Jumat, 28 Juni 2013

Mengapa Perusahaan Perlu Membuat SOP tentang Media Sosial?

Kemarin, saya benar-benar terkejut saat membaca tulisan hasil riset Ipsos dan Microsoft yang mengindikasikan masih banyaknya perusahaan yang “memusuhi” media sosial. Saat saya berdiskusikan dengan mahasiswa S2 yang notabenenya adalah para pemasar dan salesperson level atas juga mendapatkan gambaran sinis tentang media sosial.  
Mengapa banyak perusahaan besar masih melihat media sosial sebagai sebagai musuh? Simak pengakuan Febri. Formalnya dia itu karyawan accounting sebuah perusahaan minyak. Namun di luar itu ia aktif menjalankan bisnis MLM, memiliki bisnis cupcake (kue) dan penyelenggaraan kursusnya, penulis buku resep, trainer online dan menjalankan berbagai aktivitas bisnis online lainnya.
Menurut dia, melalui media sosial dia merasa nyaman menjalankan bisnis sambilannya itu. “Kalau jualan di kantor, belum-belum sudah risih. Ada saja yang nanya, memang masih kurang gaji dari kantor?” kisahnya sambil tertawa seru.
Posting-nya di Twitter dan Facebook bercampur-campur antara cerita pribadi dengan kepentingan bisnis. Di luar itu ia juga memiliki dua Web pribadi, plus seabreg aktivitas di milis yang berhubungan dengan bisnis-bisnisnya.
Yang ini lain lagi. Beberapa waktu lalu, saat sharing dengan peserta workshop, seorang peserta yang juga pemilik usaha kecil mengeluhkan tentang penggunaan media sosial oleh karyawannya di kantor. Menurut dia, perilaku mereka sudah mengganggu, khususnya perilaku mereka dalam menggunakan media sosial.
Dia mengerti bahwa stafnya sepertinya sangat bergantung pada media sosial, terutama untuk berinteraksi dengan pelanggannya. Banyak diantara karyawannya yang mengandalkan Facebook, Twitter, Pinterest, dan sebagainya, dalam urusan pekerjaan mereka.
Akan tetapi, menurut dia, waktu yang dipergunakan untuk keperluan lainnya jauh lebih banyak. Dia melihat penggunaan situs ini sebagai pemborosan waktu perusahaan. Dia juga ingin perusahaannya tidak diganggu oleh komentar atau publikasi negatif, atau lebih buruk, dari rahasia perusahaannya keluar atau muncul di akun pribadi media sosial karyawannya. "Ini rumit!" katanya.
Mungkin Anda pernah mendengar cerita ini sebelumnya, mungkin puluhan kali. Seorang karyawan, sebut saja Jubrut. Suatu hari dia berkeluh kesah tentang pekerjaannya di medis sosial. "Pekerjaan ini  yang terburuk! Aku benci dia (manajer saya)!" tweet Jubrut.
Sehari kemudian, Jubrut dipanggil sang manajer ke ruanganya. Jubrut dipecat karena “perselingkuhan”nya di media sosial nya. Jubrut tidak terima, lagi mentweet soal pemecatannya. Komentar, terutama dari teman-teman dan followernya bertebaran. Meski tak tahu duduk persoalannya, mereka mencela perusahaan tempat Jubrut bekerja.
Jubrut juga membuat semacam release yang diposting ke milist group alumni sekolahnya dan teman-teman seprofesinya. Dia juga mengirimkannya ke beberapa media konvensional dan digital. Beberapa media memuatnya, bahkan ada yang melengkapi dengan komentar beberapa orang. Pemecatan Jubrut pun jadi pembiacaraan banyak orang.
Dalam konteks cerita terakhir, tidak ada yang benar-benar senang. Jubrut sekarang menganggur, perusahaan disorot banyak orang secara negatif (konsekuensi bila diam), perlu mempekerjakan orang baru, dan seluruh situasi bisa semakin buruk.
Lalu apa kesimpulan Anda? Apakah sebaiknya perusahaan tidak mengizinkan karyawannya menggunakan media sosial di kantor? Bagaimana kalau di luar? Apakah juga dilarang? Anda benar bila situasi seperti yang dialami Jubrut tidak terjadi di perusahaan Anda. Tetapi dengan makin berkembangnya media sosial jauh lebih cepat dari yang diperkirakan banyak orang, apakah melarang karyawan menggunakan media sosial itu proporsional?
Pertanyaan itu layak mengemuka karena berdasarkan Ipsos dan Microsoft yang dirilis bulan lalu menyebutkan bahwa dari hampir sepuluh ribu pekerja informasi di 32 negara yang diwawancara, ditemukan bahwa 34 persen responden percaya, manajemen masih meremehkan manfaat dari media sosial di tempat kerja. Padahal, dua dari lima karyawan percaya media sosial mendorong mereka untuk  berkolaborasi dan 31 persen mengatakan bahwa mereka bersedia menghabiskan uang mereka sendiri untuk biaya pulsa misalnya, jika itu membuat mereka bisa bekerja lebih efisien.
Survey yang dilakukan Ipsos and Microsoft  menunjukkan 46 persen pekerja mengatakan, produktivitas mereka sangat atau agak meningkat karena penggunaan media sosial di kantor. Selain itu, lebih dari sepertiga (37 persen) mengatakan bahwa mereka bisa melakukan pekerjaan mereka dengan lebih baik jika manajemen organisasi mereka lebih memberi keluluasaan karyawannya dalam menggunakan media sosial di tempat kerja.
Sosial media telah merevolusi cara orang terhubung dan berbagi informasi. LinkedIn, Facebook, YouTube, Twitter dan media sosial lainnya mengubah cara orang berinteraksi, dan banyak organisasi yang berjuang untuk meresponnya. Bahkan sekalipun perusahaan berusaha untuk menghindari media sosial, diakui atau tidak banyak karyawan dan pelanggan yang menggunakannya, sehingga secara langsung dapat mempengaruhi organisasi.
Intinya, bila digunakan dengan benar, media sosial dapat menguntungkan organisasi. Namun, jika tidak dikelola secara efektif, dapat menimbulkan berbagai risiko hukum, keuangan dan personil. Mengingat potensi risiko dan manfaat dari media sosial di tempat kerja, sangat penting bagi para manajer untuk mengembangkan kebijakan dan prosedur yang mengatur penggunaan yang sesuai.
Sampai saat ini, tidak ada pedoman standar telah dikembangkan untuk membantu para pemimpin bisnis dalam mengelola media sosial. Teknologi baru muncul dengan cepat, dan masih sedikit preseden hukum atau penelitian yang bisa menuntun bagaimana perusahaan atau seseorang menggunakan media sosial secara tepat dalam konteks kepentingan perusahaan. Bahkan penelitian terbaru yang dilakukan oleh Society for Human Resource Management (SHRM) menemukan bahwa 72 persen perusahaan tidak memiliki tujuan atau strategi yang jelas tentang aktivitas sosial media mereka.
Jadi yang diperlukan disini adalah kebijakan perusahaan tentang media sosial yang tepat. Secara garis besar, kebijakan itu sebaiknya tidak secara tegas melarang "komentar yang tidak pantas". Yang dilarang adalah penyataan yang bernada diskriminatif atau melecehkan. Alih-alih meminta karyawan untuk tidak menyebutkan perusahaan, perusahaan sebaiknya meminta karyawan menghindari menyebutkan proyek-proyek tertentu dan informasi kepemilikan.
Perusahaan multinasional P&G misalnya, melarang karyawannya memposting informasi keuangan atau informasi eksklusif tentang P & G atau proyek yang ditangani oleh karyawannya. Di sisi lain, bila karyawan P&G berbicara tentang Perusahaan atau merek atau bisnisnya – baik menggunakan media sosial untuk tujuan profesional atau pribadi – mereka diwajibkan menyebutkan bahwa dia bekerja untuk P & G di setiap posting yang dia buat.
Yang kedua adalah perusahaan perlu menerapkan program pelatihan media sosial. Menyisihkan beberapa waktu, apakah satu hari atau satu jam, dan meminta karyawan untuk mengikuti pelatihan media sosial, akan membuat karyawan yang bingung tentang pedoman dapat mengajukan pertanyaan secara langsung.
Yang ketiga, memberdayakan karyawan menjadi duta merek. Bayangkan bila Anda memiliki 150 karyawan, misalnya paling sedikit 30% diantaranya memiliki akun media sosial. Ini berarti kalau mereka menjadi duta merek Anda, informasi tentang merek Anda menyebar diantara follower-follower mereka.

Yang keempat adalah beri kepercayaan kepada karyawan Anda untuk menjgment sendiri kapan, bagaimana, dan apa yang diposting melalui akun medis sosialnya. Jika Anda tidak dapat mempercayai karyawan, Anda mungkin tidak seharusnya mempekerjakan mereka di tempat yang penting dan berisiko. 

Sabtu, 22 Juni 2013

Ceritakan: Pelanggan adalah Pahlawan


April lalu, JJ Royal membuat sebuah story telling (dongeng atau cerita).  Judul ceritanya “Coffee Talk”, dibesut dalam rangka peluncuran produk baru mereka: Kopi Tubruk.  

Dimulai dengan talk show  yang menghadirkan novelis  Dewi ‘Dee’ Lestari dan peneliti kopi dari Institut Pertanian Bogor Ade Wahyar,  cerita kemudian dirangkai dengan penampilan Andra And The Backbone yang menyanyikan lagu reggae milik Bob Marley “One Cup of Coffee” dan pemutaran iklan baru yang menampilkan adegan permainan biola klasik.

Dalam kisahnya, Dewi ‘Dee’ Lestari menganggap kopi adalah minuman berkarakter yang harus ‘dihormati’. “Bukan sekadar bubuk hitam dalam cangkir. Pada setiap seduhan ada kisah, ada kebersamaan dan persaudaraan,” ujarnya merujuk pada fenomena ‘ngopi’ yang sering dijadikan newspeak pergaulan sosial.

Dee sendiri punya cerita khusus bersama kopi. Ia mulai bersahabat—dan mencintai—minuman pekat itu sejak sering butuh lembur waktu menyelesaikan tugas akhir masa kuliahnya pada 1995. Bonding itu bahkan menjadi inspirasi untuk dituangkan dalam sebuah novel berjudul “Filosofi Kopi” yang meski mulai ditulis pada 1996, baru selesai pada 2004.

Namun harap dicatat, si pekat yang dicintai Dee adalah kopi hitam yang dia sebut lebih berkarakter.  Bukan kopi instan yang hampir tidak memerlukan ritual seduh dalam penyajian, serta tidak memiliki ciri khas berdasarkan historical product dan asal-usul bertumbuhnya. Maka tidak heran jika personifikasi dan bonding Dee pada kopi kemudian dimanfaatkan sebagai story telling oleh JJ Royal untuk meng-endorse produk barunya.

Wajar bila kemudian pada akhir cerita, audience (wartawan dan blogger) dilibatkan dalam coffee cupping yang dipandu oleh Brand Manager Chlarissa Halim.

Kopi Tubruk JJ Royal diluncurkan ketika pemain industri kopi di Indonesia tengah euphoria dengan berkembangnya pasar kopi instan—khususnya white coffee. Setelah selama beberapa tahun lebih dikenal sebagai pemain kopi specialty kelas premium—diklaim menguasai market share minimal 60% di modern market—kali ini mereka mencoba menerobos mass market dengan meluncurkan kopi premium kemasan sachet yang harganya lebih terjangkau.

Kalau dilihat dari level harganya (Rp2.500/sachet), Kopi Tubruk JJ Royal tetap jauh lebih tinggi dari berbagai merek kopi yang rata-rata dibanderol pada harga Rp 1000-an.  “Harga Rp 2.500 masih sangat terjangkau terutama dengan adanya pertumbuhan middle class. Makanya strategi komunikasi kami juga tetap mempertahankan brand image premium dengan harga terjangkau agar lebih banyak orang yang bisa minum kopi grade 1,” papar Yusuf Sumarta, CEO JJ Royal.

Peluncuran kemasan sachet ini dimaksudkan sebagai strategi untuk memperluas pasar dari sebelumnya yang hanya menjangkau segmen A dan A+ kepada B, B+ bahkan C+. Namun begitu, sebagai pendatang baru dan kategori baru, Yusuf menyatakan belum berani memasang target penjualan.  Untuk memperkuat image premium tersebut Kopi Tubruk JJ Royal, dalam iklannya, mereka menggunakan adegan permainan violin yang mantap. 

Pemain kopi specialty ini jelas bukan pionir di bisnis kopi tubruk. Nestle—yang nota bene merupakan pemain asing—sudah mencoba peruntungan dengan ikut ‘menubruk’ selera khas konsumen lokal. Tiga tahun yang lalu, tepatnya pada Februari 2010,  mereka meluncurkan Nescafe Tubruk Kopi Susu yang menawarkan experience dalam hal aroma dan rasa untuk konsumen penggemar kopi.

Namun yang sebenarnya, pasar kopi tubruk Indonesia sudah dikuasai oleh pemain-pemain lokal yang tangguh bermodalkan loyalitas konsumennya. Pada skala nasional, Kapal Api adalah pemain terkuat. Selain itu juga terdengar merek-merek yang tidak asing semacam ABC, Excelso, Liong, Torabika, Ayam Merak Sidikalang, Singa dan lain-lain. Di beberapa daerah juga beredar belasan merek kopi tubruk lokal yang memiliki penggemar khusus.

Awal tahun 1950-an merupakan titik balik dari kampanye industri rokok. Ketika banyak dipublikasikan kampanye yang disertai dengan data ilmiah yang membuktikan merokok memang berbahaya bagi kesehatan manusia, industri rokok menggeser fokus dengan mengembangkan dan mempromosikan rokok filter.

Salah satu merek rokok yang diproduksi dengan filter adalah  Marlboro. Awal dilaunch, Marlboro sempat membuat pemegang saham Philip Morris ketar-ketir. Ini karena Marlboro dilihat public sebagai rokok untuk wanita. Termotivasi untuk membuat Marlboro lebih universal menarik, Philip Morris meminta kepada biro iklan Leo Burnett untuk menciptakan citra baru. Sebuah citra yang bisa menempatkan Marlboro diterima pasar yang lebih luas.

Maka muncullah iklan Marlboro Man yang sampai hari ini masih dijuluki sebagai salah satu kampanye iklan paling ikonik dan sukses sepanjang masa. Betapa tidak, iklan yang menampilkan karakter koboi yang kasar dan maskulin itu mampu menggenjot penjualan dari $ 5 miliar menjadi $ 20 miliar – atau naik 300% hanya dalam waktu dua tahun.

Sementara pesaingnya yang berfokus pada penjualan, membombardir masyarakat dengan jargon yang kompleks dan klaim ilmiah seputar filter, Philip Morris dan Leo Burnett mengambil pendekatan yang sama sekali berbeda. Mereka menjual cerita. Mereka menciptakan seorang tokoh ikonik yang selaras dengan jutaan orang di seluruh dunia. Pria yang melihat iklan yang kemudian mendorong orang untuk  melihat diri mereka sendiri. Dengan merokok Marlboro, mereka adalah Marlboro Man.

Brand storytelling kini seakan bangkit untuk yang kedua kalinya. Betapa tidak storytelling adalah sebuah tradisi yang berlangsung sejak jaman dulu. Karena sudah menjadi tradisi seringkali orang lupa akan maknanya. Mereka sekadar bercerita namun tak bisa membuat audiensenya menangkap pesan di dalamnya. 

Kini setelah sejak kebangkitan pertama pada 50 tahun yang lalu dan kemudian dilupakan,  orang tertarik meski sedikit yang benar-benar mendapat manfaatnya.
Kebanyakan pemasaran sayangnya tidak cerdas ini. Itu sebabnya mengapa begitu banyak pesan dari iklan merek yang berseliweran setiap hari tidak diketahui public. 

Mereka menghabiskan jutaan mencoba untuk mendapatkan perhatian public, kemudian berakhir menggaruk-garuk kepala ketika tidak ada yang benar-benar membayar mereka. Mereka susah payah menghembuskan semua anggaran mereka guna menceritakan betapa menakjubkan perusahaan, produk atau layanan mereka, tapi lupa untuk meninggalkan ruang bagi kita.

Padahal, konsep cerita tentang Marlboro sebenarnya sangat sederhana, namun menawan, mudah diingat dan inspirasi. Mereka bukan tentang fakta, angka dan statistik. Mereka memberi ruang kepada public untuk melupakan realitas dunia dan membawa audience ke tempat yang bisa membuat imajinasinya menjadi begitu liar. Dalam cerita Marlboro Man public seakan diajak melihat diri sendiri dan mengidentifikasi dengan karakter utama.

Karena itu, sejatinya seni dari brand storytelling pada dasarnya bukannya merek  bercerita untuk membanggakan betapa menakjubkan merek itu, tetapi menceritakan sebuah cerita yang menempatkan pelanggan di jantung realitas dunia.

Itu juga yang dilakukan Nike, merek yang selalu bercerita tentang keberhasilan Nike merupakan bagian tersendiri dari kebangkitan brand storytelling. Pesan yang ingin disampaikan dari cerita tentang Nike adalah keberhasilan. Sebagai pemasok sepatu olahraga dan pakaian, terkemuka di dunia, Nike tidak hanya menjual barang, itu menjual sikap, yaitu bahwa setiap orang adalah atlet yang bisa menang.

Sebelum Lance Amstrong bermasalah, Nike selalu mengngkat tema-tema keberhasilan di dalam komunitas pelari mereka, dan dalam kampanye Livestrong mereka, yang didasarkan pada prestasi luar biasa yang dicapai pembalap sepeda Lance Armstrong. 

Kampanye yang mereka hadirkan melaui media sosial sangat sukses. Misalnya, saluran YouTube Livestrong mereka, menceritakan kisah orang yang terkena kanker dengan tujuan untuk memberdayakan masyarakat  melalui pesan bahwa "persatuan adalah kekuatan, pengetahuan adalah kekuatan dan sikap adalah segalanya!" mendapatkan apresiasi dari 2 juta pemirsa. The Livestrong Twitter feed memiliki lebih dari 250.000 follower , dan halaman Facebook mereka memiliki lebih dari 1,5 juta “like.”

Ada alasan bahwa Nike menjadi salah satu merek terbaik di dunia yang paling dicintai dan dihargai.  Mereka adalah master di seni brand storytelling. Mereka menggunakannya sebagai jantung dari setiap bagian dari komunikasi. Situs web mereka, iklan mereka TV, outlet mereka dan bahkan video YouTube mereka menempatkan audiensenya, pelanggan mereka berada di pusat pesan. Nike tidak membual tentang betapa mengagumkan mereka, mereka merayakan betapa mengagumkan kita.

Storytelling adalah sebuah bentuk seni terkenal dan kuno. Disini karekater menarik dikiaskan dan diceritakan baik melalui kata-kata verbal atau tulis secara luas dan bahkan bisa menyebar di seluruh dunia. 

Saat ini, penelitian ilmiah telah meletakkan dasar-dasar untuk pemahaman tentang suatu cerita secara empiris sebagai bantuan yang jelas untuk memperkaya memori, sebagai sarana untuk memahami dunia, sebagai cara untuk membuat dan memperkuat hubungan emosional, sebagai cara mengenali dan mengidentifikasi dengan merek.

Apakah Anda sekarang mengelola merek produk atau merek perusahaan, mendongeng sangat penting bagi kesuksesan, Ini karena pada dasarnya merek Anda adalah hasil penjumlahan dari semua perilaku perusahaan Anda dan komunikasi yang menginformasikan pengalaman pelanggan Anda dengan produk atau perusahaan Anda.

Secara khusus, cerita yang berfokus pada hal-hal yang bersifat pribadi (persona) sangatlah penting untuk branding. Karena itulah untuk menciptakan narasi yang kuat tentang merek, persona – sebuah bentuk yang diartikulasikan dalam karakter merek dan kepribadian – harus lebih ditampilkan dengan mengungkap semua elemen lain tentang persona tersebut. 

Sebuah merek yang menarik dimulai dengan sesuatu yang kuat tentang persona – misalnya dengan menciptakan koneksi penting antara apa yang perusahaan katakan dan apa yang dilakukannya.

Rabu, 19 Juni 2013

Trend Baru Dalam Pengelolaan Reputasi


24 April 2013, sebuah bangunan beton Rana Plaza di kawasan Savar, Dhaka, Bangladesh, runtuh dan membuat 3.500 pekerja garmen terjebak di dalamnya. Rana Plaza memproduksi pakaian untuk merek ternama seperti Benetton Group, BonmarchĂ©, The Children’s Place, El Corte InglĂ©s, Joe Fresh, Mango, Primark, dan Walmart.

Menurut sejumlah laporan berita, musibah itu mengakibatkan 1.129 orang meninggal dunia dan 2.515 orang lainnya yang terluka berhasil diselamatkan dari gedung tersebut. Sehari sebelum bangunan ambruk, manajemen mengabaikan peringatan tentang keamanan gedung. Alih-alih meliburkan karyawannya, manajemen mengancam tidak akan membayar gaji satu bulan jika pekerja tidak kembali bekerja.

Bencana tersebut sangat mengerikan sehingga banyak konsumen di negara-negara Barat menganggapnya sebagai isyarat untuk membangkitkan kesadaran kepedulian konsumen terhadap nasib pekerja. Banyak orang memandang bencana Rana Plaza sebagai dimulainya gerakan "fair trade” (perdagangan yang adil) dalam industry busana siap pakai.

Salah satu merek busana ternama, H & M, menjadi sasaran empuk para aktivis yang peduli pada perlakuan buruk terhadap pekerja garmen. Meskipun H & M tidak menggunakan Rana Plaza - dan itu sudah ditegaskan oleh H & M -- namun H & M adalah pembeli produk garmen siap pakai dari Bangladesh terbesar. Itu yang membuat H & M terseret di dalamnya. 

Dua pekan setelah bencana, kelompok penggiat hak azas manusia, Avaaz menyebarkan petisi melalui online yang menyerukan agar H & M membayar sesuai dengan standar keselamatan kebakaran dan mengurangi bahaya di tempat kerja di pabrik-pabrik di Bangladesh. Petisi itu mendapat dukungan dari 900 ribu tandatangan. Sejak ituah, H & M yang sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan Rana Plaza terseret kedalamnya. Karena kampanye tersebut, muncul persepsi publik bahwa H & M  terkait dengan perlakuan tidak adil terhadap pekerja garmen global.

Awalnya, H & M tidak merespon. Untuk meningkatkan tekanan pada perusahaan Swedia tersebut, Avaaz meluncurkan sebuah kampanye yang menampilkan foto CEO H & M, Karl-Johan Persson, yang disandingkan di atas seorang wanita Bangladesh yang menangis. Tiga minggu setelah bangunan ambruk, H & M setuju untuk menandatangani rencananya yang secara hukum mengikat.

Sebagai pemimpin industri fashion yang cepat dalam produksi dan citra, tindakan H & M untuk memperbaiki kondisi pekerja garmen di Bangladesh dipuji dan sekaligus diplototi secara ketat oleh kelompok konsumen dan buruh, juga oleh media. Sejak musibah Rana Plaza, H & M berkomitmen terhadap inisiatif hijau, seperti daur ulang, pengurangan limbah, dan peningkatan penggunaan bahan organik dan non-transgenik (organisme rekayasa genetika).

Setahun setelah musibah, sekelompok warga di lima puluh lima negara berpartisipasi dalam Fashion Revolution Day (Hari Revolusi Mode) pertama, yang disponsori oleh kelompok advokasi industri, Fashion Revolution. Ini menandai ulang tahun pertama bencana Rana Plaza dan mendorong lahirnya sebuah gerakan yang bertekad untuk tidak menerima pakaian murah dengan mengorbankan mata pencaharian - dan potensi kehidupan - para pekerja yang membuat pakaian tersebut. 

Melalui sebuah kampanye multimedia, selebriti menunjukkan dukungan mereka untuk para pekerja garmen di seluruh dunia dengan mengenakan pakaian mereka #InsideOut dan "Who Made Your Clothes?" Event Fashion Revolution Day mendapat lebih dari 6,6 juta hits di Google, trending topik dunia di Twitter, dan menjangkau lebih dari 80 juta orang.

Ini adalah salah satu dari beberapa kampanye media sosial yang dirancang untuk menekan pengecer global seperti Walmart, Benneton, Matalan, dan Primark agar membantu membuat kondisi pekerja garmen menjadi lebih baik dan berkontribusi pada Rana Plaza Donors Trust Fund. Kampanye tersebut menunjukkan hasil yang positif: Walmart, bersama dengan Walmart Foundation dan Asda, anak perusahaan supermarket Inggris Walmart, menyumbang $ 3 juta kepada BRAC USA ("BRAC" yang sebelumnya berdiri untuk Komite Bantuan Rehabilitasi Bangladesh). Sepertiga dari uang itu masuk ke dana perwalian Rana Plaza. The Gap Foundation, The Children's Place, dan Benetton Group juga melangkah maju dengan komitmen finansial.

Begitu bom pertama meledak yang diikuti bom kedua selama lomba maraton di Boston, April lalu, kepanikan melanda Lenox Hotel. Ketidakpastian dan ketakutan merasuki para tamu hotel yang terletak di kedua sisi lokasi ledakan bom tersebut. semua orang yang berada di sekitar lokasi kejadian berusaha menyelamatkan diri masing-masing.

Petugas hotel bergegas mengevakuasi para tamu yang menghuni 214-kamar hotel itu. Satu persatu mereka dipandu keluar hotel setelah sebelumnya diberitahu melalui pengumuman. Dalam waktu kurang dari 10 menit, hotel ini kosong. Ponsel, dompet, komputer dan tablet ditinggalkan, dibuang sembarangan di meja dan kursi.

Dalam Susana kekacauan yang menyertai kejadian itu, Daniel Donahue dan stafnya menggunakan media sosial untuk berkomunikasi dengan tamu. "Itu yang bisa kita coba lakukan," kata VP dan direktur pengelola Lenox itu. "Satu-satunya yang kita punya adalah media sosial. Kita tidak tahu di mana tamu kami. ... Tidak ada yang bisa mendapatkan suatu pegangan dari mereka. Tidak ada saluran komunikasi. Saluran telepon tidak bekerja, dan suatu saat staf kami menemukan pelindung ... kami menuju ke media yang tepat, yakni media sosial: Twitter, Facebook dan situs kami," katanya.

Sebelum kejadian, Donahue menilai bahwa segala perlengkapan yang mereka memiliki, termasuk strategi manajemen krisis cukup solid. Tetapi setelah pemboman, seperti yang diakui oleh salah seorang staf, media sosial yang kuat dan dapat memberikan ketenangan di saat krisis. "Ini adalah alat yang bisa sangat, sangat, sangat kuat bila digunakan dengan benar," katanya.

Daniel Edward Craig, founder of social media consultancy Reknown, mengatakan media sosial efektif selama krisis karena "semakin banyak orang akan saluran ini untuk mendapatkan update real-time untuk mencari tahu apa yang terjadi."


Meski saat ini meski begitu popular, namun sejatinya manajemen reputasi merek (Brand Reputation Management - BRM) bukanlah konsep baru. Sebab seperti yang banyak kita dengar, sangat banyak  organisasi kredibel yang selalu melihat bahwa memngelola atau mempertahankan reputasi bagi mereka adalah sesuatu yang sangat serius. Karena adanya fenomena itu berkembang disiplin public relations dan word-of-mouth marketing.

Namun, situasi sekarang berbeda dengan era lima belas atau sepuluh tahun lalu. Secara fundamental, arenanya kini telah berubah. Bila sebelumnya, umpan balik yang dilakukan oleh pengguna situs jejaringan sosial dan ulasan yang banyak dilakukan melalui jejaring sosial media, sekarang ini telah menjadi sesuatu yang biasa.

Kalau dulu pemasar dan spesialis komunikasi bisa mengontrol pesan – melalui iklan misalnya, kini perusahaan tidak lagi bahkan mustahil bisa mengontrol pesan-pesan yang berseliweran di media sosial. Dulu orang – karena ketiadaan media – orang tak bisa berbicara tentang suatu merek. Kini, orang bisa berbicara tentang produk atau merek di seluruh Web dan menentukan sendiri tema percakapan tentang merek yang menurut mereka relevan.

Jadi, dalam konteks pengelolaan reputasi, tindakan apa yang harus diambil perusahaan? Menurut saya, yang jadi persoalan sekarang adalah bagaimana pengelola merek mensikapi itu. Dalam bayangan saya, umpan balik atau ulasan-ulasan yang muncul di media sosial bisa dimaknai sebagai tantangan dan peluang bagi setiap bisnis.

Setiap hari orang-orang dari beragam budaya berbagi cerita tentang pengalaman baik dan buruk dengan produk dan layanan melalui media sosial. Dengan begitu banyaknya platform digital untuk mengekspresikan opininya secara yang luas, sementara pujian sulit didapat, bila ada seseorang atau orgaisasi melakukan kesalahan, orang mudah mengungkapkan dan menyebarluaskannya.

Dalam bisnis, kini berkembang tuntutan agar merek atau perusahaan wajib memperbaiki masalah yang terkait dengan hal-hal yang mereka jual dan melakukan bisnis secara tulus dan etis, menangani masalah sosial dan lingkungan yang terkait dengan produksi dan distribusi produk dan layanan mereka. Publik menekan perusahaan melalui kolaborasi antar elemen masyarakat sehingga persoalan yang menimpa satu perusahaan misalnya, kini tak lagi persoalan perusahaan itu sendiri melainkan bisa menjadi isu bagi lebih banyak perusahaan. Efek domino.

Itu sebabnya, bagi masyarakat bisnis, kolaborasi advokasi perlu digalang. Bukan untuk melawan mereka, melainkan berkolaborasi untuk menyelesaikan persoalan kolaboratif tersebut. Konsekuensinya, perusahan juga bergandengan tangan dengan masyarakat. 

Secara umum, bila dicermati, saat ini terdapat beberapa tren yang mempengaruhi bagaimana perusahaan mengelola reputasi mereka. Semakin pintar perusahaan membaca perubahan ini, mereka makin meningkatkan investasi dalam pendidikan internal dan membawa mitra yang lebih dekat dengan fenomena media sosial untuk membantu mengembangkan -- bukan hanya untuk kepentingan komunikasi atau pemasaran – melainkan beberapa praktek bisnis inti mereka.

Trend pertama adalah fenomena hypertransparency. Kini satu di antara emapt orang menggunakan sosial media. Juga ada jutaan blogger yang siap menulis apa saja tentang kita.  Artinya, di sekeliling perusahaan terdapat ribuan orang yang siap membedah perilaku perusahaan. Implikasinya, pertama, kita tak boleh lagi berasumsi bahwa kita dapat menyembunyikan informasi, karena suatu saat seseorang akan menemukannya. 

Februari 2009, ketika IM2 mengalami gangguan network congestion yang berakibat penurunan service semacam gagal koneksi sampai rendahnya kecepatan download, ribuan konsumen mengeluh. Begitu parahnya keluhan konsumen tersebut sampai-sampai tim Customer Service dibuat kewalahan dengan lebih dari 200.000 inquiries dalam sebulan, bahkan pada 24 Februari 2009, Detik.com mengeluarkan artikel mengenai buruknya kualitas IM2 yang berasal dari banyaknya surat pembaca mengenai IM2 ke portal berita tersebut.

Untuk meredam isu negatif di masyarakat, IM2 melakukan infiltrasi. Dengan menggunakan resource internal, tim Corporate Communication meng-infiltrasi beberapa grup anti IM2 di Facebook, Forum, dan Blog namun dengan penyamaran dan tidak pernah mengatas-namakan IM2 ataupun Indosat. Selain itu, IM2 juga membuat pages atau group-group di FB, milis sampai twitter sebagai tambahan saluran komunikasi bagi pelanggan untuk mencapai IM2 dan untuk mengisolasi permasalahan.  

Kedua, konsumen semakin menuntut keterbukaan perusahaan produsen merek yang mereka beli. Jadi, mau tak mau perusahaan harus terbuka. Ketiga, keterbukaan berarti perusahaan harus lugas dan jelas dalam memberikan informasi. Keempat, bersiaplah untuk berdamai ketika terjadi pertentangan. Sebab bagaimana pun konflik tidak akan lagi hanya bayang-bayang dalam tinjauan tahunan, melainkan sesuatu yang bakal terjadi. Kelima, bila perusahaan Anda melaksanakan CSR cobalah melaksanakannya dengan tulus ikhlas, dan jangan mengharapkan terlalu tinggi misalnya berharap mereka menghentikan menyuarakan suara-suara negatif tentang Anda.

Trend kedua adalah fenomena yang disebut dengan viral crises. Artinya, ketika terjadi krisis, informasi tentang hal tersebut menyebar melalui jaringan formal dan informal dengan kecepatan kilat dan degan informasi yang tidak utuh/lengkap. Ketika sesuatu yang buruk terjadi, informasinya menyebar dengan sangat cepat yang seringkali dilengkapi dengan video melalui YouTube.

Dalam situasi seperti itu, menerapkan pelajaran-pelajaran lama tentang pengelolaan image bisa jadi tidak efektif. Komunikasi satu arah misalnya, tak lagi efektif bila diterapkan dalam semua situasi. Ini berarti manajemen krisis telah berubah, tidak ada perusahaan yang dapat melindungi reputasinya misalnya dengan bersembunyi di balik pesan yang dikirim oleh seorang juru bicara misalnya. 

Implikasi dari trend ini bagi pengelolaan reputasi merek adalah – karena cepatnya penyebaran informasi tentang krisis terutama melalui internet -- perusahaan harus merespon secepatnya, tidak menunggu terlalu lama, karena respon yang lama mebuat publik frustasi dan makin mengkristalisasi anggapan bahwa semua informasi yang beredar menjadi suatu kebenaran. Konsekuensinya, perusahaan harus memiliki rencana untuk merespon dengan cepat.

Implikasi lainnya, komunikasi satu arah dari perusahaan mungkin tidak lagi memadai. Pemimpin perlu mengambil langkah lebih maju  dan melakukan dialog dengan pelanggan dan stakeholder. Ini berarti ada kebutuhan baru, yakni perlunya seni baru dalam pengelolaan reputasi dan perusahaan harus berlatih tentang ini.

Trend ketiga adalah makin tingginya kebutuhan untuk melakukan dialog. Ini terutama terdapat pada konsumen yang tidak begitu saja mau menerima pesan-pesan yang disampaikan perusahaan. Yang mereka inginkan adalah dialog. Ini berarti konsumen mendambakan percakapan, bukan pesan, dari merek yang mereka cintai. Bila dulu perusahaan cukup menyebarkan siaran pers melalui media dan media mungkin menerbitkannya, kini hal itu tidak cukup. Demikian pula sms layanan pelanggan misalnya.

Pada Maret 2007, The Daily Telegraph, Inggris menyebut Garuda sebagai “One of the world’s worst safety records among national carriers.” Pemberitaan negatif ini mereka kaitkan juga dengan buruknya standar keselamatan Indonesia, menyusul kecelakaan fatal yang terjadi pada maskapai lain (Adam Air). Tone serupa juga berasal dari The Straits Times, The Business Times, Air Transport Intelligence, Financial Analyst Singapore sampai CNBC.

Mendapat “serangan” gencar tersebut, Garuda tidak tinggal diam. Selain melakukan brand refreshment, sampai membuka kantor baru, Garuda juga mengkomunikasikan core values-nya yang disebut sebagai FLY HI (Efficient dan Effective, Loyalty, Costumer  Centricity, Honesty & Opennes, dan Integrity). Selain itu, Garuda memasukkan agenda perbaikan citra ini sebagai salah satu dari delapan agenda penting lain seperti restrukturisasi utang, perbaikan kualitas dan keselamatan penerbangan. Pada berbagai kesempatan, semua itu dijelaskan melalui berbagai macam dialog.

Ketika Dell dilanda krisis DellHell, mereka membuka dialog dengan menyiapkan blog Direct2Dell dan IdeaStorm. Mereka mengundang pelanggan dalam sebuah percakapan sehingga mengesankan bahwa mereka bersedia mendengar dan merespon, sekaligus menunjukkan bahwa mereka juga manusia. Ketika Lenovo ingin agar pelanggannya lebih mengenal perusahaan, mereka membangun blog di www.lenovoblogs.com. Melalui blog tersebut orang bisa berdialog sehingga dapat mengenal lebih jauh designer produk David Hill, PC-evangelist Matt Kohut dan orang-orang lain di dalam perusahaan. Ini mengsumsikan bahwa -- untukmembangun merek -- hubungan personal jauh lebih bernilai dari pada iklan.

Hari ini, BRM adalah tentang mengelola referensi, percakapan, dan umpan balik pada bisnis Anda secara aktif. Biasanya, hal-hal tersebut berlangsung secara online, meski pelu juga disadari bahwa yang terjadi di lingkungan offline juga sama pentingnya. Prinsipnya adalah keluhan di toko tidak ditangani dengan benar, maka keluhan tadi akan berseliweran di dunia maya. Karena itu, keluhan tadi tidak boleh diabaikan.

Implikasinya, perusahaan harus merombak pendekatan mereka terhadap manajemen merek perusahaan. Hiruk pikuk sosial media akan mengungkapkan perilaku whitewashing karena orang mencermati apa saja yang dikemukakan perusahaan. Tuntutan untuk keterbukaan, transparansi dan keaslian lebih dari istilah-istilah karena mereka kini telah menjadi realitas baru dari reputasi merek di era sosial.

Selasa, 18 Juni 2013

Bangkitnya Penjual-penjual Sosial


Karman, CEO sebuah perusahaan periklanan menengah sedang duduk di kantornya, ketika dia mendapat telepon dari salah satu vendornya. Seorag sales representatif, Rudy ingin berbicara tentang tawaran barunya. Karman sedang sibuk dan tidak punya waktu untuk berbicara saat itu. Sebenarnya, dia tertarik untuk mendengar lebih banyak, tetapi saat itu tidak punya waktu. Dengan sopan Karman meminta Rudy apakah mereka bisa bicara nanti. Rudy berkata ya, tapi terus bertanya lagi.

Karman mengatakan lagi bahwa ia harus bicara nanti, tapi Rudy tidak membiarkan. Ketika pada akhirnya Karman membuat Rudy berhenti berbicara, dia pergi mengambil handphonenya dan mentweet, "Bagaimana Anda berurusan dengan sales representative?  Sales dari perusahaan A itu  membuatku gila."

David bekerja di perusahaan pesaing A. Dia mengikuti percakapan Karman di Twitter. Dia melihat tweet Karman dan 10 menit dari Karman mentweet itu, David menelponnya dan meminta pertemuan. Dia dapatkan itu.

Ini adalah kisah nyata. Sudah sejak lama penjual profesional menggunakan teknologi baik untuk “membuka pintu” ataupun menutup transaksi. Penemuan mesin cetak pada tahun 1440 yang telah merevolusi dunia, telepon (1870), komputer (1960), adopsi email dan internet (1990), Google (1996) dan media sosial (2000) masing-masing telah memainkan peran besar dan penting dalam bagaimana merek memasarkan produk mereka.

Cerita tentang Rudy adalah salah satu dari ribuan cerita sukses penjual sosial yang menunjukkan bahwa sosial media kini tidak lagi berbicara tentang yang seseorang miliki atau untuk makan siang. Media sosial kini juga lebih dari sekedar tempat orang untuk menumpahkan keluhannya tentang koneksi internet jelek atau barang yang jelek dam sebagainya. Media sosial adalah lebih dari sekedar mendengarkan promosi dari sebuah merek baru.

Secara global, seperti yang diinformasikan The Social Skinny, dalam lima tahun mendatang penjualan melalui social commerce diperkirakan mencapai $ 30 miliar. Sekitar 45% dari pengguna media sosial setidaknya merasa 'agak' nyaman memberikan rincian data kartu kredit yang mereka miliki melalui saluran media sosial. Secara spesisifk, fenomena ini dijumpai pada pembeli pria usia 18-34 tahun dan berpenghasilan lebih dari  $ 35 ribu.

Yang menarik, lebih dari 20% konsumen membeli merek produk favorit mereka melalui media sosial mereka (sebagai lawan dari website normal), 34% cenderung berbagi informasi tentang pembelian di situs media sosial.  Juga 74% tidak akan menggunakan mata uang alternatif (kredit Facebook misalnya) untuk melakukan pembelian di situs media sosial.

Sosial media kini sebuah platform komunikasi yang kuat dan komunikasi akan selalu berada di jantung penjualan. April 2012 lalu, Bryant dan Dudley – peneliti Behavioral Sciences Research Press di Dallas, Texas – mewawancari 4.768 tenaga penjualan (67% laki-laki, 33% perempuan, rata-rata berusia 40) dari 1.000 perusahaan AS dari berbagai industri  tentang bentuk komunikasi yang bisa mempengaruhi kesuksesan penjualan produk baru.

Hasilnya, sekitar 70% mengatakan bentuk komunikasi tatap muka dan kontak telepon adalah yang paling membantu untuk menghasilkan penjualan baru. Hanya sekitar 10% yang menyatakan bahwa email yang paling efektif dan kurang dari 10% mengatakan bentuk lain dari komunikasi seperti SMS yang paling efektif.

Jadi social sales tidak berarti mengabaikan praktek penjualan tradisional. Penjual sosial tidak dan seharusnya tidak meninggalkan email, telepon atau metode tatap muka. Namun, penggunaan   media sosial akan membuat metode-metode tradisional jauh lebih produktif. Pelanggan menjadi mendapatkan kontak yang hangat.

Social salespeople adalah tenaga penjual yang menggunakan platform media sosial untuk mendengarkan, berhubungan, terlibat dan mengidentifikasi peluang keterlibatan pada waktu yang tepat. Dalam konteks ini, seorang social sales adalah seseorang yang menunjukkan kemampuan berbaur dengan teknologi digital, web yang inovatif dan media sosial untuk meningkatkan jangkauan, kedalaman, dan untuk mempercepat siklus penjualan.

Disini terkait dengan perkembangan teknologi. Teknologi baru membuat perubahan mendasar pada sifat interaksi sosial dan mempengaruhi setiap aspek di masyarakat. Secara khusus, transaksi yang didukung media sosial muncul sebagai dimensi integral dari cara orang membeli produk. Jejaring media sosial juga menjadi fasilitator penting dalam hubungan dengan pelanggan. Disini jelas bahwa dalam urusan bisnis, perusahaan dan individu mencari keuntungan profesional dari media sosial.

Perubahan sosial ini memiliki relevansi khusus dengan organisasi penjualan, yang berfungsi sebagai jembatan antara organisasi dan pasar. Tenaga penjual, sering dianggap sebagai mata dan telinga organisasi mereka. Hubungan sosial mereka ditujukan untuk meningkatkan kinerja penjualan. Jadi, secara tradisional, tenaga penjualan berada dalam irisan jaringan sosial dan organisasi penjualan untuk menciptakan nilai bagi pelanggan dan perusahaan.

Kedekatannya dengan pelanggan memungkinkan tenaga penjualan untuk mendapatkan nilai tambah dalam hubungan. Hubungan pembeli-penjual memungkinkan penjual untuk mengembangkan hubungan pelanggan yang ditandai dengan adanya pertukaran informasi,  kepercayaan, timbal balik, dan mengurangi konflik. Oleh karena itu, sangat penting untuk memahami bagaimana  media sosial dapat meningkatkan kemampuan penjual guna menciptakan nilai pelanggan yang unggul.

Penggunaan media sosial oleh tenaga penjualan dapat digunakan sebagai cara profesional penjualan menghasilkan konten (misalnya, blog, mikroblog, wiki) dan mengembangkan jaringan (misalnya, jaringan sosial, komunitas online. Kategorisasi tersebut dapat membantu tenaga penjualan memahami bagaimana menggunakan media sosial untuk mencapai tujuan strategis dari customer engagement. Ini dimungkinkan karena konsumen sekarang relatif sudah terkoneksi dengan sosial media. 


Dalam laporannya berjudul Worldwide Social Network Users: 2013 Forecast and Comparative Estimates,  eMarketer menulis bahwa satu dari empat orang di seluruh dunia menggunakan jejaring sosial pada tahun 2013. Ini setara dengan kenaikan sebanyak 1,73 miliar pengguna media sosial dari 1,47 miliar pada 2012, dan pemirsa global ini diperkirakan melompat menjadi 2,55 miliar dalam lima tahun ke depan. Di Indonesia, diperkirakan satu dari dua penduduk Indonesia akan menggunakan jejaring sosial media.



Saat ini, customer engagement telah menjadi "keharusan strategis" bagi bisnis karena customer engagement memainkan peran kunci dalam kegiatan pemasaran viral melalui arahan dan/atau rekomendasi untuk produk, jasa, dan atau merek tertentu kepada orang lain. Karena itu, penjual berorientasi pelanggan sering mencari cara baru untuk berinteraksi dan terlibat dengan pelanggan  untuk bersama-menciptakan nilai.

Mengadopsi perspektif proses psikologis, Bowden (2009) menunjukkan bahwa customer engagement melibatkan (1) komitmen  yang merupakan dasar perilaku pembelian,  (2) mengarahkanke komitmen emosional, yang merupakan dasar untuk loyalitas pembeli, dan ( 3) meningkatkan keterlibatan dan kepercayaan. Brodie et al. (2011) mengandaikan bahwa customer engagement dibentuk oleh pengalaman pelanggan interaktif yang tertanam dalam hubungan pelayanan yang bertujuan menciptakan nilai.

Customer engagement terjadi melalui interaksi berulang media sosial antara pembeli dan penjual. Masing-masing memberikan umpan balik memperkuat (melemah) hubungan pembeli-penjual. Tenaga penjualan dapat meningkatkan komitmen dengan menegaskan kembali atribut penting dalam pengambilan keputusan. Konfirmasi tersebut dapat menjadi subjek blog yang menampilkan keahlian teknis penjual atau forum yang menarik pada kecerdasan kolektif dari pelanggan yang sudah ada dan pemasok. Pendekatan ini mungkin sangat berguna bagi penjual produk yang kompleks, yang harus memenuhi kebutuhan membeli pusat dengan kriteria pembelian ganda.

Platform media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Google dapat digunakan untuk menciptakan, memelihara, dan meningkatkan dimensi sosial hubungan dengan pelanggan. Ini menawarkan kesempatan untuk membangun engagement dengan pelanggan satu-satu melalui perhatian sampai ke hal-hal yang bersifat pribadi mereka. Ini adalah masalah yang kompleks karena penjual harus berhati-hati dan menghindari pelanggaran batas-batas antara profesional dan pribadi domain pembeli.

Selanjutnya, keterlibatan pelanggan sering dianggap sangat berkorelasi dengan kepercayaan dan komitmen dalam hubungan pembeli-penjual. Mendorong strategi yang memanfaatkan jaringan profesional besar untuk menyebarkan arahan akan lebih efektif ketika pelanggan sangat terlibat. Keterlibatan pelanggan dapat ditingkatkan dengan memberikan kesempatan untuk mencari, memberi, dan mengemukakan pendapat tentang produk dan layanan di komunitas online, wiki, dan situs karya-sharing kreatif (misalnya, YouTube, Flickr).

