Jumat, 20 Desember 2013

Rekayasa Sebuah Penampilan

Menjadi karakter manusia, jika diberi pilihan biasanya mereka lebih memilih bersosialisasi. Sejak munculnya Facebook, Twitter, Instagram dan lainnya yang disebut dengan jejaring sosial atau  Web 2.0,  manusia telah belajar untuk bersama, intim, dan spontanitas. Di Web seseorang bisa melakukan apa yangdiinginkan seperti mengedit wajah untuk menunjukkan kepada orang lain dengan cara yang tidak mungkin dalam ruang fisik sebenarnya. Ini yang kemudian memunculkan pertanyaan, apakah yang selama ini kita saksikan di website, media sosial adalah sesuatu yang asli atau tidak.

Alice E. Marwick, seorang pengamat yang mengajar budaya online Amerika di Fordham University melihat bahwa Teknologi media sosial seperti YouTube, Twitter, dan Facebook menjanjikan budaya partisipatif baru melalui online. Namun, melalui buku ini, Marwick berpendapat bahwa Web 2.0  hanya mendorong sebuah keasyikan terhadap suatu status dan perhatian, padahal hal itu belum tentu terjadi.
Penelitiannya yang menggunakan metode wawancara mendalam dengan pengusaha, selebriti internet, dan wartawan Silicon Valley -  mengeksplorasi budaya dan ideologi masyarakat yang akrab dengan teknologi seperti di San Francisco pada periode antara perkemabngan dot.com dan toko App atau ketika kota itu menjadi pusat perkembangan media sosial.
Marwick berpendapat bahwa tujuan awal revolusioner dari penggunaan media sosial  gagal terwujud. Di sisi lain, banyak orang yang masih melihat media sosial sebagai sarana pendemokrasian. Jika tidak mengubah pengguna menjadi pemasar dan promosi diri, perusahaan teknologi membuat pihak lain berkecenderungan untuk melanggar privasi dan memprioritaskan keuntungan dari partisipasinya. Marwick menganalisis cara orang atau lembaga membangun statusnya - seperti self-branding, micro-celebrity, dan life-streaming -  untuk menunjukkan bahwa Web 2.0 tidak memberikan sebuah revolusi budaya, tetapi hanya melanjutkan ketimpangan dan memperkuat tradisi stratifikasi sosial yang dibatasi oleh ras, kelas, dan gender.
Buku ini merupakan hasil studi mendalam yang dilakukan Marwick dengan pendekatan etnografi budaya pada perusahaan-perusahaan di Silicon Valley selama 2006-2010. Update status adalah versi yang lebih mudah dibaca dari disertasi Ph.D Marwick di Yale University. Buku menceritakan tentang gosip, pesta,  budaya startup, dan kemunculan 2.0. Tujuan Marwick melakukan studi ini adalah untuk menjelaskan kepada pembaca seputar cara perusahaan-perusahaan Silicon Valley beroperasi, bukan dari sudut pandang ekonomi, tetapi dari sudut pandang budaya. Pertanyaan utamanya adalah nilai-nilai dan keyakinan apakah yang mengikat kebersamaan dalam budaya Web 2.0, khususnya di Valley?
Dalam buku ini, Marwick menghindari banyak bahasa akademisi sperti yang sering dijumpai di buku fiksi  populer ala Malcolm Gladwell, kecuali dia menggunakan kata-kata seperti "simulacra." Dalam bunya ini, sejak awal dia mengatakan bahwa tujuannya adalah untuk memberikan gambaran tentang budaya Silicon Valley selama periode dia melakukan pengamatan, terutama pada nilai-nilai sub-budaya tertentu, keyakinan, atau cara bagaimana budaya tersebut bekerja.
Pada awal buku ini  dia mengatakan bahwa meski banyak klaim yang mengatakan bahwa teknologi telah membangun relasi yang egaliter, namun pada kenyataannya Web 2.0 adalah seperti subkultur lain yang terbangun oleh hierarki. Hireraki itu selanjutnya memberikan semacam pedoman atau cara suatu tindakan yang dibentuk dan kemudian mengikat anggota kelompok.
