Selasa, 30 Juni 2015

Orang Yang Berpengaruh itu Tidak Perlu Populer



"New influencer " kini mengoyak sistem pemasaran yang telah mapan selama 100 tahun lebih, sehingga menimbulkan gaya pemasaran baru yang ditandai dengan percakapan dan komunitas. Seperti diketahui, pengambilan keputusan pembelian oleh konsumen sering dipengaruhi oleh Word of Mouth. Penelitian yang dilakukan oleh Arndt (1967), Engel, Blackwell, dan Kegerreis (1969), dan Day (1971) adalah contoh dari studi awal yang menunjukkan peran WOM sebagai pendorong perilaku pembeli. Karena pengirim WOM dianggap tidak terikat pada salah satu merek, konsumen melihat dia atau dia menjadi lebih handal, kredibel, dan dapat dipercaya dibandingkan dengan perusahaan-komunikasi dimulai (Bickart dan Schindler 2001).

Dasar dari penelitian masa lalu adalah bahwa WOM memiliki dampak pada perilaku konsumen. Namun, WOM tidak diciptakan sama. Ada konsumen yang memiliki kemampuan untuk menciptakan informasi pemasaran yang lebih relevan dan untuk menyebarkan ke sebuah lingkaran yang lebih besar dari teman-teman. Tipe konsumen ini secara khusus telah menarik perhatian para peneliti selama beberapa dekade.

Sebagai contoh, Lazarsfeld, Berelson, dan Gaudet (1948) mendapati "kepemimpinan pendapat", yang secara aktif mengumpulkan informasi yang dikirim dari media massa, memasukkan nilai-nilai dan pandangan mereka sendiri kedalam informasi tersebut, dan kemudian menyebarkannya ke konsumen sekitar mereka dalam kehidupan sehari-hari. Sekarang, kemampuan untuk mendapatkan, menambahkan, dan menyebarkan informasi itu menjadi semakin cepat dan mudah. 

Pemasar menanggapi kekuatan-kekuatan baru tersebut dengan sikap yang campur aduk antara kegembiraan, ketakutan dan daya tarik. Mereka khawatir kehilangan kontrol atas proses penyampaian pesan mereka untuk komunitas. Namun pada saat yang sama mereka sangat gembira tentang prospek memanfaatkan alat-alat yang sama untuk berbicara langsung dengan konstituen mereka tanpa keterlibatan media perantara.

Singkatnya, media sosial tidak hanya mengubah cara pemasar dan PR profesional berpikir tentang pengaruh media. Banyak perusahaan yang mengadopsi media sosial  masih berjuang menemukan metrik yang efektif untuk memutuskan pemain media sosial yang paling berpengaruh. Kebanyakan studi mengenai orang yang berpengaruh mempelajari tentang pengukuran pengaruh perilaku yang diberikan para pemimpin pendapat terhadap kebiasan konsumsi orang lain.

Sebagai contoh, sebuah penelitian mengemukakan bahwa ”orang yang mempengaruhi” atau para pemimpin pendapat hampir empat kali lebih besar kemungkinannya dibandingkan orang lain untuk ditanyai mengenai berbagai isu politik dan pemerintah, maupun bagaimana cara menangani remaja; tiga kal lebih mungkin ditanyai mengenai komputer atau investasi; dua kali lebih mungkin ditanyai mengenai masalah kesehatan dan restoran.

Juga ada penelitian yang mengemukakan bahwa jika seorang pencari informasi merasa bahwa dia hanya sedikit mengenal suatu produk atau jasa tertentu, sumber yang berhubungan erat dengannya akan dicari (misalnya seorang teman atau anggota keluarga), tetapi jika konsumen tersebut sebelumnya telah mempunyai pengetahuan mengenai bidang permasalahannya, suatu sumber yang hubungannya biasa akan dapat diterima (kenalan atau oran asing).   

Pemasar makin kesulitan karena realitasnya, seseorang yang  berpengaruh tidak perlu populer. Survei yang dilakukan Brian Solis – penulis pendamping buku Putting the Public Back in Public Relations: How Social Media Is Reinventing the Aging Business of PR – mendapati bahwa 90% dari respondennya menarik perbedaan yang jelas ketika ditanya "ya atau tidak" pertanyaan, "Apakah ada perbedaan besar antara popularitas dan pengaruh?"

Seseorang yang berpengaruh – menurut responden – adalah orang yang berhasil memotivasi, menciptakan kesetiaan, dan menyebabkan orang untuk mengambil tindakan. Sementara popularitas adalah sesuatu yang – atau mungkin orang itu kelihatan -- lucu dan ketenarannnya berkurang dengan mudah di tengah penonton berubah-ubah. "Menyukai Anda dan mendengarkan Anda adalah dua hal yang berbeda," tulis seorang responden. "Popularitas adalah ekspresi volume sedangkan pengaruh adalah ekspresi nilai," kata yang lain. Apakah almarhum Mbah Maridjan masuk dalam kategori ini?

Beberapa contoh orang-orang yang memiliki popularitas tinggi tidak berhasil menunjukkan penaruhnya. "Cara saya melihatnya, Simon Cowell dari American Idol memiliki pengaruh, bahkan ketika ia tidak sangat populer," tambah seorang responden ketiga. Namun, menggali lebih dalam, ditemukan bahwa garis antara pengaruh dan popularitas memang abu-abu. Jadi tidak selalu merupakan dikotomi sederhana antara ya atau tidak. Sebagai contoh, satu responden menulis, "Pengaruh adalah tingkat berikutnya setelah popularitas," mengacu pada hubungan sebab akibat antara dua konsep, sementara yang lain berkata, "Anda bisa populer tanpa pengaruh dan sebaliknya."









The New Influencer Marketing


Ada tiga trend yang membuat influencer menjadi kekuatan pemasaran yang pengaruhnya tidak bisa diabaikan oleh pemasar. Apakah itu? 

Dhyhan membawa tiga potong baju ke fitting room sebuah department store. Dia lalu mencoba salah satu baju. “Pas,” katanya dalam hati. Dia mengeluarkan BlackBerry-nya dan klik…. Dia memfoto dirinya sendiri lengkap dengan baju yang dicobanya. Hasil jepretannya dia kirim lewat BlacBerry Messanger ke temannya yang kebetulan sedang ke luar kota. ”Bagus nggak?” tulisnya di caption fotonya itu.

Dua menit dia menunggu jawaban temannya. Tak ada jawaban. Dia pencet ”PING”, semenit kemudian temannya itu membalas, ”Bahunya kekecilan.... Memang mereknya harus itu. Coba cari merek lain yang punya potongan yang lebih pas buat kamu,” jawab temannya itu. Dhyhan pun dengan berat hati meepas baju yang dicobanya dan mencari merek lain yang lebih pas.

Situasinya kini berbeda dengan tiga atau lima tahun lalu saat handphone berkamera tidak secanggih sekarang. Sejak maraknya kamera berhandphone dan komunikasi gambar menjadi semakin mudah, proses pencarian pendapat oleh konsumen berupa komunikasi dengan orang yang dimintai pendapat menjadi semakin mudah dan cepat. Implikasinya, keputusan untuk memilih atau tidak memilih suatu merek juga menjadi semakin cepat.

Ketika penyampaian informasi itu berlangsung makin cepat, pemasar dan PR professional main kesulitan untuk mengontrolnya. Implikasinya pemasar dan PR perofesional perlu memastikan bahwa aktivitas dan proses yang berlangsung di ”ruang pas” tadi harus berlangsung lancar dan normal. .

Selama lima tahun terakhir 'Time Magazine' telah merilis daftar tahunannya di dunia 100
orang yang paling berpengaruh. Mereka adalah pemimpin, pemikir, atlet, seniman, ilmuwan, dermawan dan selebriti yang mampu menginspirasi dan mengubah sikap, preferensi, keinginan dan loyalitas masyarakat. Namun, yang paling menarik adalah pertumbuhan influencer dan pemimpin opini 'akar rumput'.

Meningkatnya peran influencer akar rumput tersebut dipicu oleh tiga trend. Pertama, tumbuhnya ketidakpercayaan konsumen terhadap tradisional marketing. Kedua, kehadiran sosial media dan jejaring digital. Ketiga, penyebaran saluran influencer.  Dalam konteks ini, pengaruh word-of-mouth memang bukan hal baru di dunia marketing. Namun, sebelum munculnya trend tersebut, kapasitas dan jumlah influencer terbatas. Kadang hanya tokoh masyarakat yang bisa menjadi influencer. Kini, trend tersebut membuat semua orang bisa menjadi influencer. Kemudian, secara bersama-sama, trend tersebut meningkatkan daya, cakupan dan jangkauan influencer akar rumput ke derajat yang tidak boleh diabaikan oleh seorang manager pemasaran.

Proliferasi saluran Influencer telah menciptakan suatu lingkungan baru. Sekarang konsumen bisa dengan sangat mudah mempengaruhi opini dan tindakan konsumen lainnya, baik itu melalui tombol suara, review dan kotak komentar, pesan teks (SMS), membuat daftar favorit atau hanya dengan membeli sebuah produk yang nantinya akan menjadi rekomendasi bagi orang lain konsumen. Selain itu, gelombang ini pengaruh benar-benar demokratisasi, dengan siapa pun yang memiliki akses ke komputer sekarang memiliki kemampuan untuk memegang konsumen dan pengaruh sosial.

Dalam dunia baru interaksi online, semua orang adalah sebuah influencer. kekuasaan untuk mempengaruhi terletak tidak lagi secara eksklusif dengan para ahli atau "orang yang tahu". Gagasan bahwa kita hidup di dunia yang sederhana di mana ada sekelompok kecil influencer yang menentukan agenda untuk penduduk massa tidak lagi berlaku sebagai akibat sosial media dan jaringan digital. Dalam dunia baru ini, siapa saja dapat mempengaruhi siapa saja. Jadi tidaklah mengherankan bila sekarang ini seseorang mempercayai orang asing atau yang baru dikenalnya setinggi teman-teman terdekatnya.

Ketika televisi dan media cetak marak, masyarakat terbiasa dengan model komunikasi satu-ke-banyak. Dengan munculnya platform digital, jutaan konsumen berkomunikasi
dengan cara yang tidak mungkin bila itu dilakukan lima tahun lalu. Dalam ekosistem baru ini, kekuatan influencer akar rumput mengambil peranan. Dilengkapi dengan pengetahuan tentang produk di atas rata-rata, penghargaan sosial, dogmatisme dan  jaringan sosial online yang luas, komunikasi persuasif new influencer bisa menghasilkan permintaan, membentuk persepsi terhadap merek dan mengendalikan keputusan pembelian ke tingkat yang mengkhawatirkan.

Mereka jarang atau bahkan sulit ditemukan di layar televisi atau bioskop. Mereka juga jaerang muncul di majalah, koran atau di papan reklame. Sebaliknya, mereka beroperasi melalui jaringan dan komunitas online terpercaya, yang anggotanya adalah rekan atau teman-teman dan anggota keluarga Anda, berada di kantor berpendingin udara dan di lunchrooms, di pesta koktail dan lingkungan barbeque. Kendaraan yang mereka sukai dalam berkomunikasi meliputi sejumlah turunan dari blog, papan pesan, wiki, dan platform jaringan sosial. Pengaruh mereka adalah signifikan dan jaringan mereka luas dan terus berkembang.


Para pemasar dan public relations profesional kini dihadapkan pada sprektrum saluran komunikasi baru yang menakjubkan. Jutaan konsumen yang menyuarakan opininya kini tersambung pada saluran komunikasi berupa sosial media berbasis internet seperti blog, podcast, video online dan jaringan sosial. Sementara media mainstream terus memainkan peran penting dalam penyebaran informasi, bahkan saluran tradisional ini semakin dipengaruhi oleh percakapan online. 

