Sabtu, 08 Desember 2012

Sampling Yang Kreatif


Konsumen saat ini dibombardir dengan berbagai macam promosi, termasuk promosi penjualan. Vlachvei et al. (2009) menunjukkan bahwa untuk beberapa produk minuman seperti anggur, promosi penjualanya bahkan lebih penting daripada iklan dalam memastikan profitabilitas produk.

Di antara berbagai jenis promosi, sampel gratis secara efektif menghasilkan percobaan dan pembelian. Studi tentang promosi penjualan berupa sample gratis di dalam toko  menunjukkan bahwa 92 persen konsumen mendapatkan sampel gratis di toko (Fitzgerald, 1996). Dari orang yang mendapat sample tersebut, hampir 70 persen berniat mencoba bila ditawari petugas dan 37 persen akan membeli produk (Lindstedt, 1999)

Penelitian lain menunjukkan bahwa pembagian sample di dalam toko dapat meningkatkan penjualan produk yang dijadikan sampel sebanyak 300 persen pada hari promosi (Musa, 2005). Mengingat manfaat ini, tidaklah mengherankan bahwa pengeluaran untuk program pembagian sampel ini dari tahun ke tahun meningkat (Zwiebach, 2005). Selain itu, perusahaan-perusahaan menerapkan berbagai macam cara yang kreatif untuk memberikan sample di tangan konsumen sararan.

Dalam rangka peluncuran varian baru Mizone, Ur Flava atau Mangga Kweni, pada 2011 lalu Danone memilih format sampling bertajuk Mizone Ur Flava. Menurut Bibiana Lo, Brand Director Mizone, konsep aktivasi merek ini adalah menciptakan excitement dalam kegiatan sehari-hari konsumen. Tim Mizone mendatangi mereka dengan cara yang tidak disangka-sangka. “Dengan demikian, konsumen  bisa menikmati Mizone mangga kweni di saat yang tepat ketika mereka beraktivitas. Terlebih, sejak awal Ur Flava ini perumusan produknya teramat dipengaruhi oleh konsumen sendiri. “Bahkan, desain label pun dipilih oleh konsumen,” kata Bibiana seperti dikutip Majalah MIX-Marketing Communications.

Sebagai sebuah bauran pemasaran, kegiatan merek tersebut dikemas secara terintegrasi dengan kegiatan above the line-nya serta online activity—yakni lewat online, radio, dan TV Filler. Kegiatan mereka dibagi dalam dua babak, yakni “Mizone Ur Flava-Inspired by You” dan “Mizone Ur Flava-Ada Kamu di Sini”.  Babak “Mizone Ur Flava-Inspired You” digelar lebih dahulu dengan mengundang 150 key opinion leader untuk menjadi orang pertama yang mengalami sensasi Ur Flava. Mereka harus mengundang 11 orang temannya untuk sama-sama merencanakan Ur Flava Party dengan mengeksekusi pesta perayaan ala mereka. Selanjutnya, mereka harus men-share video atau foto-foto dari pesta perayaan Ur Flava tersebut lewat media social Facebook.

Di babak “Ada Kamu di Sini,” Mizone membidik 32 ribu titik di enam kota besar, Jakarta, Bandung, Jogja, Semarang, Surabaya, dan Bali. Tepatnya, di area kampus, perkantoran, TV Stasion, mal dan tempat hang out, hingga tempat konser atau event. 

Pada babak perekrutan peserta, Mizone Ur Flava diformat seperti “Mizone Ur Flava Sudden Drop Box”. Mizone menghadirkan box dan bongkahan es yang berisi sampling produk baru Mizone Ur Flava di ribuan titik tadi—sehingga seolah-olah jatuh dari langit. Curiosity mereka dipancing agar mau mengambil sampling produk tersebut secara cuma-cuma. Mizone juga mengundang pelanggan untuk terlibat dalam pengembangan produk baru serta serta ikut memilih desain label kemasan produk baru Mizone via digital. Kegiatan lain, seperti TV filler, internal launch, modern trade, dan ketersediaan produk di toko secara massif juga digelar sebagai pendukungnya.

Kegiatan tersebut mampu menjangkau lebih dari 152 ribu di 170 spot di enam kota. Bahkan, tak kurang dari 52.250 botol telah dicoba oleh target market yang memang dibidik Mizone. Pesan komunikasi “Ada Kamu di Sini” juga sukses tersampaikan di masyarakat. “Hasil tersebut tentunya sesuai dengan obyektif awal. Bahkan, secara signifikan membantu awareness dan image brand Mizone sebagai sebuah brand yang selalu dekat dengan konsumennya serta selalu menghadirkan hal baru dan inovatif,” kata Bibiana.