Menurut dia, para insider menggambarkan adanya penapat yang agak berbeda ini dengan sangat rinci. Pengamatan terhadap hampir semua kelompok online mengungkapkan bahwa secara hirearki, status sering berfungsi untuk membatasi partisipasi, yang kadang-kadang mengikuti garis kekuasaan. Jadi pada dasarnya,  perusahaan-perusahaan di lembah Silicon tidaklah beroperasi secara egaliter, melainkan suatu tempat yang penuh dengan kekuasaan dan hierarki yang tidak berbeda dari subkultur Amerika lainnya.
Pandangan Marwick tentang Silicon Valley seakan mengungkapkan sinisme Marwick adalah jauh lebih sinis daripada pandangan saya. Tapi pandangan itu bisa menjadi sumbangan kepada pembaca, janganlah berharap kue jatuh dari langit. Marwick tidak ingin mengatakan bahwa hal itu adalah sesuatu yang memalukan. Betapa tidak, dalam lingkungan dimana pandangan orang luar seakan mengatakan bahwa mereka demokrasi, di dalamnya banyak terjadi perbedaan berdasarkan jenis kelamin, kelas, dan ras Perempuan tidak memiliki akses ke modal, dan orang-orang kulit putih atau orang-orang kaya masih memegang kendali pada pengambilan keputusan akhir. Disini Marwick hanya mengatakan bahwa praktek kerja di Silicon Valley tidak jauh berbeda dari subkultur kapitalis Amerika lainnya.
Status Update memang bukan untuk pengadopsi awal, orang-orang yang aktif di teknologi, atau orang-orang yang memiliki akar budaya Silicon Valley. Disini pembaca tidak akan menemukan banyak hal baru. Bahkan banyak pembaca blog teknologi Engadget atau seperti The Verge akan mengetahui sebagian besar poin yang ada dalam buku ini sehingga terasa usang. Namun demikian, buku ini menarik bagi pengguna baru media sosial, orang-orang media utama, atau pembaca yang baru saja membeli smartphone dan terpesona oleh budaya teknologi .
Meski demikian ada sesuatu yang baru dari fakta yang diungkap buku ini. Bila selama ini beberapa buku yang membahas tentang internet lebih banyak membahas soal ketimbangan dari sisi pengguna internet,  dari buku ini kita dapat melihat akan adanya sebuah rekayasa dari sebuah penampilan atau sesuatu yang tampak. Di Bab 5 misalnya Marwick mengeksplorasi budaya lifestreaming. Disini dia melakukan pengamatan terhadap mereka yang dia sebut mencintai media sosial dan menggunakan program untuk melacak hal-hal kecil dari kehidupan sehari-hari, mulai dari katalog musik ( Last.fm ) untuk pelacakan dan penilaian setiap hubungan seksual (Bedposted). Dia menyebut lifestreaming sebagai sebuah strategi pengeditan simulacrum dimana secara khusus sesuatu dikonfigurasi untuk disaksikan oleh pemirsa.

Marwick melengkapi laporan lapangan ini dengan keluhan tentang kedangkalan budaya internet. Dia berulang kali mengingatkan kita bahwa personas diadopsi oleh "micro-selebriti" melalui Twitter dan di blogosphere penampilan direkayasa secara hati-hati, meskipun pretensi mereka adalah untuk "keaslian." Marwick lalu menunukkan bagaimana sebenarnya sebuah ketenaran dicapai. Menurut dia, ada dua cara untuk mencapai ketenaran melalui internet. Pertama dengan secara sadar mengatur diri untuk mencapai pengakuan, atau melalui pengakuan dari orang lain yang telah mengukir prestasi teretentu. Hal ini berlaku untuk semua yang ingin mencapai ketenaran pada umumny. Ini sudah menjadi tradisi yang mungkin telah ada selama ribuan tahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar