Rabu, 18 Juni 2014

Change Series - Merancang Pesan Untuk Membangun Kesiapan Perubahan (1)

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, kesiapan perubahan dianggap sebagai tahap penting yang perlu dilakukan untuk keberhasilan adopsi perubahan (Armenakis et al, 1993). Kesiapan untuk perubahan awalnya dikonseptualisasikan dalam konteks psikologi kesehatan dan penelitian medis (misalnya Block & Keller, 1998; Prochaska, Redding, dan Evers, 1997). Penelitian ini mulai dilakukan dengan objek perilaku sehat tertentu (misalnya merokok). Namun kemudian, mereka mengadopsi kesiapan ke dalam setting organisasi. Hasil-hasil penelitiannya menunjukkan bahwa banyak faktor yang secara efektif mempengaruhi implementasi perubahan organisasi.
Armenakis et al (1993) menggambarkan dua program tindakan diperlukan untuk menciptakan kesiapan perubahan dalam suatu organisasi. Yang pertama adalah mengkomunikasikan sebuah pesan kesenjangan. Pesan ini ditujukan untuk memberikan pemahaman kepada karyawan tentang kondisi saat ini, kondisi yang diharapkan, dan perlunya perubahan. Yang kedua adalah untuk membangun kepercayaan pada karyawan bahwa mereka memiliki pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang diperlukan untuk menghadapi perbedaan (Armenakis et al., 1993). Membangun kepercayaan perlu karena jika karyawan merasa tidak memiliki self-efficacy kemampuan untuk berubah, maka hal ini dapat mengakibatkan reaksi negatif seperti pembelaan diri dan penolakan (Nadler & Tushman, 1989).
Chreim (2006) menemukan bahwa karyawan menerima perubahan jika mereka menganggap bahwa keterampilan dan kemampuan individu mereka sesuai dengan yang dibutuhkan dalam peran mereka yang baru nanti. Dengan menjalankan dua program ini, tindakan untuk menciptakan kesiapan sebuah organisasi dipandang sebagai upaya mencairkan keyakinan dan sikap karyawan dalam mempersiapkan mereka untuk perubahan (Armenakis et al, 1993).
Sebagai contoh, orang yang memiliki rasa percaya diri pada kemampuan mereka mengatasi perubahan pekerjaan -- atau mereka yang memiliki self-efficacy yang tinggi -- dilaporkan memiliki kesiapan tinggi untuk perubahan organisasi dan berpartisipasi lebih  pada kegiatan merancang ulang rencana perubahan (Cunningham et al., 2002). Peneliti lain menekankan pentingnya membangun keyakinan seorang karyawan terhadap manfaat dari perubahan bagi organisasi dan proses kerja (Jones, Jimmieson, & Griffiths , 2005 ), dan keyakinan individu bahwa perubahan adalah "penting dan bisa berhasil" (Eby, Adams, Russell, & Gaby, 2000: 422).
Kesiapan untuk perubahan didefinisikan sebagai suatu sikap yang secara kolektif dipengaruhi oleh isi perubahan, proses perubahan, konteks perubahan dan individu karyawan (Holt, Armenakis, Feild, & Harris, 2007). Kesiapan untuk perubahan tercermin pada sejauh mana karyawan secara emosional dan kognitif cenderung menerima rencana perubahan (Holt et al, 2007).
Holt et al ( 2007) menggambarkan kesiapan untuk perubahan sebagai bangunan multidimensi berdasarkan empat komponen, yakni apakah karyawan merasa bahwa perubahan itu sesuai (kesesuaian), apakah mereka percaya bahwa manajemen mendukung perubahan (dukungan manajemen), apakah mereka merasa mampu membuat perubahan tersebut berhasil (self-efficacy ), dan apakah mereka percaya bahwa perubahan itu menguntungkan mereka secara pribadi, yang dapat mengingatkan mereka untuk membutuhkan perhatian tentang perubahan (valensi pribadi). Dengan mengukur semua faktor ini secara kolektif, kombinasi itu menghasilkan alat ukur kesiapan untuk perubahan yang lebih komprehensif.

Sebuah perspektif saat ini tentang kesiapan untuk perubahan yang diperkenalkan sebagai konstruk multidimensi yang berakar pada empat komponen: kesesuaian (karyawan merasa bahwa perubahan itu sesuai dengan organisasi, karyawan merasa bahwa perubahan sebagai sesuatu yang perlu dilakukan), dukungan manajerial (karyawan merasa bahwa manajer mendukung perubahan), self efficacy (karyawan merasa bahwa mereka memiliki keterampilan dan kompetensi untuk berhasil mengatasi perubahan), dan valensi pribadi (karyawan percaya bahwa perubahan akan menguntungkan pribadi) (Holt et al., 2007).

Change Series - Pentingnya Komunikasi untuk Perubahan

Salah satu persoalan mendasar bagi keberhasilan perubahan organisasi adalah penerimaan perubahan oleh karyawan. Ini sekaligus mengkover persoalan bahwa dalam setiap perubahan akan selalu diikuti oleh adanya penolakan terhadap perubahan tersebut. Kubler-Ross (1973) berpendapat bahwa setiap orang melalui lima tahap proses ketika berhadapan dengan perubahan, yakni penolakan, kemarahan, tawar-menawar, depresi dan penerimaan.
Orang-orang cenderung menentang perubahan dikarenakan mereka merasa tidak aman dan tidak pasti terhadap hasil yang akan diperoleh nantinya. Penolakan perubahan tersebut tidak hanya sebagai fungsi dari sikap disposisional mereka terhadap perbedaan yang dirasakan antara perubahan dan status quo, tetapi bisa juga dikarenakan mereka kurang informasi tentang apa, bagaimana serta kapan manfaat perubahan bisa mereka rasakan (Oreg, 2006).
Karena itulah, salah satu strategi untuk mengurangi resistensi pada karyawan adalah dengan melibatkan karyawan ke dalam proses dan perubahan itu atau memberdayakan mereka untuk membuat perubahan sendiri. Beberapa studi empiris mendukung strategi untuk keberhasilan pelaksanaan perubahan, terutama dalam sektor publik (Warwick, 1975, Denhardt dan Denhardt, 1999; Poister dan Streib, 1999).
Namun, keterlibatan karyawan saja tidak cukup. Selama proses perubahan tersebut manajer perlu memainkan peran dalam mendorong dan mendukung  perubahan tersebut (Thompson dan Sanders, 1997). Bruhn, Zajaz dan Al-Kazemi (2001) setuju dengan pandangan ini dengan mengatakan bahwa keterlibatan karyawan harus luas dan mencakup semua tahapan proses perubahan. Mereka juga menekankan pentingnya dukungan dan keterlibatan tim manajemen dalam proses perubahan tersebut.
Kesiapan untuk perubahan juga menjadi faktor penting. Kesiapan tercermin dalam keyakinan, sikap, dan niat anggota organisasi berkaitan dengan perubahan yang diperlukan dan kapasitas organisasi untuk berhasil melakukan perubahan. Ini adalah aspek kognitif terhadap perilaku, baik penolakan maupun dukungan terhadap upaya perubahan (Amenakis, et al., 1993). Kesiapan ini dimulai dengan persepsi individu manfaat dari perubahan (Prochaska et al, 1994.), risiko kegagalan dalam perubahan  (Armenakis et al, 1993), atau tuntutan perubahan eksternal yang dipaksakan (Pettigrew, 1987).

Disini mengindikasikan pentingnya keterampilan manajemen dalam berkomunikasi sepanjang masa perubahan. Menurut Armenakis et al (1993), upaya perubahan tergantung pada kemampuan organisasi mengubah perilaku individu karyawan secara perorangan. Jika perubahan organisasi adalah tentang bagaimana mengubah tugas individu masing-masing pegawai, komunikasi tentang perubahan, dan informasi tentang perubahan tersebut kepada karyawan sangat penting. Karena itu, komunikasi dengan karyawan harus menjadi bagian penting, dan sebagai bagian upaya integratif serta strategi perubahan.