Tim Mizone juga sukses secara emosional menyajikan surprise yang menyenangkan (dan pastinya) memorable untuk konsumen. Amplification dan optimalisasi social media juga merupakan key factors yang sangat menunjang suksesnya kampanye ini.







Sebagai produk yang sudah established, Mizone mampu menghadirkan fun dalam kegiatan sampling-nya. Penggunaan box dan signage dari es cukup menarik. Respon yang diharapkan dari target audience juga dapat, lengkap dengan ekspresi dan respon yang positif. Mizone selalu mampu memberikan kejuatan bagi konsumennya. Kekurangan dari konsep ini adalah jumlah produk sampling tidak sama dengan audience yang ter-capture. Sebab, satu orang bisa mengambil dua botol atau lebih, sehingga claim data target audience-nya kurang tepat,” kata Adi Widjaya dari biro RedLine

The Age of Post-Social Media?


Media sosial marketing kini mulai saturated. Banyak pemasar yang menggunakan itu Twitter misalnya, sementara keaktifan penggunanya jauh di bawah pemasar. Deikian pula dengan Facebook. Lalu bagaimana jalan keluarnya? 

Hampir sepuluh tahun sejak pertama kali blog diluncurkan, media sosial mendominasi percakapan yang dilakukan para professional di bidang pemasaran. Orang takk lagi mendiskusikan soal pengaruh media sosial di pemasaran. Sejak lima atau enam tahun lalu, pemasar menikmati media yang dikenal dengan media sosial. Secara fundamental, platform ini telah mengubah cara perusahaan berinteraksi dengan pelanggannya.
Media baru – media sosial – telah menggeser pergeseran paradigma praktik pemasaran di banyak perusahaan. sebelumnya, perusahaan menggunakan pendekatan traditional brand atau product-driven, kini mereka mengaplikasikan metode "customer-driven" marketing dengan cara yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Media baru dalam komunikasi ini memberikan kesempatan kepada pemasar sosial (social marketer) misalnya untuk mempersonalisasi lokasi dan mencapai target konsumen di titik kritis perilaku pengambilan keputusannya.
Media baru juga memberikan pemasar sosial beberapa saluran mobile guna menjangkau konsumen dalam konteks di mana mereka membuat keputusan, sehingga menciptakan komunikasi personal dua arah secara langsug. Pertukaran dua arah ini dapat berlangsung secara real-time, kapan dan di manapun keputusan dibuat konsumen. Untuk pertama kalinya, pemasar sosial juga dapat memanfaatkan saluran ini baru guna melibatkan ribuan atau bahkan jutaan orang dengan biaya yang relatif rendah untuk mempromosikan pilihan gaya hidup sehat dan mempengaruhi perubahan sosial.
Secara tradisional, upaya pemasaran sosial untuk mempromosikan perubahan perilaku kesehatan sangat bergantung pada lokasi fisik sebagai sarana untuk mendistribusikan produk mereka. Misalnya, menempatkan mesin penjual kondom di toilet umum untuk mempromosikan seks yang aman atau menempatkan nutrition signs di sudut toko untuk membujuk pelanggan memilih makanan sehat .
Contoh-contoh praktek pemasaran tersebut memerlukan investasi yang signifikan baik waktu dan sumber daya materi agar bisa menjangkau konsumen. Selain itu, menentukan apakah kondom yang dibeli dan digunakan oleh konsumen sasaran yang tepat atau jika informasi tanda-tanda gizi iklan mempengaruhi keputusan yang sehat merupakan tantangan berat bagipemasar.
Sebaliknya, media baru dapat memberikan pemasar sosial kemampuan untuk secara langsung melibatkan konsumen di tempat-tempat seperti rumah, kantor, atau sekolah, tepatnya pada saat keputusan dibuat. Dengan kata lain, media baru dapat menggeser "tempat" dari toilet dan toko ke lokasi yang langsung menjangkau mereka melalui komputer atau ponsel  yang dapat diakses kapan saja dan di mana saja.
Akan tetapi, jajak pendapat yang dilakukan Software Pitney Bowes pada September lalu terhadap pengguna internet dewasa dan para pengambil keputusan pemasaran di AS, Inggris, Perancis, Jerman dan Australia  menemukan paradox. Temuan ini membuat mereka mengingatkan pemasar untuk berhati-hati agar mereka terlalu berkomitmen pada media sosial tertentu.
