Selasa, 16 September 2014

No Sign of Slowdown in Turnover of Marketers

Dalam sepuluh tahun terakhir, perpindahan eksekutif di bidang pemasaran begitu tinggi. Makin sedikit eksekutif pemasaran yang menduduki posisinya di perusahaan lebih dari tiga tahun. Bagaimana fenomena itu terjadi? 

Sepuluh tahun lalu, Fibriyani Elastria adalah seorang trainer di PT. Astra international. Kini, mulai 1 Mei 2012, lulusan teknik arsitektur ITB tahun 1996 itu mengisi posisi Direktur Marketing di AXA-Mandiri, sebuah perusahaan yang memimpin pasar bancassurance di Indonesia. Ini berarti, dalam karirnya di dunia marketing selama sepuluh atau sebelas tahun, kelahiran 10 Januari 1979 mengalami lompatan karir luar biasa. 


Sebelum bergabung dengan Axa-Mandiri, Fibri sempat bekerja sebagai Senior New Product Development Manager Coca-Cola Bottling Indonesia (kini Coca-Cola Amatil Indonesia, red). Di Coca Cola, Fibri tidak sampai setahun. Ini karena belum lama bergabung dengan Coca Cola, Fibri dihubungi head hunter dan ditawari posisi sebagai Vice President of Corporate Branding, Marketing & Communication PT. A.J Sequis Life.

“Pada awalnya saya tidak mau karena saya baru beberapa bulan di Coca-Cola. Akan tetapi, untuk menjaga hubungan baik, saya mau datang untuk bertukar pikiran. Setelah beberapa kali bertukar pikiran, saya tertarik untuk men-set up marketing dari awal dan menerima tawaran itu,” ujar wanita kelahiran Pangkal Pinang yang bergabung dengan Sequis Life sejak Juni 2008 ini.
Tahun lalu total perolehan premi Sequis Life mencapai Rp 1,65 triliun atau tumbuh 15% dibanding tahun 2010. Perolehan premi baru Rp 600 miliar, tumbuh 34,7% dari tahun sebelumnya. Kontribusi premi 90% unitlink dan 10% tradisional. Dengan tambahan produk baru, penjualan produk tradisional tumbuh 20%.

Itu pengalaman Fibri. Lain lagi dengan Febriati Nadira. Akhir tahun 2011, kabar kepindahan Febriati Nadira (@FNadira), Head of Corporate Communication PT XL Axiata (XL) ke Mandiri Sekuritas sebagai Executive VP Corporate Communication Mandiri Sekuritas sempat mengejutkan para jurnalis, terutama jurnalis telekomunikasi. Dimaklumi, peraih penghargaan PR People of the Year 2011 itu sangat dekat dengan para pencari berita.

Perempuan cantik kelahiran Situbondo ini bergabung ke XL Axiata sejak 2007 sebagai Manager Public Relations XL Axiata. Pada 2009, Ira – panggilan akrab F Nadira, menjabat Head of Corporate Communications XL Axiata sejak 2009 setelah pejabat sebelumnya, Mira Junor, mengundurkan diri karena mendampingi suaminya yang bertugas di luar negeri. 

Ira memang piawai dalam berkomunikasi dengan para influencer dan buxxer di dunia maya maupun konvesional. Ketika menjadi pembicara tamu dalam workshop tentang public relations yang diselenggarakan Majalah MIX, Ira banyak bercerita tentang pengalamannya dalam berhubungan dengan para inluencer di dunia maya. “Bila kita akrab dengan mereka, kita juga dapat manfaat karena mereka bisa sekaligus sebagai sumber informasi,” kata Ira yang kini menjabat Head of Corporate Communication Adaro. Sebelum bergabung dengan XL, Ira yang menempuh pendidikannya di jurusan Akuntansi Universitas Wijaya Kusuma Surabaya itu adalah Corporate Communications PT Telkomsel dari 1996 hingga 2007. Ira mengawali karirnya di Telkomsel sebagai customer service pada 1995.

Febri dan Ira hanyalah sekian dari puluhan hingga ratusan marketer yang bisa dengan mudahnya mendapatkan posisi-posisi baru. Lihat saja Toni Darusman. Usianya baru 36 tahun. Namun, sejak lulus sebagai sarjana teknik  tahun lalu, kelahiran Padang yang kini menjabat Marketing Director untuk brand Bir Bintang, Heineken, GreenSands, dan Bintang Zero, telah singgah di beberapa perusahaan. Dia pernah di HM Sampoerna, Coca Cola Indonesia, dan Unilever Indonesia. Di Sampoerna, Toni singgah agak lama, dari 2001 sampai 2008. Namun setelah itu, tercatat dia pindah perusahaan tiga kali. 

Bukan rahasia lagi bahwa di tingkat global, chief marketing officer (CMO) adalah posisi paling sedikit aman diantara jajaran puncak. Tingkat perputaran (turn over) CMO ini relative cepat di hamper semua bidang, kecuali di perusahaan restoran siap saja. Menurut Greg Welch, seorang pimpinan perusahaan produk konsumen global – seperti yang ditulis Forbes, lama masa jabatan CMO rata-rata meningkat dari 28 bulan pada tahun 2008, menjadi 32 bulan pada tahun 2004. Namun, angka itu masih lebih rendah dibandingkan rata-rata lama posisi CIO yang mencapai 38 bulan. Sementara itu, posisi lainnya tidak ada yang berada di bawah 46 bulan.