Sabtu, 14 Juni 2014

Change Series - Build Readiness for Changing (1)
Salah satu risiko dalam mengelola sebuah merek yang mapan adalah kelelahan yang menghinggapi pengelolanya. Ini karena setiap saat pengelola dihadapkan pada persoalan perubahan lingkungan dan menuntut terus beradaptasi dengan perubahan tersebut. Disinilah pentingnya untuk mengkomunikasikan rencana perubahan ke dalam.

Setiap saat lingkungan bisnis dan pemasaran berubah. Ambil contoh perubahan preferensi warna mobil. Tiga empat tahun lalu, pembeli mobil lebih suka warna hitam. Sebelumnya mungkin warna abu-abu metalik. Kini konsumen lebih menyukai warna putih, padahal 10 tahun lalu, warna putih bukanlah pilihan. 
Yang paling nyata adalah kebiasaan kita mengkonsumsi media. Lima belas tahun lalu, kita masih mengandalkan media cetak untuk update informasi. Sepuluh tahun lalu beralih ke televisi, dan lima tahun lalu masih berkutat di internet konvensional. Kini, kita sedikit-demi sedikit meninggalkan mereka karena semua informasi bisa kita dapatkan melalui gadget (smartphone).


Oktober nanti Indonesia bakal mempunyai pemerintahan baru. Seperr biasa yang sering kita jumpai, setiap pergantian pemerintahan selalu diikuti dengan perubahan kebijakan. Fenomena ini menuntut pengelola merek beradaptasi. Dalam konteks branding, adaptasi terhadap perubahan, salah satunya adalah adalah dengan menjaga agar  brand menjadi selalu relevan bagi konsumen atau pasar.
Bila dikaitkan dengan fenomena perubahan yang terjadi terus-menerus, adaptasi juga harus dilakukan dengan terus menerus dalam arti pengelola merek harus terus menerus merevitalisasi mereknya. Sebab, seringkali suatu merek menurun bukan karena mereka telah kehilangan kemampuan mereka untuk menawarkan sesuatu atau loyalitas pengguna mereka memudar. Yang sering terjadi adalah karena mereka telah menjadi kurang relevan.
Penurunan merek lebih sering terjadi karena pelanggan enggan membeli dan lebih tertarik kepada kategori atau sub kategori baru yang ditawarkan oleh pesaing. Atau merek menurun karena menyelinap keluar dari pertimbangan karena merek tersebut kehilangan energi dan visibilitasnya. Dalam hal ini, kegagalan manajemen merek untuk memahami merupakan masalah yang sebenarnya dan berarti bahwa program pemasaran tidak efektif dan sumber daya terbuang atau salah arah.
Gambaran diatas menunjukkan bahwa dalam kehidupan organisasi saat ini, perubahan adalah sesuatu yang sudah lazim. Namun dalam waktu belakangan ini perubahan tersebut berlangsung dengan sangat cepat, dan kompleks. Hal ini mempertegas pendapat bahwa mengamati perubahan menjadi penting karena meskipun lazim, namun terjadi dengan kecepatan yang tinggi, dan kompleks. Itu sebabnya, dalam konteks perubahan, apapun perubahan yang berlangsung, pengelolaan merek memerlukan strategi pengambilan keputusan yang mendukung ekuitas merek untuk jangka panjang.
Dalam konteks strategi pengambilan keputusan pengelolaan merek, beberapa studi menunjukkan akan pentingnya manajemen internal branding. Model ini mengidentifikasi pembentukan komitmen merek dan brand citizenship behavior karyawan sebagai konstituen penting dalam mendukung keberhasilan revitalisasi merek, dan dengan demikian pada gilirannya mendukung kekuatan merek.
Komitmen merek didefinisikan sebagai sejauh mana keterikatan psikologis karyawan terhadap merek. Komitmen ini tercermin pada kesediaan mereka untuk mengerahkan usaha ekstra guna mencapai tujuan merek, yaitu mengerahkan perilaku mereka sebagai bagian dari merek dan karenanya menghasilkan kualitas kekuatan merek baru.
