Minggu, 08 Februari 2015

The Social Revolution of Place Marketing

Banyak negara yang kini melancarkan kampanye destinasi dengan pendekatan baru, dengan menggunakan receiver sebagai sumber aktif yang membuat dan mendistribusikan pesan kampanye.  Bagaimana dengan Indonesia?

Dua minggu lalu, kebetulan saya mendapat amanah dari Walikota Bogor Bima Arya untuk menjadi salah satu anggota Tim Seleksi Direksi PD Pasar Pakuan Jaya Kota Bogor. Salah satu tahapan seleksi adalah penyampaikan program kegiatan yang bisa meningkatkan kinerja sosial dan ekonomi pasar yang berada di bawah lingkungan PD Pasar Pakuan Jaya Kota Bogor oleh para pelamar posisi tersebut.
Saya begitu surprised ketika mendengarkan presentasi para calon direksi tersebut. Dalam presentasinya, sebagian besar dari mereka ingin menjadikan pasar sebagai tujuan destinasi. Persoalannya adalah secara konseptual bagaimana destinasi itu dikomunikasikan masih belum muncul secara tajam. Padahal, dalam promosi tujuan destinasi komunikasi pemasaran merupakan satu hal yang sangat penting.
Januari 2009, orang di seluruh penjuru dunia terpesona oleh iklan perekrutan sederhana yang berjudul, “The best job in the world ". Pekerjaan  yang ditawarkan dengan imbalan AUD $ 150 000 selama enam bulan itu adalah bekerja sebagai penjaga pulau di Great Barrier Reef, Queensland Australia.
Inisiatif pemasaran yang sangat unik ini menarik lebih dari 34.000 peminat.  Iklan dalam bentuk video online itu diteruskan, dipromosikan dan diperingkat oleh pengguna web. Ketertarikan massa secara online massal mengakibatkan offline buzz, meningkatkan kunjungan para wisatawan ke Queensland dan menghasilkan liputan media yang diperkirakan senilai lebih dari $ 80 juta (The Guardian, 17 Juni 2009).
Seperti pada kebanyakan proses komunikasi, komunikasi pemasaran difokuskan pada pemberian dan dan penerimaan pesan, dari sumber ke penerima. Dalam perspektif place marketing, yang bertindak sebagai sumber  bisa saja organisasi yang mengelola place (misalnya kementerian pariwisata ); pesannya adalah proposisi tempat yang dijual; saluran, sistem distribusi; kebisingan, kekacauan yang disebabkan oleh pesaing; penerima, pelanggan; dan umpan balik, informasi yang diterima melalui perubahan  pengunjung dan layanan pelanggan (Duncan dan Moriarty, 1998).
Meskipun ini bukan kampanye pertama yang secara aktif melibatkan pengguna web, kampanye ini bisa  dianggap sebagai tonggak dalam penggunaan audience untuk mempromosikan place atau destinasi. Inovasi dan keunikan kampanye Queensland ini terletak pada kenyataan bahwa kampanye itu sama sekali berbeda dengan kampanye place marketing sebelumnya yang selalu berbasis pada model linier komunikasi (Lasswell, 1948).
Berdasarkan model ini, kampanye mengalir dari atas ke bawah (top-down). Disini sumber informasinya (pemasar place) menyampaikan pesan yang dipilih (proposisi  tempat yang dijual) kepada audiens yang  pasif, menggunakan saluran yang dipilih dan bertujuan untuk efek tertentu.Model ini banyak digunakan dalam komunikasi pemasaran.
Sementara itu, kampanye pariwisata  Queensland itu berbeda dengan cara tradisional, baik dilihat dari  komponen inti dari sumber, pesan dan penerima.  Kampanye pariwisata Queensland itu mengambil pendekatan baru, dengan menggunakan receiver sebagai sumber aktif yang membuat dan mendistribusikan pesan kampanye.