Menurut Simon Bassett, Direktur EMR– sebuah perusahaan yang mengkhususkan pada rekrutmen eksekutif – seperti dikutip MarketingWeek (27/3/2012) -- belakangan ada fenomena yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Saat ini, begitu banyak kegiatan pemasaran bergerak semakin ke dalam ruang digital, ada keyakinan bahwa orang yang lebih muda lebih mampu menggunakan alat-alat baru yang ditawarkan. Itu sebabnya, banyak posisi manajemen marketing tang diisi tenaga muda dan menggeser tenaga yang lebih tua.

Kini, kata Welch, lebih dari sepertiga CMO yang bertahan di posisinya kurang dari tiga tahun. Yang bisa menjelaskan kenapa para CMO itu susah untuk bertahan lama, salah satunya adalah karena persoalan yang disebut dengan "Dilema Marketer."  Disini, seperti yang kita tahu, seorang CMO selalu dituntut bahwa pada hasil hari ini, mengerjakan sesuatu yang sama, dan selalu berharap-harap untuk segera keluar dari persaingan sebagai pemenang.

Yang jadi persoalan adalah fokus yang pendeknya. Ini menjadi suatu keharusan karena bila terlalu berfokus pada inovasi jangka panjang, itu berarti mengabaikan pencapaian hari ini, berarti pesaing masuk. Melupakan pencapaian hari ini berarti kehilangan peluang dan pesaing telah mengambilnya. Sehingga,  apa yang dicapai hari ini akan sangat menentukan apa yang akan dicapai dalam masa mendatang.

Dalam situasi tersebut, seorang marketer dituntut untuk terus berinnovasi. Ketika beberapa inovasi besar yang gagal, maka dia kehilangan kredibilitasnya. Di sisi lain, pemasaran yang efektif bukan ilmu roket. Untuk membangun suatu merek, butuh strategi dan waktu jangka panjang. Dan apa yang dilakukan marketer, public merasakannya.

Namun, menurut Hasnul Suhaimi -- Presiden Direktur PT. XL Axiata Tbk. – perpindahan itu lebih diakibatkan oleh ketidakmampuan perusahaan dalam mengantisipasi perubahan pelanggannya. Menurut Hasnul, seorang marketer biasanya lebih loyal ke konsumennya daripada ke perusahaannya.  Jadi biasanya apabila perusahaan mereka tidak mampu mengikuti perkembangan/trend yang terjadi dipasar atau konsumennya, mereka akan pindah ke perusahaan lain yang lebih mampu mengakomodasi perubahan trend ini.  “Di XL kita selalu memastikan bahwa kita bukan hanya tidak boleh ketinggalan trend di pasar komunikasi, tapi kita harus membuat gebrakan-gebrakan atau terobosan baru yang  innovatif dan menciptakan trend baru,” katanya.

Makin banyaknya perpindahan itu, tentu bukan sesuatu yang baik bagi siapa pun yang peduli dengan pemasaran. Menurut O'Connell dan Kung (2007), biaya yang muncul akibat perindahan karyawan itu mahal. Selain perusahaan harus mengeluarkan biaya pengganti, ada biaya tersembunyi seperti kehilangan produktivitas, masalah keselamatan kerja, dan kerusakan moral. Dalam konteks pemasaran, masalah yang muncul akibat perindahan karyawan – terutama jika yang pindah adalah seorang pengambil keputusan – adalah absennya sebuah mercusuar yang bisa menuntun arah pengembangan merek jangka panjang. Ini berakibat terjadinya ketidaksesuaian message yang harus disampaikan sebuah merek dan realitas yang ada. Kedua, terjadinya ketidakkonsistenan message yang disampaikan antara satu program dengan program lainnya.

Seperti yang dikemukakan Hasnul, peran marketer adalah untuk menciptakan differentiation tidak hanya melalui produk, tapi juga melalui positioning sebuah merk. Kedua, yang tujuannya menciptakan loyalty para konsumen mereka. Dan ketiga, menciptakan business value creation dalam jangka menengah dan yang lebih panjang. Nah, ketika marketer berpindah, yang dikhawatirkan adalah terjadinya ketidakpastian.  

Di sisi lain, kondisi eksternal memungkinkan terjadinya perpindahan itu. Sebab seperti kita ketahui,  kondisi pasar selalu dan terus berubah. Ini menuntut kemampuan daya adaptasi pengelola merek terhadap perubahan itu. Menurut Ruby Chandra Lionardi -- Head of Marketing Nojorono Group – terdapat kelemahan di kalangan marketer di Indonesia. Pertama, paradigma berpikir deduksi marketing yang keliru. Contohnya, kalau sudah rutin dikerjakan sebelumnya, mengapa tidak diteruskan. Kedua, paradigma berkarya marketing yang tidak tuntas. Misalnya, perencanaan yang bagus, lemah di eksekusi, atau kompromi terlalu banyak ketika menghadapi kesulitan.

Ketiga, paradigma fokus yang terlalu banyak. Gejala umumnya adalah melakukan spending besar untuk terlalu banyak program marketing.  “Padahal, fokus marketer seharusnya cuma satu, yaitu menciptakan dan menyampaikan value yang superior, yang secara unik bisa dimiliki oleh company atau brand,” tambahnya.

Dalam kondisi seperti itu, untuk mendapatkan perspective yang baru dan segar, biasanya perusahaan membutuhkan marketer dari industri yang berbeda. Ini karena kebanyakan marketer menderita ‘marketing myopia‘ atau rabun marketing bila seorang marketer terlalu lama bergerak di satu bidang industry saja. “Karena itu, dibutuhkan marketer dari industri yang berbeda dengan pemikiran pemikiran baru untuk melihat tantangan yang sama sehingga melahirkan solusi yang berbeda,” kata Hasnul.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar