menjadi jauh lebih efisien dan hemat biaya ketika pemasar dapat mengidentifikasi pengguna kuncinya. Dalam konteks ini, kesadaran maksimum terhadap produk atau jasa dapat ditransfer dengan biaya minimal, jika pengguna utama telah diidentifikasi dengan benar. Mereka bisa menyebarkan informasi kepada pengguna lain. Ini akan menjadi cara difusi informasi yang tepat, yang mempengaruhi tujuan niat pengguna kunci 'berdasarkan kepercayaan dari orang lain.
Ketika seorag pengguna kunci puas, kepercayaan mereka kepada perusahaan tumbuh dan mendorong mereka untuk menggunakan layanan terus dan bertindak seperti seorang pemasar bagi perusahaan. Dia akan menyebarkan pengalaman-pengalaman positifnya kepada orang-orang dekat mereka. Karena itu, media sosial adalah tempat yang sangat eksklusif untuk berbagi pengalaman positif mereka dengan teman-teman dekat mereka. Disini kepercayaan memainkan peran dalam memfasilitasi dan mempertahankan hubungan jangka panjang.
Disinilah pemahaman tentang pengalaman para pengguna atau stakeholder media sosial makin penting. Pemasaran yang terlalu fokus pada Facebook merupakan contoh klasik dari pemasaran media sosial masih dipertanyakan. Kenapa? Saat ini, orang tidak melihat Facebook di rumah. Mereka membaca, menonton TV, online untuk membaca dan berpartisipasi dalam media sosial lainnya, mengomentari pernyataan orang atau situasi sosial, mendengarkan musik, dan seterusnya melalui ponsel/mobile tablet mereka. Pada malam hari, pengalaman media mereka jauh melampaui penawaran apapun Facebook. Mereka mengkses lebih banyak tawaran atau feature media.
Tapi di sisi lain, ketika smartphone dan komputer tablet menjadi bagian dari kehidupan konsumen, kesempatan bagi peritel untuk membagikan katalognya makin besar dan cepat. , kesempatan untuk catalogers ritel dan pedagang langsung memperluas dengan cepat. Bagi pengecer multichannel, percakapan tidak hanya tentang chanel belanja yang digunakan oleh pembelanhja yang jumlahnya makin tumbuh ini. Mereka akan menggunakan semua saluran – termasuk saluran tradisional -- tersebut untuk mendekatkan produknya ke pelanggannya. Itu sebabnya media sosial harus diintegrasikan ke dalam bauran pemasaran yang lebih besar.
Pemasaran modern bukanlah suatu fenomena sosial, juga bukan sikap yang telah mengakar sejak abad ke dua puluh. Ini adalah era yang lahir karena resesi dan masa pemulihan yang menuntut pelaku pemasaran menjadi lebih bertanggung jawab dalam setiap anggaran yang dikeluarkan.  
Ketika pendekatan primer dipilih itu biasanya karena sumber daya sudah ada di depan mata. Tetapi perusahaan sering kali memiliki beberapa sumber daya. Jika kampanye public relations memadukan acara peluncuran dan PR untuk memasarkan produk baru, mengapa tidak menggunakan sumber daya media sosial? 

Kamis, 29 November 2012

BLOGGER VS JOURNALIST

Bulan lalu, saya diundang oleh sebuah perusahaan konsultan public relations untuk sharing tentang media. Dalam sharing itu, saya merasa perlu mengangkat isu tentang fenomena blog dan blog mini seperti twitter, dan sebagainya. Saya mengangkat isu tersebut karena setelah satu jam berdiskusi, saya belum mendengar pernyataan tentang blog yang menurut saya bisa menjadi saluran media dalam komunikasi antara perusahaan dan public, perusahaan dengan media (maksudnya konvensional), blog dan media konvensional.  
Sebab seperti dimaklumi, para pemasar dan public relations profesional kini dihadapkan pada sprektrum saluran komunikasi baru yang menakjubkan. Jutaan konsumen yang menyuarakan opininya kini tersambung pada saluran komunikasi berupa sosial media berbasis internet seperti blog, podcast, video online dan jaringan sosial. Sementara media mainstream terus memainkan peran penting dalam penyebaran informasi, bahkan saluran tradisional ini semakin dipengaruhi oleh percakapan online.
Dalam dunia baru interaksi melalui online, semua orang bisa menjadi influencer. Dalam konteks ini kekuasaan untuk mempengaruhi tidak lagi terletak secara eksklusif para para ahli atau "orang yang tahu". Gagasan bahwa kita hidup di dunia yang sederhana di mana ada sekelompok kecil influencer yang menentukan agenda untuk massa tidak lagi berlaku sebagai akibat berkembangnya sosial media dan jaringan digital. Dalam dunia baru ini, siapa saja dapat mempengaruhi siapa saja. Jadi tidaklah mengherankan bila sekarang ini seseorang mempercayai orang asing atau yang baru dikenalnya setinggi teman-teman terdekatnya.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa blog yang paling populer di internet memiliki pembaca yang bisa menyaingi sebuah media kecil. Survey yang dilakukan Johnson dan Kaye terhadap pembaca menemukan bahwa mereka menemukan bahwa blog kini menjadi menjadi sumber informasi yang kredibel (Johnson dan Kaye, 2004).
Beberapa teman menempatkan blogger sejajar dengan wartawan. Szetidaknya ini mendasarkan pada interpretasi Pasal 1 ayat (4) UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menyebutkan wartawan adalah orang yang secara teratur melakukan kerja jurnalistik, sebuah pekerjaanyang juga dilakukan blogger. Kegitan jurnalistik ini berupa mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran lainnya.
Mengingat kuat dan pentingnya pengaruh media ini untuk berkomunikasi dengan publik, tampaknya logis bahwa praktisi PR memanfaatkan blog sebagai alat komunikasi. Para praktisi juga dapat menggunakan blog untuk penelitian lebih pasif seperti untuk mengenali masalah  atau scanning lingkungan. Para praktisi PR juga dapat berperan lebih aktif dengan melibatkan blogger.
Penggunaan blog secara pasif memungkinkan para profesional menamukan jalan baru untuk tugas-tugas yang sudah mereka lakukan. Artinya, blog merupakan peluang bagi para profesional komunikasi untuk memantau secara tidak formal pembicaraan dari mulut ke mulut (word-of-mouth) tentang organisasi atau klien.  Dalam konteks peran yang aktif, praktisi PR bisa mendekati blogger dari perspektif hubungan media di mana mereka dapat menempatkan informasinya pada blog-blog tertentu.
Sampai dengan dengan lima tahun lalu, ada sebuah pemikiran yang berlaku di kalangan praktisi PR bahwa blogger bukanlah wartawan, dan tidak diperlakukan sebagai wartawan oleh para profesional media relations. Namun, paradigm itu berubah ketika para blogger ternyata juga bisa menjadi influencer dan menjadi sumber berita dan informasi penting dalam lingkup bidang keahlian mereka.
Namun demikian, dari sisi tanggug jawab, blogger berbeda dengan wartawan dan editor di media tradisional. Dengan mengetahui perbedaan ini, para praktisi PR  dapat memahami bagaimana sebuah cerita berubah menjadi sebuah virus.  Berikut adalah empat perbedaan antara blogger dan wartawan "tradisional" 
• Blogger tidak memiliki editor: Kecuali mereka yang bekerja untuk beberapa media seperti Huffington Post, blogger bekerja untuk mereka sendiri. Karena itu, mereka membuat keputusan sendiri tentang informasi apa dan kapan akan mereka terbitkan. Karena itu pula penting bagi para praktisi PR untuk mengetahui karakteristika secara detail dari blog mereka termasuk isi beserta komentar-komentar yang muncul sebelum menawarkan informasi buat mereka.
• Blogger lebih mencerminkan ideologi pribadi ketimbang kelompok. Karena itu tidak memiliki identitas kelompok. Berbeda dengan wartawan yang bekerja pada sebuah penerbitan, mereka memiliki buku pedoman mengenai gaya penulisan, perlakuan terhadap rilis yang dikrimkan perusahaan atau pihak lain dan sebagainya. Mereka harus selalu mematuhi dan tidak pernah menyimpang dari pedoman tersebut. Konsekuensinya, praltisi PR harus mengenali atau mengetahui pedoman tersebut sehingga dapat menyesuaikan dengan pola kerja mereka.

• Blogger adalah untuk berbagi: Para praktisi PR berhubungan dengan blogger pada dasarnya adalah untuk berbagi informasi. Pada kenyataannya, kebanyakan blogger mendasarkan kesuksesan mereka sendiri pada berapa banyak orang yang menilai cerita mereka menarik. Karena itu, adalah sangat membantu bila para praktisi PR secara teratur mengungkapkan ketertarikannya baik pada blog milik blogger bersangkutan atau melalui tweet, Facebook, dan sebagainya.
• Secara sosial, blogger itu sangat sensitive terhadap tawaran informasi. Ini kebalikan dari wartawan konvensional yang lebih sering mengabaikan tawaran informasi. Bahkan wartawan akan membuang informasi yang diterima bila tidak berkaitan dengan bidang liputan mereka. Sementara itu blogger bisa lebih luwes. Karenanya, sangat penting bagi praktisi PR untuk mengetahui apa dan bagaimana blogger menulis cerita.

Secara moral wartawan terikat pada kode etik keprofesiannya dan tempat dimana dia bekerja. Karena itu, ada beberapa prosedur kerja yang membedakannya dengan blogger. Misalnya, wartawan selalu menguji akurasi informasi yang datang dari narasumber dan selalu melakukan latihan untuk menghindari kesalahan yang tidak disengaja. Sementara itu, distorsi yang disengaja tidak pernah diperbolehkan. Mereka juga aktif dan rajin mencari subyek berita untuk memberi kesempatan kepada mereka untuk menanggapi tuduhan kesalahan misalnya. Identifikasi sumber kapanpun dimungkinkan. Karena itu, masyarakat berhak mendapatkan informasi sebanyak mungkin dengan tetap memperhatikan keandalan narasumber sumber. '

Dari ilustrasi tersebut, dapat dikatakan bahwa adalah sangat penting untuk membangun relationship dengan blooger dalam konteks jangka panjang. Jangan hanya untuk kepentingan kampanye jangka pendek. Tempel blogger yang Anda target dengan akrab sebelum Anda mengirimkan informasi yang spesifik. Kirimi mereka dengan infromasi dan data yang menarik buat mereka  dan tanggapi postingan mereka. Ini semua adalah untuk kepentingan bersama. Sebab seperti yang banyak terjadi, membangun hubungan kerja jangka panjang dengan blogger bisa menuai hasil yang mungkin lebih bagus dari placement di media konvensional. 

Jumat, 23 November 2012


Praktek-Praktek dalam Public Relations

Judul Buku       : Social Media and Public Relations: Eight New Practices for the PR Professional
Penulis             : Deirdre K. Breakenridge
Penrbit             : Pearson Education, Inc., New Jersey
Tahun Terbit    : 2012
Tebal`               : 177 halaman termasuk cover



Diakui atau tidak, dari semua industri yang terpengaruh oleh perubahan besar yang dibawa oleh media sosial, public relations adalah yang sejak awal berada di garis depan. Alasannya sederhana, sebagian besar fenomena media sosial terjadi di depan public, dilakukan public, dan dinamikanya telah membentuk public relations di masa lalu (media relations, interaksi dengan para opinion leader dan influencer, serta tentu saja krisis/manajemen reputasi) tidak hanya hadir di media sosial, tetapi sering ditekankan dan diperkuat oleh media sosial.
Tak bisa dipungkiri bahwa saat ini, sejarah baru diisi dengan sejumlah contoh bagaimana kata "sosial" telah secara dramatis mempengaruhi merek bahkan melampui fungsi bisnis itu dalam mempertahankan atau memperkuat reputasi merek. Dengan kata lain, sosial media telah terbukti tidak hanya memperbaiki proses komunikasi modern, tetapi juga memiliki potensi dampak pada bottom line perusahaan atau, minimal, reputasinya. Tak sedikit kejadian yang mempertotonkan bagaimana reputasi bisa dibangun dalam jangka pendek. Demikian pula banyak contoh yang menunjukkan bagaiana reputasi bisa runtuh dalam sekejap. Semuanya itu tak bisa dilepaskan dari peran media sosial.
Keberadaan media sosial makin memberi peluang bagi public untuk melakukan percakapan. Perusahaan pun makin menyadari  -- sebagian mungkin lebih cepat daripada yang lain -- bahwa jika perusahaan tidak ambil bagian dalam percakapan, perusahaan akan tertinggal. Perusahaan kini lebih sering mendengarkan dengan lebih baik dibandingfkan masa lalu dan memperhatikan apa yang kini dipikirkan orang. Juga makin perusahaan atau merek yang membuka diri untuk publik.
Para pengelola media juga mulai menyadari fenomena tersebut tersebut. Karena itu, beberapa diantara mereka menyediakan platform yang berbeda dari sebelumnya dalam menyampaikan informasi. Beberapa surat kabar mengubah format mereka menjadi edisi online, atau dalam kasus tertentu  CNN misalnya membuka platform baru, iReport. Melalui platform ini setiap orang dapat menjadi pelapor peristiwa atau berita eksklusif. Ini adalah tentang mencapai dan melakukan publik.
Sekelompok masyarakat yang menikmati berbagai jenis media, seperti TV, pada saat yang sama dapat menggunakan akun Twitter atau Facebook untuk memberi opini atas apa yang mereka saksikan dan rasakan serta pikirkan. Komunikasi yang interaktif pun terjadi. Dalam kondisi seperti ini, publik memiliki kebebasan untuk memilih cara-cara yang memungkinkan mereka untuk memberitahu.
Peran dan tanggung jawab praktisi PR saat ini semakin luas. Berbeda dengan sebelumnya, saat ini para profesional di bidang PR harus memahami perubahan di lanskap media dan mampu mengintegrasikan komunikasi sosial media dengan komunikasi bisnis secara keseluruhan, mempelajari  cara-cara yang berbeda dalam keterlibatan dengan pelanggan dan stakeholder lainnya dan menavigasi perubahan lanskap media dengan teknologi yang mendorong preferensi konsumen dan proses konsumsinya. Selama bertahun-tahun, para profesional PR bekerja dengan media tradisional untuk menyampaikan pesan kepada publik.
Pesan organisasi tidak lagi disebarkan secara acak dan luas. Sebaliknya, cerita harus disesuaikan agar dapat dibagi diantara rekan-rekan terpercaya dalam komunitas web. Sosial media telah mengubah cara organisasi dan merencanakan, mengembangkan dan memberikan cerita bisnis kepada para pemangku kepentingan, dan bagaimana mereka mendengarkan, berkomunikasi dan berinteraksi dengan khalayak mereka secara langsung. Hal ini penting bagi komunikator untuk bertindak fleksibel dan beradaptasi dengan dinamika baru dalam komunikasi dengan lebih melibatkan masyarakat.
Dalam buku Social Media and Public Relations: Eight New Practices for the PR Professional, Deirdre Breakenridge – salah satu pelopor pemasaran sosial pelopor -- menunjukkan delapan keterampilan dan pola pikir baru di dunia PR atau marketing. Salah satunya adalah tentang perlunya praktisi PR dan marketing membangun merek dan membangun keterlibatan pelanggan dalam dunia sosial.
Menyimak isinya, buku berorientasi pada tentang hal-hal yang perlu dilakukan oleh praktisi PR dan marketing agar secara sistematis dapat sistematis memperluas peran, meningkatkan proses, dan mempertajam strategi mereka dalam keterlibatannya dengan pelanggan secara lebih canggih dan.
Dalam buku ini, Breakenridge memberikan banyak ilustrasi bagaimana meningkatkan keterlibatan interaksi antara konsumen dan mereknya berdasarkan pengalamannya menangani beberapa kliennya. dan Karena itu, Breakenridge – melalui buku ini --  membantu Anda menanggapi control konsumen yang semakin menuntut hubungan mereka dengan merek.
Breakenridge juga memberikan tips dalam mengintegrasikan komunikasi dengan teknologi secara lebih efektif, membangun kolaborasi internal yang lebih besar, menghilangkan silo dan memberi ruang kepada public, mendengarkan percakapan konsumen, dan menerapkan pengetahuan yang mereka pelajari, dan  wawasan baru yang mendalam mengenai bagaimana konsumen membangun dan melihat merek mereka hubungan.

Minggu, 21 Oktober 2012

SEBAGAI TENAGA PENJUAL, BENARKAH PREMPUAN LEBIH UNGGUL?


Pemahaman tentang perbedaan gender dalam komunikasi kini makin penting. Ini sejalan dengan semakin banyaknya perempuan dalam angkatan kerja dan meningkatnya partisipasi mereka dalam pekerjaan tradisional penjualan dan pembelian yang selama ini didominasi laki-laki. Berdasarkan hasil SP2010, jumlah angkatan kerja adalah 107,7 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, jumlah penduduk yang bekerja adalah 104,9 juta jiwa, terdiri dari 66,8 juta orang laki-laki dan 38,1 juta orang perempuan.

Pekerja perempuan pada Februari 2007 bertambah 2,12 juta orang dibanding Februari 2006. Sedangkan jumlah pekerja laki-laki hanya bertambah 287 ribu orang. Dilihat berdasarkan daerah tempat tinggal (perkotaan dan perdesaan), jumlah penduduk bekerja yang tinggal di perkotaan adalah sebesar 48,9 juta jiwa, sedangkan yang tinggal di daerah perdesaan adalah sebesar 56,0 juta jiwa. (http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/topik?kid=7&kategori=Ketenagakerjaan diakses pada 15 Oktober 2012)

Proporsi perempuan yang bekerja di bidang penjualan juga telah meningkat secara substansial. Pendapat bahwa perempuan dapat menjadi tenaga penjualan (wiraniaga) yang lebih baik dari pada pria juga makin populer (Shimp, 2004: 298).

Fenomena ini membuat isu gender dalam komunikasi menjadi semakin menarik karena beberapa literatur menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan menunjukkan perilaku yang berbeda dalam berbagai bidang khusus yang berkaitan dengan penjualan. Misalnya, pria dan wanita menganggap kriteria yang berbeda dalam pembelian (Goff, Belinger, dan Stojack 1994), pemprosesan informasi (Kempf, Laczniak, dan Smith, 2006) dan gaya pengambilan keputusan yang berbeda (Bakewell dan Mitchell 2006).

Perbedaan tersebut secara histori tercita sejak seseorang dilahirkan. Sebagaimana yang ditulis Pearson, West dan Turner (1995:49), “Dari lahir telah jelas bahwa bayi laki-laki dan perempuan diperlakukan secara berbeda….(Bayi) laki-laki cenderung dikatakan sebagai anak yang kuat, kokoh, atau mandiri dibandingkan dengan bayi perempuan. Bayi perempuan sebaliknyaseringkali digambarkan sebagai menyenangkan, lucu, dan manis.”

Laki-laki Versus Perempuan
Meskipun terdapat perbedaan antara gaya berkomunikasi pria dan wanita, namun perbedaan tersebut relative kecil. Misalnya, baik wanita maupun pria memiliki perilaku yang berusaha untuk tetap akrab, agresif, berfokus pada tugas, atau sentimental. Namun, terdapat hal penting dari perbedaan tersebut, yakni wanita dan pria kadang-kadang memberikan makna yang berbeda ketika melihat pesan yang sama.

Perempuan biasanya lebih mengharapkan hubungan yang didasarkan pada saling ketergantungan (saling ketergantungan) dan kerjasama. Wanita lebih sering menekankan kesamaan antara dirinya dan orang lain, dan mencoba untuk membuat keputusan yang membuat semua orang bahagia. Sebaliknya, pria berharap hubungan harus didasarkan pada kemerdekaan dan persaingan. Pria lebih sering menekankan perbedaan antara dirinya dan orang lain, dan sering membuat keputusan berdasarkan kebutuhan pribadi mereka atau keinginan (Tannen, 1990; Wood, 2009).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-laki cenderung lebih menuntut; cenderung mendominasi, otoriter, langsung ke inti masalah, tumpul, kuat, agresif, sombong, militan, dan sering menggunakan kata-kata yang sifatnya memberikan janji dan bahasa gaul. Wanita diyakini menggunakan tata bahasa yang baik dan mengatakan dengan jelas, berbicara sopan, lembut, cepat, dan emosional; banyak bicara, sering membicarakan hal-hal yang sepele, dan menikmati gosip dan omong kosong (Edelsky, 1976; Kramarae, 1981; Lakoff , 1973; Siegler & Siegler, 1976; Spender, 1979).

Dari perspektif komunikasi yang luas, terdapat perbedaan sistematis dalam komunikasi berdasarkan gender. Wanita memiliki kecenderungan berusaha keras untuk mempertahankan situasi ketika berlangsung percakapan tatap muka lebih menghargai koneksi dan kerjasama daripada pria (Meyers et al, 1997).

Konsekuensinya, dalam beberapa hal, juga terdapat perbedaan dalam komunikasi verbal. Wood (dalam Benokraitis, 1996) mengusulkan beberapa perbedaan karakteristik kemampuan berbicara antara pria dan wanita. Menurut Wood, ketika seorang perempuan berbicara, wanita cenderung menggunakan komunikasi untuk mengembangkan dan memelihara hubungan, dan pembicaraan atau percakapan mereka lebih sering berujung pada pembicaran tentang diri mereka sendiri.

Kedua, perempuan berusaha membuat persamaan di antara pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi. Perempuan sering kali mendorong pembicara untuk melanjutkan pembicaraannya dengan menunjukkan ketertarikan atau perhatian. Ketiga, perempuan secara khusus menunjukkan dukungannya pada orang lain. Keempat, perempuan lebih sering bertanya untuk suatu pemahaman yang lebih baik terhadap perasaan-perasaan dan persepsi-persepsi.

Perbedaan lainnya, (kelima), ketika berbicara, perempuan cenderung mengkonstruksikan “maintenance work”.  Disini perempuan lebih sering menanyakan sejumlah pertanyaan yang mendorong percakapan. Ketujuh, perempuan lebih sering menggunakan detil, pengungkapan pribadi, dan anekdot. Lebih menggunakan bahasa konkrit daripada bahasa yang samar-samar, pembicaraan wanita menjelaskan isu-isu dan perasaan-perasaan sedemikian rupa sehingga orang lain bisa memahami dan mengidentifikasi (personal, concrete style -- gaya yang konkrit).  .

Selanjutnya (ketujuh), meki ini tentative, namun ada fenomena bahwa ketika berbicara perempuan kemungkinan memagari kata-katanya (verbal hedges) dan qualifiers (pemberi sifat), menghaluskan sangkalan/penolakan pesan, dan menggunakan   verbal fillers

Sementara itu, ketika berbicara, laki-laki cenderung menggunakan kemampuan berbicara untuk menyelesaikan tujuan khusus. Laki-laki lebih sering terfokus pada problem solving (pemecahan masalah), yaitu dengan mendapatkan informasi, mengumpulkan fakta-fakta, dan mengusulkan jalan keluar pada suatu tindakan/solusi. Jadi pada pria kemampuan berbicara lebih sering dimaksudkan untuk mengakhiri suatu persoalan dengan sebuah solusi dari pada berakhir dengan membicarakan diri sendiri.

Kedua, laki-laki cenderung menggunakan control (exerting control). Seorang laki-laki menggunakan kontrol untuk memperlihatkan, meningkatkan, atau mempertahankan status personal, dan ide-idenya secara tegas, serta sering juga untuk menantang orang lain. Sedikit kemungkinan bagi laki-laki menawarkan apa yang dianggap oleh wanita sebagai kata-kata/ucapan empati. Dengan kata lain, laki-laki kurang mungkin untuk mengekspresikan simpati atau membuka informasi rahasia pribadi tentang dirinya sendiri.

Ketiga, laki-laki cenderung mendominasi percakapan (conversational dominance). Dalam banyak konteks biasanya laki-laki mendominasi percakapan, berbicara lebih sering dan dalam periode waktu yang lama. Laki-laki menunjukkan dominansi dengan memotong pembicaraan orang lain, menginterpretasi kembali makna/arti yang telah orang katakan, atau mengubah arah percakapan. Laki-laki juga cenderung menyatakan diri mereka tegas, penganut kemutlakan (absolutist).

Dibandingkan perempuan, bahasa yang digunakan laki-laki secara khas lebih kuat, langsung, dan autoritatif (memerintah), jarang sekali bersifat tentatif (sementara). Laki-laki cenderung berkomunikasi lebih sering dalam terminologi abstrak, suatu refleksi dari gayanya yang umum bukan perseorangan.

Berkaitan dengan perbedaan pola komunikasi lak-laki dan perempuan tersebut, dalam konteks tenaga penjualan, pertanyaan tentang siapa yang lebih baik – laki-laki atau perempuan – tidak akan terjawab secara umum. Suatu studi menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan antara tenaga penjualan laki-laki dan perempuan dalam batas-batas komitmen kerja, kepuasan atau kinerja (Schul dan Wren, 1992). Dengan kata lain, apakah perempuan atau laki-laki yang lebih baik dalam menjalankan perannya sebagai tenaga penjualan tergantung pada jenis pekerjaan penjualannya.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perempuan memiliki kemampuan yang lebih dibandingkan laki-laki dalam melakukan pekerjaan penjualan misalnya dalam membangun dan memelihara hubungan dan interaksi konsultatif antara tenaga penjualan dan pelangannya (Sigauw dan Honeycutt 1995, Bettles dan Lane 2005).

Perempuan juga lebih mampu meningkatkan hubungan dengan pelanggannya (Groysberg 2008). Sementara itu Heaston (2005) menemukan bahwa perempuan, yang cenderung lebih relasional, pada umumnya berusaha untuk -- pertama -- membangun hubungan dan kemudian berusaha mencapai tujuan mereka. Di sisi lain, laki-laki cenderung lebih langsung dan fokus pada pencapaian tujuan mereka, sedangkan membangun hubungan dianggap sebagai proses.

Gambaran ini makin memperkuat asumsi bahwa perempuan memainkan peranan penting dalam penjualan. Ini terkait dengan tantangan bahwa ke depan penjualan yang bersifat relational makin penting. Dalam konteks inilah Rackham (1996:3) mengusulkan agar perusahaan-perusahaan, khususnya yang menjual produk atau jasa yang rumit, mendorong wiraniaganya bergerak mulai dari persiapan, penyelidikan masalah dan kebutuhan calon, sampai penunjukkan kemampuan hebat pemasok, dan selanjutnya mendapatkan komitmen jangka panjang.

Pendekatan itu mencerminkan minat yang terus bertumbuh dari berbagai perusahaan untuk bergerak dari pengejaran penjualan langsung ke pengembangan hubungan pelanggan jangka panjang. Mengapa hubungan dengan pelanggan? Palanggan masa kini berukuran besar dan sering bersifat global. Mereka memilih pemasok yang dapat menjual dan mengirim kumpulan produk dan pelayanan yang terkoordinasi ke berbagai lokasi, yang dapat dengan cepat memecahkan masalah yang timbul di berbagai lokasi, dan yang dapat bekerja erat dengan tim pelanggan utuk meningkatkan produk dan proses produksi.

Pemasaran hubungan didasarkan pada asumsi bahwa pelanggan-pelanggan penting melakukan perhatian yang terpusat dan terus menerus. Wiraniaga yang bekerjasama dengan pelanggan penting harus bertindak lebih dari sekadar berkunjung ketika mereka pikir pelanggan telah siap untuk memesan. Mereka juga sebaiknya berkunjung pada saat-saat lain, mengajak pelanggan makan malam, memberikan usulan-usulan yang berguna bagi bisnis mereka, dan sebagainya. Mereka harus memonitor pelanggan-pelanggan penting itu, mengetahui masalah mereka, dan siap untuk melayani mereka dengan berbagai cara.

Jika program manajemen hubungan diterapkan secara tepat, organisasi mulai memusatkan perhatian pada pengelolaan pelanggan seperti halnya perhatian pada pengelolaan produk. Pada saat yang sama, perusahaan akan menyadari bahwa walaupun terdapat dorongan yang kuat dan pasti ke arah pemasaran hubungan, metode itu tidak efektif untuk semua situasi.

Ini mengindikasikan bahwa pemasaran hubungan terus berkembang, pemasaran transaksi tidak mati. Ada beberapa situasi tertentu yang membutuhkan pemasaran transaksi. Misalnya, untuk pelanggan yang memiliki pandangan waktu yang pendek dan biaya peralihan -- bila harus berganti pemasok -- yang rendah, pemasaran transaksi masih relevan. Dalam konteks inilah, seperti yang dikatakan oleh Jefri R. Sirait, General manager operation TRAC menggunakan cara lama atau konvensional. (Aruman, 2009)

Ambil contoh, ketika sebuah hotel membutuhkan sabun mandi batangan yang akan disediakan di setiap kamar. Manajemen hotel mungkin menganggap bahwa kualitas sabun mandi batangan tidak atau sedikit memiliki perbedaan. Karena itu dia dapat membeli kepada salah satu dari beberapa pemasok dan memilih pemasok yang menawarkan syarat terbaik menurut pengelola hotel. 

Dalam transaksi penjualan peran komunikasi sangat penting. Karena itu, memahami perbedaan gender dalam gaya komunikasi bisa membantu baik tenaga penjual laki-laki dan perempuan untuk mengantisipasi bagaimana orang lain cenderung melihat mereka berdasarkan jenis kelamin mereka dan gaya komunikasi.

Komunikasi memiliki beberapa pengertian, antara lain merupakan sebuah proses interaksi sosial antara dua atau lebih individu yang mencoba saling mempengaruhi dalam hal ide, sikap, pengetahuan, dan tingkah laku. Selain itu komunikasi juga didefinisikan sebagai proses memberitahukan dan menyebarkan pikiran-pikiran, nilai-nilai dengan maksud untuk menggugah partisipasi, agar hal-hal yang diberitahukan itu menjadi milik bersama.

Ketika berkomunikasi, perilaku nonverbal menjadi dimensi yang utama. Dimensi ini mencakup semua aspek komunikasi selain kata-kata. Menurut Irabatti (2010), sekitar 35% komunikasi yang dilakukan oleh manusia melalui komunikasi verbal dan 65% melalui komunikasi nonverbal. Permasalahannya adalah bagaimana pola komunikasi nonverbal yang dilakukan tenaga penjual dan wanita sehingga mengkosntruksikan suatu perbedaan dalam penciptaan kinerja tenaga penjualan?

Komunikasi Nonverbal
Komunikasi nonverbal didefinisikan sebagai komunikasi tanpa kata-kata. Kehadiran dan penggunaan komunikasi nonverbal telah diakui selama bertahun-tahun. Pada awal 1900-an, Sigmund Freud mencatat bahwa orang tidak bisa menyimpan rahasia, meskipun mereka tidak berbicara. Gerakan seseorang dan tindakan mengungkapkan perasaan yang tersembunyi tentang sesuatu (Freud, 1905/1953. pp. 77-78).

Ketika komunikasi verbal dan nonverbal bertentangan, orang percaya hanya tindakan. Ini adalah situasi yang menantang nyata dalam sektor-sektor di mana orang-orang penjualan memenuhi pelanggan secara langsung. Oleh karena itu komunikasi nonverbal dari penjual memainkan peran penting. Komunikasi nonverbal menghemat waktu staf penjualan dan kadang-kadang terbukti lebih efektif daripada komunikasi verbal.

Fungsi Pesan Non-Verbal
Rakhmat (2012) menjelaskan bahwa komunikasi non-verbal memiliki beberapa fungsi, yaitu: repetisi, substitusi, kontradiksi, komplemen, dan aksentuasi. Komunikasi nonverbal berfungsi sebagai repetisi
karena mengulang kembali gagasan yang disajikan secara verbal. Misalnya setelah seseorang menjelaskan penolakannya terhadap suatu hal, ia akan menggelengkan kepalanya berulang kali untuk menjelaskan penolakannya.

Substitusi karena komunikasi nonverbal menggantikan lambing-lambang verbal. Misalnya tanpa sepatah katapun seseorang berkata, ia dapat menunjukkan persetujuan dengan mengangguk-anggukkan kepala. Berfungsi sebagai kontradiksi karena komunikasi yang terjadi dimaksudkan untuk menolak pesan verbal atau memberikan makna yang lain terhadap pesan verbal. Misalnya seseorang memuji prestasi rekannya dengan mencibirkan bibirnya sambil berkata: “Hebat, kau memang hebat”.

Sebaliknya, komunikasi juga bisa berfungsi untuk melengkapi dan memperkaya makna pesan non-verbal (komplemen). Misalnya air muka seseorang menunjukkan tingkat penderitaan yang tidak terungkap dengan kata-kata. Semenatara itu, aksentuasi bila menegaskan pesan verbal atau menggarisbawahinya. Misalnya seseorang mengungkapkan kejengkelannya sambil memukul mimbar.

Komunikasi Non-Verbal Dalam Komunikasi Sehari-Hari
Ada beberapa alasan yang menjadikan komunikasi non-verbal memiliki peran yang sangat penting. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Leathers (1976). Pertama, faktor-faktor non-verbal sangat menentukan makna dalam komunikasi interpersonal. Ketika seseorang mengobrol atau berkomunikasi tatap muka, orang tersebut banyak menyampaikan gagasan dan pikirannya melalui pesan-pesan non-verbal. Pada gilirannya orang lain pun lebih banyak membaca pikiran-pikirannya melalui petunjuk-petunjuk non-verbal.

Kedua, perasaan dan emosi lebih cermat disampaikan lewat pesan non-verbal ketimbang pesan verbal. Menurut Mehrabian (1972), hanya 7% perasaan kasih sayang dapat dikomunikasikan dengan kata-kata. Selebihnya, 38% dikomunikasikan lewat suara, dan 55% dikomunikasikan melalui ungkapan wajah (senyum, kontak mata, dan sebagainya).

Ketiga, pesan non-verbal menyampaikan makna dan maksud yang relatif bebas dari penipuan, distorsi, dan kerancauan. Pesan non-verbal jarang dapat diatur oleh komunikator secara sadar. Misalnya sejak zaman prasejarah, perempuan selalu mengatakan “tidak” dengan lambing verbal, tetapi laki-laki jarang tertipu. Mereka tahu ketika “tidak” diucapkan, seluruh anggota tubuhnya menyatakan “ya”. Kecuali aktor-aktor yang terlatih, sembanyak orang yang lebih jujur berkomunikasi melalui pesan non-verbal. Hal yang kadang kemudian terjadi adalah double binding dimana ketika pesan non-verbal bertentangan dengan pesan verbal, orang pada akhirnya akan bersandar pada pesan non-verbal.

Keempat, pesan non-verbal mempunyai fungsi metakomunikatif yang sangat diperlukan untuk mencapai komunikasi yang berkualitas tinggi. Fungsi meta-komunikatif artinya memberikan informasi tambahan yang memperjelas maksud dan makna pesan. Di atas telah dipaparkan mengenai fungsi repetisi, substitusi, kontradiksi, komplemen, dan aksentuasi. Semua ini menambah kadar informasi dalam penyampaian pesan.

Kelima, pesan non-verbal merupakan cara berkomunikasi yang lebih efisien dibandingkan dengan pesan verbal. Dari segi waktu, pesan verbal sangat tidak efisien. Dalam paparan verbal selalu terdapat redundansi (lebih banyak lambang dari yang diperlukan), repetisi, ambiguity, dan abstraksi. Diperlukan lebih banyak waktu untuk mengungkapkan pikiran kita secara verbal daripada secara nonverbal.

Keenam, pesan non-verbal merupakan sarana sugesti yang paling tepat. Ada situasi komunikasi yang menuntut kita untuk mengungkapkan gagasan atau emosi secara tidak langsung. Sugesti di sini dimaksudkan menyarankan sesuatu kepada orang lain secara implicit. Leathers (1976) menyatakan bahwa jika anda meminta pelayanan seksual dari anak di bawah umur secara verbal, anda dapat menerima hukuman pernjara. Jika anda melakuka hal yang sama secara non-verbal, anda bebas dari hukuman. Seseorang dapat memuji seseorang lainnya secara verbal, tetapi mengecamnya secara non-verbal. Inipun sulit dituntut secara hukum.

Jenis-Jenis Pesan Non-Verbal
Menurut Zanden (1990) bentuk-bentuk komunikasi nonverbal yang dikemukakan antara lain: (1) body language, (2) paralanguage, (3) proximics, (4) touch dan (5) artifacts.
1. Body language yaitu bentuk komunikasi nonverbal dengan menggunakan bahasa tubuh. Dari gerakan serta caranya mengungkapkan sesuatu dalam pembicaraan diikuti dengan gerakan seluruh badan atau anggota badan, yang dapat memberikan informasi tentang apa yang sedang disampaikannya.
2. Paralanguage yaitu bentuk komunikasi nonverbal yang menjelaskan bagaimana sesuatu dikatakan, misalnya intonasi, kecepatan bicara dan masa diam. Sebagai contoh kegembiraan yang tercermin dari suara yang terdengar. Jika anak sedih, kecepatan dan volume suara terdengar rendah atau orangtua yang sudah mengingatkan anaknya berkali-kali, dari volume suara normal sampai bernada melengking, akhirnya dapat menggunakan komunikasi diam.
3. Proximics adalah komunikasi nonverbal yang tercermin, bagaimana individu menggunakan ruang personal yang tersedia. Misalnya; duduk di bagian depan kelas atau di belakang.
4. Touch (sentuhan) adalah komunikasi yang terjadi secara nonverbal dengan sentuhan, belaian, memberi salam, untuk menunjukkan bagaimana keadaan perasaan.
5. Artifacs merupakan komunikasi nonverbal yang mencerminkan status, yang terlihat melalui cara berpakaian, perhiasan yang digunakan, alat-alat dan barang-barang yang digunakan.

Sementara itu. Duncan (dalam Rakhmat, 2012) menyebutkan terdapat beberapa jenis pesan non-verbal lainnya, yakni kinesik atau gerak tubuh; paralinguistic atau suara; prosemik atau penggunaan ruangan personal dan sosial; olfaksi atau penciuman; sensitivitas kulit; dan faktor artifisial seperti pakaian dan kosmetik.

Pesan kinesik. Petunjuk kinesik adalah gerakan tubuh yang dapat dilihat yang dapat mengirimkan pesan mengenai sikap seseorang terhadap orang lain. Seseorang bersandar ke depan misalnya, itu menandakan bahwa orang tersebut merasa nyaman dengan seseorang yang menjadi lawan komunikasinya. Gerakan tubuh juga mengungkapkan keadaan emosi seseorang. Bila seseorang mengetuk-ngetukan meja misalnya, orang tersebut seakan menyampaikan pesan emosinya bahwa dia sedang gelisah. Hal lain adalah bahwa gerakan tubuh menyampaikan keinginan seseorang untuk mengontrol lingkungan. Misalnya, seseorang menggerakkan tangannya untuk mengusir nyamuk (Samovar, Porter, dan McDaniel, 2010:304-305).

Pesan kinesik terdiri dari tiga kompunen utama yaitu; pesan fasial, pesan gestural, dan pesan postural. Berikut ini gambaran tentang perbedaan-perbedaan yang muncul dari masing-masing pesan tersebut.  

Pesan Fasial
Pada dasarnya, wajah seseorang itu sangat ekspresif. Apapun yang dirasakan seseorang di dalam dirinya akan tercermin di wajahnya. Hal ini sangat penting dalam setiap acara komunikasi tatap muka. Sebab wajah manusia mampu mengekspresikan emosi tak terhitung tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Ekspresi wajah umumnya berhubungan dengan kebahagiaan, terkejut, sedih marah, dan keheranan. Seseorang dapat dengan mudah menandai semua sinyal yang dikirim melalui bagian wajah seperti bibir, posisi alis, pipi, rahang, hidung dan dagu. Pikiran dan perasaan yang disampaikan bisa positif atau negatif. Tidak seperti beberapa bentuk komunikasi nonverbal, ekspresi wajah bersifat universal.

Pesan ini menggunakan air muka untuk menyampaikan makna tertentu. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa wajah dapat menyampaikan paling sedikit sepuluh kelompok makna : kebahagiaan, rasa terkejut, ketakutan, kemarahan, kesedihan, kemuakan, pengecaman, minat, ketakjuban, dan tekad.

Leathers (1976) menyimpulkan penelitian tentang wajah sebagai berikut. Pertama, wajah mengkomunikasikan penilaian tentang ekspresi senang dan tak senang, yang menunjukkan komunikator memandang objek penelitiannya baik atau buruk. Kedua, wajah mengkomunikasikan minat seseorang kepada orang lain atau lingkungan. Ketiga, wajah mengkomunikasikan intensitas keterlibatan dalam suatu situasi. Keempat, wajah mengkomunikasikan tingkat pengendalian individu terhadap pernyataannya sendiri. Kelima, wajah barangkali mengkomunikasikan adanya atau kurangnya pengertian.

Temuan sebuah penelitian menunjukkan bahwa dalam situasi sosial perempuan lebih banyak tersenyum daripada laki-laki (Hall 1984, 1998). Tersenyum dianggap sebagai bagian dari peran feminin dan sering dianggap sebagai sesuatu yang seorang wanita harus lakukan sebagai ungkapan kebahagiaan atau keramahan. Di sisi lain, laki-laki cenderung tersenyum ketika senang atau geli. Disini perempuan memang memiliki kesamaan, yakni bila senang akan tersenyum. Akan tetapi mereka tidak dapat merasakan emosi yang positif atas tindakannya tersenyum itu.

Hal lain yang masih terkait dengan masalah senyuman adalah bahwa kadang-kadang tersenyum dilihat sebagai indikator status. Dalam konteks ini, seseorang yang memiliki status dominan akan kurang tersenyum dibandingkan bawahan. Dengan demikian, bila seorang perempuan tersenyum maka hal itu bisa ditafsirkan oleh beberapa orang sebagai cerminan dari status subordinat yang dirasakankannya (Henley 1977).

Namun, penelitian lain bertentangan dengan interpretasi status ini. Hall dkk. (2001) dan Hall dan Friedman (1999), misalnya, menemukan bahwa meskipun perempuan secara konsisten lebih banyak tersenyum daripada pria, mereka yang berstatus lebih rendah dalam suatu perusahaan tidak tersenyum lebih sering dari mereka yang berstatus lebih tinggi.

Di daerah lain terkait kinesics, perempuan juga akan mengangguk bila setuju (Helweg-Larsen, Cunningham, Carrico, & Pergram, 2004). Hall (1984) menunjukkan bahwa laki-laki biasanya lebih suka menggunakan gerak tubuh ketika berbicara, tapi akan kurang menampilkan emosi melalui senyuman karena 'aturan yang disosialisasikan' yang seakan menentukan bahwa laki-laki harus netral secara emosional. Hall (1984) juga berpendapat bahwa laki-laki cenderung untuk menampilkan ekspresi wajah dalam upaya untuk menjaga netralitas itu.

Kontak Mata
Penelitian tentang pesan yang dikomunikasikan melalui mata (sebuah studi teknis dikenal sebagai oculesis) menunjukkan bahwa orang menafsirkan pesan yang disampaikan melalui kontak mata cukup bervariasi tergantung pada durasi, arah, dan kualitas perilaku mata. Misalnya, dalam setiap kebudayaan terdapat aturan ketat, meskipun tak tertulis, tentang durasi yang tepat untuk kontak mata.

Kontak mata merupakan bentuk komunikasi nonverbal dan diduga memiliki pengaruh besar pada perilaku sosial. Hal ini diyakini untuk menunjukkan keterlibatan pribadi dan menciptakan ikatan yang intim. Kontak mata memberikan informasi sosial untuk orang yang mendengarkan dan berbicara dengan seseorang. Ini adalah bentuk langsung dan kuat dari komunikasi non-verbal.

Mata adalah perpanjangan dari pikiran dan jendela jiwa. Secara akurat, mata mencerminkan perasaan benar dan emosi si pembicara dan pendengar. Perasaan unggul dalam organisasi pada umumnya diwujudkan dengan mengipayakan baik sadar atau tidak sadar dengan mempertahankan kontak mata lebih lama dari bawahan. Tatapan langsung dari pengirim pesan menyampaikan kejujuran dan keterbukaan.

Ini memunculkan rasa kepercayaan. Mata dapat mengekspresikan fokus, reseptif atau jarak. Melirik misalnya, umumnya berkaitan dengan kerendahan hati. Melihat ke bawah memberikan kesan malu, kalah, atau rasa inferior lainnya. Mata diarahkan melihat ke atas berhubungan dengan kelelahan. Karena indra visual dominan bagi kebanyakan orang. Proses kontak mata antara pengirim dan penerima adalah cara sadar seseorang melihat seseorang. Ketika seseorang melakukan kontak mata, itu  dapat mengkomunikasikan banyak hal, termasuk ketertarikan, kasih sayang, permusuhan, atau ketertarikan.

Kontak mata juga penting dalam menjaga aliran percakapan dan untuk mengukur respon orang lain. Kontak mata memodifikasi makna perilaku nonverbal lainnya. Misalnya, orang-orang di lift atau banyak dapat menyesuaikan rasa ruang pribadi jika mereka setuju untuk membatasi kontak mata. Apa yang terjadi jika konvensi ini tidak diikuti? Dalam budaya Amerika serikat misalnya, rata-rata panjang tatapan yang menghasilkan interpretasi baik sekitar 2.95 detik. Rata-rata lama tatapan bersama (dua orang saling memandang) adalah 1,18 detik (Argyle, 1988). Ketika kontak mata berlangsung lebih singkat dari rata-rata tadi, orang lain mungkin berpikir bahwa orang tersebut tidak tertarik, malu, atau sibuk. Sebaliknya, bila melebihi dari rata-rata, orang mungkin menganggap lawan bicaranya sangat berminat.

Beberapa studi yang dilakukan memberikan hasil bahwa membangun dan mempertahankan kontak mata memberikan kontribusi yang penting dalam memulai dan menumbuhkan kepercayaan (Gueguen dan Yakub, 2002), membuat evaluasi yang menguntungkan dalam interaksi (Knackstedt dan Kleinke, 1991), serta untuk membuat dan menampilkan transparansi pemahaman dalam transaksi interpersonal (Ucok, 2006).

Riset mendapati bahwa proporsi waktu interaksi yang digunakan untuk memandang sambil mendengarkan adalah antara 62 dan 75 persen. Sedangkan persentase waktu yang digunakan untuk memandang sambil berbicara adalah antara 35-41 persen (Argyle, 1988; Knapp, 1978). Kaum perempuan lebih banyak melakukan kontak mata dan melakukannya lebih lama, baik dalam berbicara maupun mendengarkan, dari pada laki-laki.

Situasi itu terjadi naik bila perempuan itu berinteraksi dengan perempuan lain maupun dengan laki-laki. Perbedaan perilaku mata ini mungkin disebabkan oleh kecenderungan perempuan utnuk menampakan emosinya lebih kuat ketimbang laki-laki (DeVito, 1997: 191).    

Penerapan ekspresi wajah di bidang pemasaran masih belum luas. Hanya satu studi yang telah dilakukan berkaitan ekspresi wajah dan jenis pelanggan (Shergill et al., 2008). Namun, ada studi tentang penerapan ekspresi wajah dalam aspek pemasaran lainnya, seperti yang dilakukan Howard dan Gengler (2001) yang berfokus pada aspek emosional yang bisa mempengaruh sikap terhadap produk. Mereka menemukan bahwa pelanggan (receiver) yang menerima ekspresi wajah yang menguntungkan dari penjual (pengirim) memiliki bias positif pada produk.

Bagaimana seseorang harus melakukan tatap muka, tergantung pada situasi. Idealnya, ketika berbicara di depan kelompok, seseorang harus melakukan kontak mata langsung untuk menunjukkan ketulusan, kredibilitas, dan kepercayaan. Melirik dari tatap muka cepat atau menatap dinding memiliki efek sebaliknya. Namun, menatap bisa mengalahkan pelanggan dan membuat mereka tidak nyaman.

Dalam sebuah studi, Verbeke dan Bagozzi (2000) menemukan bahwa kurangnya kontak mata memiliki efek negatif pada kinerja tenaga penjualan. Dengan demikian, hasil peneitian-penelitian menegaskan bagi tenaga penjual membangun dan mempertahankan kontak mata merupakan suatu hal yang penting guna mencapai keberhasilan dalam penjualan.

Dalam konteks perbedaan gender di bidang penjualan, ada gambaran bahwa komunikasi individu dari tingkat status, berbeda dalam penggunaan kontak mata sebagai cerminan dari pola dominasi sosial yang dirasakan di antara dua pihak yang terlibat. Orang status yang lebih tinggi cenderung melihat orang yang statusnya lebih rendah ketika mereka berbicara, dan orang-orang status yang lebih rendah cenderung melihat orang status yang lebih tinggi ketika mereka mendengarkan (Hyde 2004).

Dikaitkan dengan konsep dominasi stereotype laki-laki di bidang penjualan, bisa dikatakan bahwa perempuan dianggap memiliki peran bawahan. Dengan demikian perempuan tidak membangun banyak kontak mata. Karena itu, dalam sebuah studi yang dirancang untuk menguji dominasi visual, ketika perempuan diberi peran dengan status yang lebih tinggi, perempuan memang membuat kontak mata lebih banyak daripada pria ketika berbicara. Sebaliknya, laki-laki akan melakukan  kontak mata lebih banyak, sambil mendengarkan, mendukung interpretasi status perbedaan dominasi visual (Dovidio et al, 1988.).

Pesan Gestural.
Pesan ini direpresentasikan melalui gerakan sebagian anggota badan seperti mata dan tangan untuk mengkomunikasikan berbagai makna. Menurut Galloway dalam Rakhmat (2012), pesan ini berfungsi untuk mengungkapkan: mendorong/membatasi, menyesuaikan/mempertentangkan, responsif/tak responsive, perasaan positif/negatif, memperhatikan/tidak memperhatikan, melancarkan/tidak reseptif, dan menyetujui/menolak.

Pesan gestural yang mempertentangkan terjadi bila pesan gestural memberikan arti lain dari pesan verbal atau pesan lainnya. Pesan gestural tak responsif menunjukkan gestur yang yang tidak ada kaitannya dengan pesan yang diresponnya. Pesan gestural negatif mengungkapkan sikap dingin, merendahkan, atau menolak. Pesan gestural tak responsive mengabaikan permintaan untuk bertindak.

Pesan Postural
Postur dapat menyampaikan pesan apakah seseorang sedang memperhatikan atau tidak tingkatan status ketika berhubungan, dan bahkan bagaimana seseorang saling membenci atau menyukai. Berkaitan dengan keseluruhan anggota badan, Mehrabian (1972) menyebutkan tiga makna yang dapat disampaikan postur. Pertama sebagai ungkapan kesukaan atau ketidaksukaan terhadap individu yang lain (immediacy). Postur yang condong ke arah lawan bicara menunjukkan kesukaan atau penilaian positif.   Kedua, mengungkapkan status yang tinggi pada diri komunikator (Power). Ketiga, responsiveness dimana individu mengkomunikasikannya bila ia bereaksi secara emosional pada lingkungan, baik positif maupun negatif. Di Amerika Serikat, perempuan lebih sering merapatkan tangan mereka dibandingkan laki-laki. Mereka merapatkan kaki dan jarang menyilangkannya. 

2. Pesan Proksemik
Pesan ini disampaikan melalui pengaturan jarak dan ruang. Proksemik merupakan indikasi keakraban seseorang dengan orang lain. Pada umumnya, dengan mengatur jarak, seseorang mengungkapkan keakrabannya dengan orang lain. Pesan ini juga diungkapkan dengan mengatur ruangan objek dan rancangan interior. Pesan ini dapat mengungkapkan status sosial ekonomi, keterbukaan, dan keakraban.

Hal ini mengacu pada penggunaan orang dari ruang pribadi di sekitar mereka. Ruang antarpribadi biasanya dibagi menjadi empat 'zona': zona Intim (0 - 18''), zona Personal (18 "- 4 ft), zona Sosial (4 ft - 12 ft), dan zona Publik (> 12 ft) (Kapri dan Pease 2004). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pria, mereka lebih memilih jarak yang lebih besar antara dirinya dan orang lain, sedangkan wanita lebih nyaman dengan jarak yang lebih kecil antara dirinya dan orang lain (Hyde 2004).

Sebuah studi yang terkait menemukan bahwa perempuan biasanya memiliki jarak interpersonal yang tidak jauh antara dirinya dan orang lain. Ini merupakan salah satu bentuk dari tindakan mereka untuk mengekspresikan kehangatan atau keramahan. Di bidang penjualan, kebijaksanaan konvensional menyatakan bahwa presentasi yang paling efektif mengambil tempat di zona personal (18 "- 4 ft, Weitz, Castelberry, dan Tanner, 2009) meskipun perempuan lebih nyaman dibandingkan pria dengan sisi-by-side interaksi (Kalbfleisch, 1993).

Beberapa peneliti melihat adanya perbedaan antara perilaku proksemik laki-laki dan perempuan.  Secara khusus, mereka mengklaim bahwa ruang pribadi antar laki-laki adalah yang terbesar, antar perempuan yang terkecil, dan antara laki-laki dan perempuan tingkat menengah. Beberapa percobaan telah menunjukkan bahwa, dibandingkan dengan laki-laki, perempuan mempertahankan sedikit ruang antara mereka dan orang lain (Adler & Iverson, 1974; Aiello, 1977), memiliki tubuh yang mengambil jumlah yang lebih kecil dari ruang fisik (Mehrabian, 1972, Jenni & Jenni, 1976), dan perempuan lebih memiliki kemungkinan untuk menarik bila ruang mereka diserang dari pada laki-laki (Henley, 1977).

Proksemics antara individu yang lebih dekat ditunjukkan dengan perilaku mereka seperti dengan lebih sering memeluk dan menyentuh (meskipun frekuensi dan tata cara ini terkait dengan budaya). Hall dan Veccia (1990) yang mengkaji sentuhan antara laki-laki dan perempuan menemukan bahwa – untuk tujuan yang sama -- baik pria dan wanita saling menyentuh dengan frekuensi yang sama. Perbedaannya adalah bahwa bila laki-laki cenderung menempatkan tangannya di bahu, sedangkan  perempuan meletakkan tangan mereka di lengan laki-laki '(mungkin berkaitan dengan perbedaan ketinggian).

Dalam konteks tersebut, sentuhan mengacu pada dua fenomena. Yang pertama mengacu pada tindakan suatu benda pada kulit dan yang kedua mengacu pada informasi oleh sistem sensorik dari kulit (yaitu, perasaan). Tekanan yang diberikan pada kulit akan memberikan arti kata sentuhan yang sebenarnya, sementara perasaan geli merupakan aspek arti kata kedua.

Pada tahap awal sebuah kontak, biasanya melibatkan intensitas sentuhan yang lebih tinggi. Pada tahap ini, ketika seorang laki-laki menyentuh perempuan, perempuan tersebut menganggap bahwa laki-laki tersebut bisa menjadi pasangan hidup. Sebaliknya – pada tahap kontak awal -- bila perempuan makin sering menyentuh laki-laki, tak banyak laki-laki yang menganggap sentuhan itu sebagai sebuah penerimaan (Silverthorne, Micklewright, O'Donnell, & Gibson, 1976).

Studi lain menunjukkan bahwa laki-laki kurang memberikan tanggapan positif atas sentuhan dari perempuan (Whitcher & Fisher, 1979). Seorang perawat perempuan misalnya bisa memberikan sentuhan atau tidak memberikan sentuhan kepada seorang pasien yang tengah menunggu untuk dioperasi. Ini karena berdasarkan penelitian, ketika seorang pasien laki-laki disentuh sang perawat, pasien tersebut dilaporkan mengalami kecemasan pada  operasi mereka dan memiliki tekanan darah yang lebih tinggi (baik sistolik dan diastolik) dibandingkan laki-laki yang menunggu operasi tapi tidak disentuh. Sebaliknya, bagi pasien perempuan sentuhan perawat akan membuat mereka kurang cemas dan memiliki tekanan darah yang lebih rendah (baik sistolik dan diastolik).

Berbagai pesan atau perasaan juga dapat disampaikan melalui sentuhan, tetapi yang paling sering dikomunikasikan antara lain : tanpa perhatian (detached), kasih saying (mothering), takut (fearful), marah (angry), dan bercanda (playful). Bau-bauan telah digunakan manusia untuk berkomunikasi secara sadar maupun tidak sadar. Saat ini orang-orang telah mencoba menggunakan bau-bauan buatan seperti parfum untuk menyampaikan pesan.

Perbedaan gender dalam gaya komunikasi non-verbal dapat menyebabkan kesalahpahaman bila dikaitkan dengan situasi penjualan lintas gender. Misalnya, karena perempuan tersenyum dan mengangguk lebih sering selama percakapan daripada pria, dan karena tindakan ini tidak selalu merupakan indikator dari perjanjian, pria mungkin salah menafsirkan tersenyum klien perempuan dan mengangguk sebagai tanda persetujuan.

Demikian pula, karena laki-laki cenderung untuk menjaga postur tubuh netral sambil mendengarkan perempuan berbicara, orang perempuan tersebut mungkin salah menafsirkannya. Karena perempuan tersebut melihat kurangnya bahasa tubuh laki-laki lawan bicaranya, perempuan tadi menafsirkannya sebagai tanda bahwa mereka bosan atau tidak memperhatikan. Baik pria maupun wanita dalam pengaturan penjualan dapat mengambil manfaat dari pemahaman tentang perbedaan ini. Dengan demikian diharapkan dapat mendorong perubahan perilaku baik atau reinterpretasi perilaku orang lain.

Implikasi
Sama seperti penjual laki-laki dan perempuan dapat mengambil manfaat dari analisis gaya komunikasi verbal mereka, mereka juga dapat keuntungan dari pemeriksaan hati-hati non-verbal gaya komunikasi mereka. Perempuan, misalnya, mungkin berkeinginan menyeimbangkan gaya komunikasi non-verbal mereka sehingga mereka terlalu feminin maupun terlalu maskulin.

Misalnya, perempuan mungkin ingin mempertimbangkan perbedaan gender dalam tersenyum dan implikasinya dalam pengaturan penjualan. Meskipun perempuan yang tersenyum terlalu banyak dapat menurunkan statusnya menjadi lebih rendah atau tidak kompeten, perempuan yang tersenyum terlalu sedikit dapat secara negatif ditafsirkan sebagai salah satu bentuk kegagalan dalam hidup sesuai dengan peran gender mereka.

Laki-laki, di sisi lain, harus waspada ketika menggunakan ruang pribadi dan kontak mata. Ini karena keduanya dapat digunakan untuk membangun dominasi. Misalnya, meskipun perempuan mungkin lebih nyaman dengan jarak antar kecil dibandingkan laki-laki, tenaga penjual laki-laki yang memasuki  ruang pribadi klien perempuan mungkin bisa ditafsirkan bahwa dia tidak memiliki status dalam interaksi.

Secara umum, seorang penjual seyogyanya memulai interaksinya dengan pelanggan pada zona sosial dan tidak bergerak terlalu dekat sampai hubungan awal telah ditetapkan. Jika pembeli menunjukkan bahwa hubungan yang ramah telah dikembangkan, penjual bisa bergerak untuk lebih dekat.

Demikian pula, karena laki-laki cenderung mengikuti pola kontak mata yang menunjukkan dominasi (yaitu, melakukan kontak mata saat berbicara, tetapi tidak sambil mendengarkan), laki-laki harus melakukan upaya sadar untuk mengubah perilaku mereka untuk membangun dan mempertahankan kontak mata saat mendengarkan klien. Bila tenaga penjual laki-laki melakukan hal ini lebih mungkin untuk memberikan status lebih tinggi dan membangun kepercayaan dengan klien tersebut.


DAFTAR PUSTAKA

Adler, L. L., & Iverson, M. A. (1974). Interpersonal distance as a function of task difŽculty,
praise, status orientation, and sex of partner. Perceptual & Motor Skills, 39, 683– 692.

Aiello, J. R. (1977). A further look at equilibrium theory: Visual interaction as a function of
interpersonal distance. Environmental Psychology & Nonverbal Behavior, 1, 122–140.

Argyle, M . 1988. Bodily Communication, 2nd ed. New York: Methuen.

Aruman. 2009. Selling with Creativity. MIX 09:6 September.

Bakewell, Cathy and Vincent-Wayne Mitchell. 2006. Male versus Female Consumer Decision
Making Styles. Journal of Business Research, 59 (12) pp. 1297-1300.

Benokraitis, N. V. 1996. Marriages and families: Change choices, and constraints (2nd. Ed). New
Jersey: Prentice Hall.

deVito, J. A. 2004. The interpersonal communication book, 10th ed. Boston: Pearson-Allyn &
Bacon.

Dovidio, J. F., S.L. Ellyson, C.F. Keating, K. Heltmanand C.E.  Brown, C. E. (1988).
The Relationship of Social Power to Visual Displays of Dominance between Men and
Women", Journal  of Personality  and  Social P-!),chology,  54, pp. 233-242.

Freud, S. 1953. Fragment of an analysis of a case of hysteria. In The standard edition of the
complete psychological works of Sigmund Freud (Vol. 7). London: Hogarth. (Original work published 1905.)

Gueguen, N., and C Jacob,. 2002. Direct Look Versus Evasive Glance and Compliance with a
Request", Journal of Social P.rychology,  142(3), pp. 393-396.

Goff, Brent G., Danny N. Bellenger and Carrie Stojack. 1994. Cues to Consumer Susceptibility to
Salesperson Influence: Implications for adaptive retail selling. Journal of Personal Selling and
Sales Management, 14, 2 (Spring), pp. 25-39.

Hall, J. A. 1984. Nonverbal Sex Differences. Baltimore: Johns Hopkins University Press.

Hall, J. A. 1998. How Big are Nonverbal Sex Differences? The Case of Smiling and Sensitivity to
Nonverbal Cues. In D. Canary and K. Dindia (Eds.). Sex Differences and Similarities in Communication (pp. 155-178).

Hall, J. A., L.B. LeBeau, J. Gordon, J., and F. Thayer, 2001. Status, Gender, and Nonverbal Behavior
in Candid and Posed Photographs: A study of Conversations between University Employees”. Sex Roles, 44, pp. 677-692.

Hall, J. A., and G. Friedman,. 1999. Status, Gender, and Nonverbal Behavior: A Study of Structured
Interactions between Employees of a Company. Personality and Social Psychology Bulletin,
25, pp. 1082-1091.

Hall, J. A., and Veccia, E. M. 1990. More "touching" observations: new insigh ts on men, women 
and interpersonal touch. Journal of Personality and Social Psychology, 59(6), 1] 55- 11 62.

Helweg-Larsen, M., Cunningham, S., Carrico, A., & Pergram, A. 2004. To nod or not to nod: An
observational study of nonverbal communication and status in female and male college
students. Psychology of Women Quarterly, 28(4), 358-361.

Henley, N. M. 1977. Body politics: Power, Sex, and Nonverbal Communication. Englewood Cliffs,
NJ: Prentice-Hall.

Howard, D. J., Gengler, C., 2001. Emotional Contagion Effects on Product Attitudes. Journal of
            Consumer Research 28(2), 189-201.

Irabatti, Priya. 2010. Study on Increasing Importance of Nonverbal Communication in Retail
Industry. Journal of Research in Commerce & Management, Vol. 1: 4

Jenni, D. A., & Jenni, M. A. (1976). Carrying behavior in humans: Analysis of sex differences.
Science, 194, 859 –860.

Kempf, DeAnna S., Russell N. Laczniak, and Robert. E. Smith. 2006. The Effects of Gender on
Processing Advertising and Product Trial Information. Marketing Letters, 17 (1), pp. 5-16.

Knackstedt Georgia and Chris Kleinke. 1991. Eye Contact, Gender, and Personality Judgements.
Journal  of  Social P!Jchology,  131,4 (April) pp. 303-304.

Knapp, M. 1978. Nonverbal Behavior in human relationship. Boston: Allyn & Bacon.

Leathers, D.G. 1976. Nonverbal Communication System. Sydney : Allyn and Bacon, Inc.

Mehrabian, A. 1972. Nonverbal communication. Chicago: Aldine-Atherton.

Pearson, J. C., West, R., Turner, L. H. 1995. Gender and communication (edisi 3). Madison, WI: Brown & Benchmark.

Rackham, Neil. 1996. The SPINselling fieldbook : practical tools, methods, exercises and resources.
New York: McGraw-Hill.

Rakhmat, J. 2012. Psikologi Komunikasi. Bandung : PT Remaja Rosadakarya 

Schul, L. Patrick  and Brent M. Wren. 1992. The Emerging Role of Women in Industrial Selling: A
Decade of Change. Journal of Marketing 56. 3:38

Shergill, G. S., Sarafzadeh, A., Diegel, O., Shekar, A., 2008. Computerized Sales Assistants: The
Application of Computer Technology to Measure Consumer Interest – A Conceptural Framework. Journal of Electronic Commerce Research 9(2), 176-191.

Shimp, A. Terence. 2000. Advertising Promotion and Supplemental Aspect of Integrated Marketing
Communication, 5th edition. London: Harcourt

Silverthorne, C., Micklewright, J., O’Donnell, M., & Gibson, R. 1976. Attribution of personal
characteristics as a function of the degree of touch on initial contact and sex.
Sex Roles, 2, 185–193.

Ucok, O. 2006. Transparency, Communication  and Mindfulness. Journal of Management 
Development,  25(10),  pp.  1024- 1028.

Verbeke, William  , and Richard Bagozzi.  2000. Sales  Call  Anxiety:  Exploring  What  it Means
When Fear Rules a Sales Encounter. Journal of Marketing, 64(3), pp. 88-101.

Whitcher, S. J., & Fisher, J. D. 1979. Multidimensional reaction to therapeutic touch in a hospital
            setting. Journal of Personality & Social Psychology, 37, 87–96.

Zanden. 1990. Sosiology the core. USA: McGraw Hill Inc.