Dalam model ini, Queensland bukan lagi bertindak sebagai penyampai pesan. Yang aktif adalah mereka yang semula justru menjadi penerima pesan. Meski harus diakui bahwa yang mendorong publik mempromosikan Queensland tersebut pada awalnya adalah pengelola wisata Qeensland.
Tempat lain yang mengikuti pola hubungan ini adalah Florida. Pada bulan Februari 2010, penanggung jawab pemasaran indusri pariwisata Florida meluncurkan kampanye berbasis kebanggaan lokal di bawah slogan ' Share a Little Sunshine '. Dalam kampanye tersebut, Otoritas wisata Florida meminta warga  mengirim e-kartu pos, bersama dengan kupon dan diskon, mendorong teman-teman dan kerabat untuk mengunjungi negawa bagian yang mendapat julukan Sunshine State itu.
Selain itu, pengguna mengirimkan sejumlah terbesar undangan yang bisa mereka menangkan dengan mengunjungi Florida. Untuk meningkatkan motivasi, kampanye didukung oleh video online menyoroti kontribusi industri pariwisata terhadap ekonomi Florida.
Analogi yang sama bisa dilihat dari kampanye #LoveBekasi yang dilakukan XL.Ketika pesaingnya Indosat  tersandung kecaman sekaligus tuntutan hukum dari warga Bekasi, ketika Indosat tengah berupaya mengembalikan kepercayaan warga Bekasi, XL justru mencoba menangkap kecaman warga Bekasi terhadap Indosat sebagai peluang. Response yang muncul melalui twitter juga sangat positif dan menjadi trending topik.
Seperti diketahui 23 Desember 2014 lalu, Indosat mengeluarkan kampanye  viral #IndosatMania melalui  akun Twitter berbuntut panjang. Media promosi bertuliskan ”Liburan ke Aussie lebih mudah dibanding ke Bekasi” itu menuai reaksi keras warga. Dengan kata lain, bila kampanye ini ini dikelola dengan baik, Pemkot Bekasi bisa meleveragenya menjadi promosi Bekasi sebagai destinasi yang mengasyikkan.
Air Asia Go juga menggelar kampanye yang sama. Dua tahun lalu misalnya AirAsia meluncurkan program “Telusur Nusantara 2013: Sulawesi Kita,” sebuah kampanye untuk mendorong masyarakat Indonesia memilih tujuan wisata dalam negeri ketimbang destinasi luar negeri. Secara ideal, kampanye ini juga mendorong setiap orang Indonesia menjadi ambassador bagi destinasi lokal Indonesia ke seluruh dunia melalui berbagai media sosial.
Sementara itu, secara khusus bagi Air Asia, kampanye ini ditujukan untuk menjelaskan product knowledge Air Asia Go Indonesia sebagai salah satu yang terdepan sebagai Online Travel Agency (OTA) di Indonesia; membedakan fungsi dan layanan yang disediakan oleh Air Asia Go sebagai OTA dan Air Asia sebagai airline service, sekaligus menjelaskan hubungan kedua organisasi tersebut; serta mendorong masyarakat untuk terlibat dalam program Telusur Nusantara melalui media sosial.
Hasil kampanye itu cukup memuaskan manajemen Air Asia Go. Selama kampanye digital “Telusur Nusantara 2013: Sulawesi Kita”, traffic Facebook Air Asia Go mencapai sebanyak 148.992 orang. Sementara itu, pengunjung yang masuk ke Website www.telusurnusantara.com mencapai 519. Pertumbuhan jumlah followers Twitter selama program “Telusur Nusantara 2013: Sulawesi Kita” berlangsung juga signifikan. Jika pada 29 November 2013 baru akun Twitter @AirAsiaGoID memiliki 13.080 followers, di akhir program ini followers-nya menjadi 13.353.  Begitu juga dengan Fans di Facebook, yang pada 29 November 2013 berjumlah 132.091, menjadi 132.632 fans di akhir program.
Sementara itu, selama program “Telusur Nusantara 2013: Sulawesi Kita” berlangsung,  terdapat 445 percakapan yang menggunakan hashtag #TelusurNusantara dan 1157 repplies yang ditujukan kepada @AirAsiaGoID.
Komunikator pemasaran selalu dihadapkan pada persoalan penentuan tanggapan yang diharapkan dari audiens. Yang berlaku umum selama ini adalah pemasar mungkin menginginkan tanggapan kognitif (cognitif), pengaruh (affective), dan perilaku (behavior). Artinya, pemasar mungkin ingin memasukkan sesuatu ke dalam pikiran konsumen, mengubah sikap konsumen, atau mendorong konsumen untuk bertindak.
Proses ini mengasumsikan bahwa pembeli melewati tahap kognitif, pengaruh dan perilaku sesuai dngan urutan tersebut. Namun bagaimana yang sebenarnya terjadi tergantung pada tingkat keterlibatan konsumen. Misalnya, urutan mempelajari-merasakan-melakukan cocok jika audiens sangat terlibat dengan suatu kategori produk yang memiliki diferensiasi yang tinggi, misalnya dalam pembelian mobil.
Urutan lainnya, melakukan-merasakan-mempelajari relevan jika audiens memiliki keterliban yang tinggi tetapi menganggap tidak ada atau sedkit diferensiasi dalam kategori produk itu, misalnya dalam pembelian lebar aluminium. Lainnya adalah urutan mempelajari-melakukan-merasakan yang relevan jika audiens memiliki keterlibatan yang rendah dan menganggap hanya ada sedikit diferensiasi dalam kategri produk itu, misalnya dalam pembelian garam.
Setelah menentukan tanggapan yang diinginkan dari audiens, komunikator selanjutnya mengembangkan pesan yang efektif. Idealnya, suatu pesan harus menarik perhatian (attention), mengembangkan ketertarikan (interest), membangkitkan keinginan (desire), dan menggerakkan tindakan (action).
Intinya, dalam menyusun  program komunikasi yang efektif, aspek terpenting adalah memahami proses terjadinya respon dari konsumen. Misalnya dalam hal konsumen melakukan pembelian suatu produk, maka diperlukan pemahaman mengenai usaha promosi yang dapat mempengaruhi respon konsumen tersebut.
Belakangan banyak perusahaan yang menyadari kuatnya pengaruh dari “faktor ucapan” atau “perkataan dari mulut ke mulut” yang berasal dari saluran pakar dan sosial. Mereka mencari berbagai macam cara untuk mendorong saluran-saluran agar memberikan rekomendasi terhadap produk dan merek jasa mereka. Ini karena pada umumnya, pembeli mencari informasi yang banyak dan mencari informasi di luar media masa guna memperoleh rekomendasi dari pakar atau kenalan sosialnya. Perilaku pembelian seperti ini umumnya berlaku untuk produk yang mahal, berisiko, atau jang dibeli.
Selain itu, upaya mencari rekomendasi juga dilakukan manakala konsumen ingin membeli produk yang memberikan sesuatu yang berkaitan dengan status dan selera penggunanya. Disini pembeli akan berkonsultasi dengan orang lain untuk menghindari rasa malu.
Selama ini, model pengukuran pencapaian paling popular adalah AIDA (Attention, Interest, Desire, Action). Melalui model ini, ada asumsi bahwa promosi dari sumber yang dikenal dan dipercaya merupakan faktor penentu keberhasilan dalam kampanye pemasaran viral, meningkatkan perhatian dan minat.
Dalam konteks pemasaran pariwisata online, ini juga dapat menyebabkan keinginan dan tindakan - meningkatkan jumlah wisatawan ke Florida atau Bekasi. Disini Frida menggunakan audience lokal sebagai sumber untuk mendistribusikan pesan kampanye untuk penonton lainnya. Dengan cara ini, warga Florida secara bersamaan dimanfaatkan sebagai penerima dan pengirim, melayani  dua fungsi aktif dari tiga komponen proses komunikasi.
Perkembangan media sosial membuka peluang perusahaan untuk mengembangkan model di luar AIDA. Misalnya dengan  menambahkan elemen search dan share ke dalam objective perencanaan komunikasi mereka. Search berarti konsumen akan mencari informasi sebelum melakukan pembeli. Sedangkan share, konsumen bersedia merekomendasikan merek kepada orang lain manakala mempunyai pengalaman yang memuaskan.
Agency Dentsu misalnya mengembangkan model AISAS (awareness, interest, share, action, dan share) dalam menentukan tujuan komunikasi. Konsep ini benar-benar beda dengan sebelumnya. Bila  sebelumnya orang yang diceritakan hanya mendengarkan, tapi sekarang mereka akan ikut bicara. Semua orang saat ini berpartisipasi dalam komunikasi.  Karena itu, banyak marketer yang mengarahkan agar bisa menciptakan image positif bagi brand melalui model ini.
Dengan memahami proses tersebut, pemasar dapat melakukan tugas perencanaan komunikasi secara lebih baik. Misalnya, seperti diketahui, internet kini menjadi sumber penting bagi konsumen yangingin mendapatkan informasi tentang suatu produk. Karena itu, beberapa merek kini mulai masuk ke Google atau Yahoo. Dengan kata lain, kini banyak merek yang memanfaatkan fasilitas search engine optimalization (SEO), agar ketika konsumen mencari informasi melalui Google misalnya informasi tentang mereknya muncul dalam pencarian itu.
Media yang dipergunakan oleh praktisi public relations juga makin luas dengan adanya praktek social media release, video news release (semisal melalui Youtube) dan sebagainya. Melalui media-media tersebut pesan tidak disapaikan secara monolog tapi memunginkan terjadinya dialog karena tersedianya fasilitas komentar, hak jawab dan sebagainya.
Bila menyimak hasil-hasil penelitian, masyarakat Indonesia menggunakan Facebook lebih sering setiap minggunya, dibandingkan dengan media tradisional seperti radio, koran dan majalah (TNS Survey, Oktober 2013). Bagi generasi muda Indonesia yang berusia antara 13 sampai 24 tahun, Facebook menjadi media sosial pertama yang dikunjungi untuk membagikan hal-hal seperti video, foto selfie, ataupun berita menarik lainnya (Coming of Age, October 2014).
Pengamatan  Crowd DNA bertajuk “Coming of Age on Screens” pada Mei 2014, menyatakan bahwa 81% anak muda di Asia menggunakan ponsel saat menonton TV. Sedangkan, 84% anak muda Indonesia di usia 13-24 tahun mengakui bahwa mereka tidak dapat keluar rumah tanpa ponsel mereka, dan 69% berpendapat bahwa mereka lebih memilih ponsel daripada TV. Artinya, TV tidak lagi memiliki jangkauan yang kuat seperti sebelumnya, karena konsumen juga tetap menggunakan ponsel mereka disaat menonton TV. Dari jumlah orang yang membuka ponsel saat menonton TV, 85% diantaranya mengakses Facebook.
Dengan kata lain harus diakui bahwa meskipun ada laporan bahwa Facebook tengah berjuang menarik generasi baru, namun Facebook masih merupakan jaringan sosial terbesar  dengan 1,35 miliar pengguna aktif bulanan (per September 2014), sementara YouTube mengambil kedua dengan 1 miliar. Peningkatan rata-rata usia pengguna Facebook mungkin benar-benar menjadi berkah bagi pemasar, dengan meningkatnya daya beli pengguna saat mereka tumbuh dewasa.
Data pengguna Facebook itu juga seakan meyakinkan bahwa  alih-alih berbagi video melalui YouTube, merek kini lebih suka meng-upload video ke Facebook langsung. Data Oktober tahun lalu menunjukkan peningkatan pesat video yang diposting merek ke Facebook.  Dengan kata lain, dalam waktu singkat sejak dimungkinkan untuk posting video, Facebook menyusul YouTube. Itu berarti, pemasar kini beralih ke Facebook video pertama - dan tren tampaknya makin cepat.