Untuk tujuan ini komitmen merek dapat dilihat dari tiga dimensi yang terdiri dari ketaatan, identifikasi dan internalisasi. 'Ketaatan' adalah kesediaan karyawan untuk menyesuaikan pandangan dan perilaku sendiri sesuai dengan persyaratan merk dan/atau perusahaan. 'Identifikasi' mengukur sejauh mana karyawan percaya bahwa mereka adalah konstituen dari merek dan perusahaan. Akhirnya, konsep 'internalisasi' menunjukkan sejauh mana karyawan telah memasukkan merek ke dalam pikiran dan diimplementasikan dalam perilaku mereka.
Brand Citizenship Behaviour (Perilaku Kewarganegaraan Merek) merupakan suatu konstruk yang menggambarkan sejumlah perilaku karyawan yang memberikan kontribusi pada peningkatan identitas merek. Oleh karena itu, perilaku kewarganegaraan merek merupakan keinginan dari setiap karyawan untuk secara sukarela menunjukkan karakteristik perilaku tertentu generik -- di luar sistem harapan peran yang ditetapkan secara formal – dan memperkuat identitas merek.
Perilaku kewarganegaraan merek ini dapat dilihat dari tujuh dimensi, yakni kemauan untuk membantu, brand awareness, brand antusiasme, keinginan untuk menerima pengorbanan, kesediaan menjadi 'misionaris' pemasaran merek serta berjuang untuk mengembangkan dan meningkatkan diri sendiri serta merek.
Kekuatan merek didefinisikan sebagai tingkat relevansi perilaku merek, yaitu sejauh mana merek mampu menciptakan diferensiasi dan preferensi dalam perilaku merek - relevan. Dalam konteks ini, perilaku merek yang relevan tidak hanya mencakup perilaku pembelian tetapi juga perilaku merek – yakni relevan dalam komunikasi dan relevansi lainnya, seperti berbicara tentang merek, merekomendasikan merek.
Penjelasan tersebut mempertegas peran komunikasi dalam membangun kesiapan karyawan untuk berubah. Sebab seperti diketahui, salah satu persoalan mendasar bagi keberhasilan perubahan adalah penerimaan perubahan tersebut oleh karyawan. Dalam konteks karyawan, perubahan ini melalui lima tahap, yakni penolakan, kemarahan, tawar-menawar, depresi dan penerimaan.
Kesiapan tercermin dalam keyakinan, sikap, dan niat anggota organisasi berkaitan dengan perubahan yang diperlukan dan kapasitas organisasi untuk berhasil melakukan perubahan. Ini adalah aspek kognitif terhadap perilaku, baik penolakan maupun dukungan terhadap upaya perubahan. Kesiapan ini dimulai dengan persepsi individu manfaat dari perubahan, risiko kegagalan dalam perubahan, atau tuntutan perubahan eksternal yang dipaksakan.
Kepribadian seseorang merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tingkat resistensi perubahan organisasi. Oreg (2003) menemukan bahwa variabel konteks memainkan peran penting. Dalam hal ini, kepercayaan terhadap manajemen memiliki pengaruh yang sangat kuat pada afektif, kognitif dan perilaku resistensi.
Segala kegiatan, interaksi, dan saling ketergantungan antar anggota organisasi dapat berlangsung karena komunikasi. Dengan kata lain, hanya dengan komunikasi pengaruh atas perilaku individu dapat terjadi. Karena itu, semua kegiatan, termasuk proses manajemen yang sangat menentukan kelangsungan hidup organisasi tergantung pada lomunikasi yang efektif
Salah satu strategi untuk mengurangi resistensi pada karyawan adalah dengan melibatkan karyawan ke dalam proses dan perubahan itu atau memberdayakan mereka untuk membuat perubahan sendiri. Beberapa studi empiris mendukung strategi untuk keberhasilan pelaksanaan perubahan, terutama dalam sektor publik.
Namun, keterlibatan karyawan saja tidak cukup. Selama proses perubahan tersebut manajer perlu memainkan peran dalam mendorong dan mendukung  perubahan tersebut. Dengan kalimat lain, keterlibatan karyawan harus luas dan mencakup semua tahapan proses perubahan. Mereka juga menekankan pentingnya dukungan dan keterlibatan tim manajemen dalam proses perubahan tersebut.
Komunikasi di antara anggota Top Management Team (Tim Pipinan Puncak-TPP) merupakan pusat kemampuan kelompok untuk melaksanakan fungsi-fungsinya (Mintzberg, 1973). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa seringnya komunikasi antara anggota TMT meningkatkan pertukaran informasi dan kohesivitas tim, sehingga mengarah ke kinerja yang lebih baik. 
Akan tetapi, peneliti lain menemukan tingginya frekuensi tim berkomunikasi bisa mengakibatkan konflik yang tinggi dalam tim, sehingga mengurangi kecepatan pengambilan keputusan dan dengan demikian mengurangi kinerja. Hasil ini menunjukkan bahwa ada tingkat frekuensi komunikasi TPP yang sesuai dan cukup sehingga memungkinkan terjadinya pertukaran informasi namun kurang dari tingkat yang akan menghalangi cepat pengambilan keputusan.
Memahami karyawan sebagai "target perubahan" menunjukkan kesadaran akan perlunya perubahan yang direncanakan, dan tidak mempertimbangkan "driver" - seperti peran karyawan dalam upaya mengejar perubahan terus-menerus. Perbedaan ini dapat dieksplorasi dari perspektif konstruktivis dalam hal bagaimana karyawan memahami perubahan dan membangun realitas baru mereka.
Studi yang dilakukan Witherspoon dan Wohlert (1996) menemukan bahwa dalam perubahan organisasi, informasi disebarkan ke bawah dan secara berbeda. Informasi ditemukan menjadi komoditas yang harus diperantarai dan sebagai sumber daya yang langka yang harus dijaga serta aliran informasi berhenti di level supervisor. Temuan ini menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana karyawan pada tingkat yang lebih rendah memahami perubahan tanpa informasi yang diberikan oleh pengawas. Kami berpendapat aspek ini harus diperiksa lebih dekat melalui studi empiris perubahan terus-menerus , sehingga mendapatkan pemahaman yang lebih dalam arus komunikasi.
Lewis dan Seibold (1998) menyelidiki bagaimana proses komunikasi mempengaruhi kesuksesan dari implementasi perubahan, dan menetapkan bahwa komunikasi adalah pusat untuk memprediksi hasil dari perubahan terencana. Mereka berpendapat proses komunikasi yang terlibat dalam pelaksanaan perubahan yang direncanakan telah kurang mendapat perhatian oleh para sarjana komunikasi.
Dalam proses ini, informasi yang ditangkap oleh sebuah organisasi umumnya diproses baik melalui prosedur formal maupun interaksi informal dalam tim manajemen. Prosedur proses informasi formal mengikuti rantai komando yang telah ditentukan. Sementara itu, prosedur informal lebih bersifat spontan dan tidak dapat direncanakan sebelumnya, meski demikian prosedur ini merupakan bagian penting dari jaringan pengolahan informasi. Dalam sebuah studi tentang pemanfaatan keluhan pasien  memecahkan masalah layanan di rumah sakit, Stevenson dan Gilly (1991) menemukan bahwa manajer sering menghindari penggunaan prosedur formal. Sebagai gantinya, mereka memanfaatkan hubungan pribadi untuk mendapatkan informasi yang bisa digunakan memecahkan masalah.
Penggunaan sistem informal makin bermanfaat ketika ketidakpastian lingkungan tinggi. Miller (1992), misalnya, memberikan bukti empiris yang menunjukkan bahwa organisasi yang bisa beradaptasi dalam lingkungan yang tidak pasti memiliki hubungan lemah dengan variabel proses yang bersifat structural (formal). Peneliti lainnya membuktikan bahwa begitu penggunaan struktur dan proses formal menjadi kurang jelas di dalam sebuah organisasi, struktur dan proses informal muncul sebagai pengganti (Monge dan Eisenberg, 1987).
Dalam konteks ini, teori jaringan sosial mengidentifikasi bahwa pentingnya struktur jaringan komunikasi informal yang mempengaruhi efektivitas manajemen dalam sebuah organisasi (Krackhardt dan Hanson, 1993). Ketika manajer puncak organisasi secara teratur berinteraksi baik melalui jalur formal maupun informal, pola komunikasi muncul dan berkembang menjadi jaringan komunikasi. Jaringan ini menjadi struktur organisasi informal yang penting yang mengatur transmisi dan pertukaran informasi antara anggota TPP, karyawan dan pimpinan, atau sesame karyawan.
Hal ini menunjukkan bahwa jaringan komunikasi juga berperan dalam perubahan organisasi. Menurut De Vito (1997), jaringan komunikasi adalah saluran yang digunakan untuk meneruskan pesan dari satu orang ke orang lain dalam organisasi. Jaringan organisasi ini berbeda besar dan strukturnya pada masing-masing organisasi, dan biasanya disesuaikan dengan kepentingan dan tujuan organisasi tersebut.
Secara umum jaringan komunikasi dapat dibedakan atas dua bagian yaitu: 1) jaringan  komunikasi formal dan 2) jaringan komunikasi Informal. Dengan kata lain hubungan yang terjadi  dalam organisasi dapat terjadi secara formal dan informal. Komunikasi formal adalah komunikasi yang terjadi diantara para anggota organisasi yang secara tegas telah direncanakan dan ditentukan dalam struktur organisasi formal. Komunikasi formal ini mencakup susunan tingkah laku organisasi, pembagian departemen atau tanggung jawab tertentu, posisi jabatan, dan distribusi pekerjaan.  Dengan kata lain, komunuikasi berstruktur formal ditentukan oleh struktur yang menetap dan terencana dalam organisasi.
 Struktur formal ini dapat berbentuk pengaturan level-level organisai termasuk tingakatn-tingkatan jabatan; tanggung jawab dan pembagian kerja dalam masing-masing departemen atau divisi kerja dan aturan tentang cara berkomunikasi, baik secara vertikal, horizontal maupun antardivisi (diagonal). Menurut Adler dan Rodman (1997), komunikasi ke bawah berlangsung ketika orang-orang yang berada pada tataran manajemen mengirimkan pesan kepada bawahannya, komuniukasi ke bawah terjadi ketika bawahan (subordinate) mengirim pesan kepada atasannya, sedangkan komuniaksi horizontal berlangsung di antara para karyawan ataupun bagian yang memiliki kedudukan yang setara. Sementara itu komunikasi diagonal berlangsung antar anggota organisasi yang tingkat hirarkhi dan satuan organisasinya berbeda. Komunikasi diagonal bertujuan untuk memperkuat filosofi komunikasi terbuka dan partisipasi manajemen, koordinasi antar unit bagian organisasi, dan menghemat waktu dan biaya.
Dalam beberapa kasus perubahan organisasi, dominasi komunikasi dari atas ke bawah memiliki beberapa kelemahan. Menurut Hart (1992, p. 2), arahan dari atasan sering kali disalahartikan atau disalahpahami. Morgan (1994) menyarankan bahwa semua pemangku kepentingan yang terlibat dalam proses perubahan perlu dilibatkan dalam membangun metafora dan "gambaran" tentang apa yang akan dilakukan dan tujuan melakukan perubahan agar mereka bisa ikut mengelola perubahan tersebut. Karena itu, model perubahan harus dibangun dari proses "imaginization". Disini manajer menengah dapat memperoleh manfaat dari proses tersebut, dengan membangun (atau mengadaptasi) model perubahan yang: mencerminkan perhatian mereka yang dibangun dari pengalaman, dan imajinasi mereka.
Di sisi lain, komunikasi informal adalah komunikasi yang terjadi diantara para anggota organisasi atas dasar kehendak pribadi, tanpa memperhatikan posisi/kedudukan mereka dalam organisasi. Informasi dalam komunikasi informal ini mengalir ke atas, ke bawah, atau secara horizontal, dan ini terjadi jika komunikasi formal kurang memuaskan anggota akan informasi yang diperlukan.

Ke depan, menurut Lewis (2000a, b), seyogayanya penelitian dilakukan untuk menggali infornasi yang lebih detail dan spesifik tentang proses perubahan. Seyogyanya, penelitian ke depan membahas pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana perubahan dikomunikasikan, oleh siapa, dan apa hasilnya sangat dibutuhkan untuk memberikan gambaran lebih menyeluruh mengani komunikasi dan perubahan di dalam organisasi.