Hasil jajak pendapat itu juga seakan mengingatkan bahwa penggunaan media sosial hendaknya dilakukan selaras dengan preferensi konsumen. Kenapa? Survei itu menemukan adanya perbedaan yang  mencolok antara konsentrasi konsumen di beberapa jaringan media sosial dan persentase pemasar yang menggunakan jaringan sosial itu. Namun dalam kasus lain, jumlah pemasar di platform yang tersedia justru melampaui pelanggan potensial yang ada.
Di Twitter, misalnya, 57% pemasar dilaporkan menggunakan situs tersebut. Di sisi lain, hanya 31%  konsumen yang menggunakan situs yang yang sama. Twitter diakui sebagai pendorong utama di balik fenomena yang relatif baru, televisi sosial. Menurut sebuah study terbaru yang dilakukan NM Incite dan Nielsen,  selama Juni 2012, sepertiga dari pengguna Twitter mentweet secara aktif konten TV atau naik 27 persen dibandingkan  Januari. Seperempat dari pengguna sosial media adalah mereka yang berusia 18-24 yang selalu memberikan komen atas konten TV sosial yang dilihatnya. Karena itu, muncul hipotesis bahwa menggunakan dengan Twitter strategi pemasaran beralan lancar.
Informasi lainnya menunjukkan ada  51% pemasar memanfaatkan kehadiran Google+, padahal hanya 21% konsumen yang menggunakannya. Sementara itu di bagian lain, survey menemukan 53% dari konsumen memanfaatkan YouTube, tetapi di lain pihak hanya 41%  pemasar yang memanfaatkannya. Artinya, sementara banyak pengguna internet yang melototi YouTube, tapi di sisi lain jarang pemasar yang melongok jejaring itu. Mereka menyukai menggunakan mikroblog.
Di Indonesia, menurut Irawati Pratignyo, Managing Director - Media Nielsen Indonesia, dari sisi tren konsumsi terhadap media, tahun ini konsumen/pemirsa TV tetap tinggi sementara konsumen/pembaca pada media cetak (koran dan majalah versi cetak) dan radio tidak setinggi TV. “Kami melihat ada pengaruh pertumbuhan kepemilikan cell-phone/mobile phone dan peningkatan jumlah pengguna internet, serta adanya perubahan konsumsi terhadap media cetak dan radio yang kini dapat diakses melalui internet,” kata Ira.
Situasi ini membuat pemasar tak lagi hanya memikirkan apakah melakukan branding melalui Twitter atau Facebook. Mereka harus berpikir tentang bagaimana mengintegrasikan semua saluran komunikasi pemasaran, termasuk media konvensional. Inilah yang disebut sebagai era post-social media, era dimana pemasar tidak hanya memikirkan tentang media sosial tapi juga media konvensional.
Ini bukan berarti bahwa media sosial tidak dibutuhkan lagi dalam pemasaran terutama dalam konteks interaksi. Media sosial masih tetap dan sangat diperlukan. Akan tetapi, seperti ditulis Gini Dietrich dan Geoff Livingston dalam buku Marketing in the Round, media sosial tidak bekerja sendiri, terutama jika digunakan untuk menerobos pasar atau menyampaikan pesan.
Adopsi teknologi internet, media sosial, dan telepon seluler/mobile telah menggeser kekuasaan dari produsen ke konsumen. Dalam Techonomy baru, konsumen semakin canggih dan sangat-terhubung membuat ekspektasi mereka terhadap merek semakin tinggi.  Mereka ingin dipersonalkan, relevan, nyaman, sederhana, dan dekat. Karena itu, agar tetap kompetitif, merek perlu pendekatan baru guna meningkatkan keterlibatan (engagement) konsumen dan konversi menjadi pembelian.Dalam ondisi seperti itu, merek membutuhkan strategi pemasaran digital terpadu.
Seperti diketahui, tujuan dari penggunaan media sosial adalah membangun engagement. Tujuan ini secara efisien tercapai bila mengintegrasikan media sosial dengan media konvensional. Beberapa fenomena membuktikan itu, mulai dari kasus Prita, Cicak Vs Buata dan sebagainya. Engagement berarti pelanggan atau stakeholder menjadi peserta, bukan sekadar pemirsa. Ini yang membedakan antara menonton dan berpartisipasi dalam pemutaran film misalnya.
Engagement, dalam koteks bisnis sosial, berarti pelanggan Anda bersedia meluangkan waktu dan energi mereka untuk berbicara dengan Anda tentang Anda dalam sutau percakapan dan melalui proses yang mempengaruhi bisnis Anda. Proses keterlibatan ini merupakan dasar kesuksesan bisnis sosial. Keterlibatan dalam konteks sosial menyiratkan bahwa pelanggan telah mengambil kepentingan pribadi dalam apa yang Anda bawa ke pasar.
Seperti diketahui, keistimewaan media sosial bagi perusahaan adalah bahwa mereka dapat mengidentifikasi pengguna kunci yang loyal terhadap perusahaan dan dapat berpengaruh terhadap hubungan dekat mereka. Berdasarkan pada penelitian, strategi pemasaran yang paling baik adalah membiarkan pelanggan sendiri untuk menjadi pemasar. Studi ini mengemukakan bahwa individu-individu dengan kepentingan bersama berkomunikasi satu sama lain, sehingga mereka memiliki sikap, keyakinan atau kepentingan yang sama.
Ketika Nikon merilis kamera DSLR seri D4-nya ke pasar fotografi professional, selain menggunakan kampanye top-down PR yang konvensional, Nikon melanjutkan tradisi mereka memberikan DSLRs baru kepada blogger berpengaruh untuk mereview kamera tersebut disertai dengan foto hasil jepretannya dengan kamera itu. Tujuannya, membuat para blogger membicarakannya ketika kamera itu dirilis. Peluncuran itu pun direspon dengan percakapan online yang luas.
Contoh diatas menginformasikan bahwa target pemasaran melalui jaringan media sosial bisa menjadi jauh lebih efisien dan hemat biaya ketika pemasar dapat mengidentifikasi pengguna kuncinya. Dalam konteks ini, kesadaran maksimum terhadap produk atau jasa dapat ditransfer dengan biaya minimal, jika pengguna utama telah diidentifikasi dengan benar. Mereka bisa menyebarkan informasi kepada pengguna lain. Ini akan menjadi cara difusi informasi yang tepat, yang mempengaruhi tujuan niat pengguna kunci 'berdasarkan kepercayaan dari orang lain.
Ketika seorag pengguna kunci puas, kepercayaan mereka kepada perusahaan tumbuh dan mendorong mereka untuk menggunakan layanan terus dan bertindak seperti seorang pemasar bagi perusahaan. Dia akan menyebarkan pengalaman-pengalaman positifnya kepada orang-orang dekat mereka. Karena itu, media sosial adalah tempat yang sangat eksklusif untuk berbagi pengalaman positif mereka dengan teman-teman dekat mereka. Disini kepercayaan memainkan peran dalam memfasilitasi dan mempertahankan hubungan jangka panjang.
Disinilah pemahaman tentang pengalaman para pengguna atau stakeholder media sosial makin penting. Pemasaran yang terlalu fokus pada Facebook merupakan contoh klasik dari pemasaran media sosial masih dipertanyakan. Kenapa? Saat ini, orang tidak melihat Facebook di rumah. Mereka membaca, menonton TV, online untuk membaca dan berpartisipasi dalam media sosial lainnya, mengomentari pernyataan orang atau situasi sosial, mendengarkan musik, dan seterusnya melalui ponsel/mobile tablet mereka. Pada malam hari, pengalaman media mereka jauh melampaui penawaran apapun Facebook. Mereka mengkses lebih banyak tawaran atau feature media.
Tapi di sisi lain, ketika smartphone dan komputer tablet menjadi bagian dari kehidupan konsumen, kesempatan bagi peritel untuk membagikan katalognya makin besar dan cepat. , kesempatan untuk catalogers ritel dan pedagang langsung memperluas dengan cepat. Bagi pengecer multichannel, percakapan tidak hanya tentang chanel belanja yang digunakan oleh pembelanhja yang jumlahnya makin tumbuh ini. Mereka akan menggunakan semua saluran – termasuk saluran tradisional -- tersebut untuk mendekatkan produknya ke pelanggannya. Itu sebabnya media sosial harus diintegrasikan ke dalam bauran pemasaran yang lebih besar.
Pemasaran modern bukanlah suatu fenomena sosial, juga bukan sikap yang telah mengakar sejak abad ke dua puluh. Ini adalah era yang lahir karena resesi dan masa pemulihan yang menuntut pelaku pemasaran menjadi lebih bertanggung jawab dalam setiap anggaran yang dikeluarkan.  
Ketika pendekatan primer dipilih itu biasanya karena sumber daya sudah ada di depan mata. Tetapi perusahaan sering kali memiliki beberapa sumber daya. Jika kampanye public relations memadukan acara peluncuran dan PR untuk memasarkan produk baru, mengapa tidak menggunakan sumber daya media sosial?