Namun, menggunakan media sosial untuk menciptakan nilai pelanggan bukan tanpa tantangan. Seperti halnya implementasi strategi lain atau inisiatif teknologi, media sosial juga rentan terhadap kesalahan penanganan. Sebuah pendekatan yang terlalu liberal terhadap penggunaan media sosial oleh tenaga penjual dapat memberikan peluang berkompetisi atau pelanggan yang tidak puas yang mengambil kendali. Selanjutnya, inkonsistensi dalam hal tanggapan terhadap permintaan pelanggan dan informasi usang negatif dapat mempengaruhi hasil yang diinginkan.

Berceritalah, maka Orang akan Membeli Produk Anda

Pada 1980-an, tidak ada kampanye anti-membuang sampah sembarangan yang efektif di Texas. Bahkan kampanye TV nasional yang sangat suksespun – dilihat dari audiensnya --  yang menunjukkan penduduk asli Amerika menumpahkan air mata di atas jalan raya yang kotor oleh sampah tidak berhasil mempengaruhi warga Texas untuk tidak membuang sampah sembarangan.
Kenapa? Penelitian menemukan bahwa orang-orang di Texas yang melakukan sebagian besar membuang sampah sembarangan adalah lelaki usia 18 - 35-tahun, pengemudi pickup yang menyukai musik country, tidak menyukai penguasa, dan tentu saja tidak peduli dengan kecengengan penduduk Amerika. Inilah adalah target pasar kampanye mereka sebenarnya. Mereka menyebut ini demografis "Bubba."
Lalu apa yang menjadi kepedulian para Bubba ini? Sejatinya Bubba sangat peduli pada Texas. Segala sesuatu yang ada di texas dilihat sebagai sesuatu yang lebih besar dan lebih baik. Seperti halnya kita dan warga Texas lainnya, Bubba sangat peduli pada dirinya sendiri. Solusinya kemudian, membuat kampanye yang bisa membuat Bubba mencintai negara asalnya, dan kebanggaan diri secara alami. Karena itulah dibuat kampanye "Jangan main-main dengan Texas" . . . . Pesan dalam iklan pun dibuat  sama. “Bila Anda membuang sampah di sini, berarti kau mengacau Texas. " Dan ketika Anda membuat Texas berantakan, berarti Anda mempermainkan siapa pun yang peduli pada Texas. . . .
Pesan asosiatif ini berhasil mengubah pelaku pembuang sampah paling buruk menjadi pembela paling fanatik kampanye anti buang sampah sembarangan. "Hei, itu aku!" Tidak hanya Bubba yang kini tidak membuang sampah sembarangan, tetapi jika melihat melihat orang lain membuang sampah sembarangan, dia akan meminta pembuang sampah sembarangan tadi mengambil kembali sampahnya. Hasilnya, dalam waktu lima tahun, pembuang sampah sembarangan turun 72 persen.
Pelajaran dari ilustrasi tersebut adalah jika audiens Anda tidak peduli pada ide Anda, cari tahu kepedulian apa yang ada pada mereka dan mengasosiasikan pesan Anda dengan itu.
Sekali waktu, semasa masih menjadi manajer muda, Paul Smith – seperti yang dituturkan dalam bukunya Lead with a Story: A Guide to Crafting Business Narratives That Captivate, Convince, and Inspire - bekerja keras menyiapkan slide presentasi untuk CEO Procter & Gamble, AG Lafley. Untuk membuat Smith cemas, sambil berbicara Lafley duduk dengan punggungnya menghadap ke layar dan tidak sekalipun melirik ke slide, bukan  memilih fokus pada Smith.
Ini memberikan Smith sebuah pelajaran berharga: Sebuah paparan yang meski berdasarkan fakta, tidak pernah bekerja sebaik sebuah cerita. Dalam manual ini yang sangat bermanfaat ini, Smith menawarkan lebih dari 100 cerita yang dapat digunakan pembaca menghadapi berbagai situasi bisnis. Dia mengajarkan dasar-dasar cerita, termasuk contoh dan latihan. Secara sederhana Smith mengajarkan kepada Anda cara mudah dan menarik Anda ke dalam setiap kisah.
Selama bertahun-tahun P & G telah menjadi salah satu merek global terkemuka yang berhasil memasarkan produknya dengan menceritakan kisah-kisah di sekitar mereka. Suatu hal yang bertentangan dengan opini yang berkembang selama ini, bahwa prestasi penjualan itu hanya bisa dicapai melalui belanja iklan yang besar atau banyak melakukan riset pemasaran.
Kini era mendongeng telah datang. Saat ini, banyak perusahaan paling sukses menggunakan pengisahan cerita sebagai alat kepemimpinan. Di Nike misalnya, semua eksekutif senior ditunjuk sebagai "pendongeng perusahaan." Tahun lalu, 3M melarang para eksekutifnya membuat poin-poin presentasi  dan menggantinya dengan penulisan "narasi strategis."
Bahkan Procter & Gamble menyewa sutradara Hollywood untuk mengajarkan teknik bercerita kepada para eksekutifnya. Beberapa sekolah bisnis maju telah menambahkan program mendongeng pada  kurikulum manajemen mereka. Alasannya sederhana: Cerita memiliki kemampuan untuk melibatkan logika penonton jalan dimana poin-poin saja tidak bisa melakukannya. Anda mencoba untuk mengkomunikasikan visi, menjual ide, atau menginspirasi komitmen? Mendongeng adalah alat bisnis yang kuat yang dapat memberikan perbedaan berarti antara hasil biasa-biasa dan kesuksesan fenomenal.
Banyak contoh-contoh dari perusahaan seperti Kellogg, Merrill Lynch-, Procter & Gamble, National Car Rental, Wal-Mart, Pizza Hut, dan banyak lagi, yang ditampilkan dalam buku ini. Ini bisa menjadi sumber daya praktis dan bimbingan bagi pembaca akan kebutuhan dalam bercerita sehingga memberi efek yang menakjubkan.
Dalam buku ini Smith yang pernah memimpin divisi pemasaran P & G, membawa Anda ke dalam budaya dan pengambilan keputusan di P & G. Dipenuhi dengan wawasan Smith yang langka dan "Anda harus berada di sana" untuk mendapatkannya, gaya cerita buku ini yang hidup sampai janjinya bahwa  mendongeng bisa memberikan pelajaran yang kuat. Banyak buku tentang mendongeng, tapi buku ini menawarkan sesuatu yang berbeda dari kekuatan bercerita. Ulasannya bukan dari sudut pandang akademis, tetapi dari lensa seorang pendongeng merek yang telah mempelajari dan menggunakan cerita untuk membantu menjual produk hingga mencapai jutaan dolar.