Apapun Tekniknya, Diferensiasi Kuncinya


Mungkin terlalu berlebihan bila mengatakan – dengan makin berkembangna teknik marketing alternatif -- marketing tradisional sudah tidak efektif lagi atau kurang efektif. Lalu bagaimana mengintegrasikannya?

Word of Mouth sebenarnya bukanlah hal baru. Namun belakangan berkembang luar biasa. Sebelum media massa – seperti koran, dan sebagainya – berkembang, masyarakat sudah mengenal tradisi word of mouth dalam pertukaran barang dan sebagainya. Komunikasi interpersonal dan massa dilakukan langsung tanpa perantara. Kendalanya, masih ada batasan ruang dan waktu dimana komunikasi hanya bersifat lokal.

Setelah media massa konvensional berkembang, batasan ruang berkurang namun masih dibatasi oleh waktu. Koran bisa menyebarkan informasi lebih luas, namun masih terkendala oleh jadwal terbit. Kalaupun jadwa terbit dipercepat, masih terkendala oleh proses cetak dan edar. Kemudia televisi berkembang, itu pun masih ada kendala. Ruang dan waktu  mungin tertasi, tapi kebutuhan orang untuk mengekpresikan opininya tidak terpenuhi karena televisi masih bersifat linear atau satu arah. Pemirsa tidak dapat protes secara langsung manakala menyaksikan tayangan yang tidak berkenan.

Kemudian internet ditambah dengan teknologi mobile membuat komunikasi interpersonal – meski diperantai – menembus atasan ruang, waktu, dan batasan interaksi. Prkembangan internet menciptakan wahana baru berupa media sosial. Media sosial adalah tempat orang dari berbagai ketertarikan berkumpul secara online. Mereka berbagi ide, komentar dan pendapat. Media sosial disini termasuk MySpace, Gather, Facebook, BlackPlanet, Eons, LinkedIn, dan ratusan bahkan ribuan lainnya. Ada yang branded seperti Amazon, Netflix, dan eBay., ada yang personal. Dengan kata lain, media sosial merupakan media tanpa bayar yang bisa dikbuat oleh individu atau perusahaan.

Jadilah awareness terhadap word of mouth tumbuh secara eksponensial di kalangan media, praktisi marketing dan pasar. Word of mouth berkembang dengan segala bentuk turunannya. Menurut Dr. Paul Marsden, profesor dari London Scholl of Economic -- salah satu penulis buku Connected Marketing, memang ada kemiripan antara word of mout marketing, buzz atau viral marketing. Semuanya meleverage word of mouth.

Namun nuansanya berbeda. Viral marketing meleverage jejaring digital, buzz meleverage jejaring media, dan word of mouth marketing meleverage jejaring sosial. Viral marketing mampu mengerahkan penyebaran ide yang mengejutkan, di sisi lain jejaring sosial secara khusus dapat dikelola sebagai hubungan dengan para “pemimpin pendapat.”

Namun, aktivitas marketing atau public relations bukanlah sekadar sosialisasi. Ada persoalan lain seperti pengelolaan isu dan krisis misalnya yang merupakan bagian penting dari aktivitas PR. Ini termasuk bagaimana mengelola isu yang berkembang secara online tntang brand atau perusahaan kita. Selama ini, berdasarkan targetnya, marketing dibagi menjadi dua, B2B dan B2C. Business to business dan business to consumer. Sekarang dengan berkembangnya platform Web 2.0, dunia marketing dipaksa untuk familiar dengan istilah C2C, consumer to consumer communications. 

Itu sebabnya, barangkali kurang bijaksana bila upaya marketing hanya mengandalkan viral marketing. Sebab, nyatanya, banyak perusahaan yang berhasil dengan tidak mengandalkan satu teknik, karena sekarang yang dihadapi marketer adalah mengelola komunikasi antar konsumen. Di sisi lain, di tangan konsumen kni tergenggam beragam media untuk menyampaikan uneg-uneg atau suara negatifnya.  “Satu kesalahan besar adalah melihat bahwa kampanye viral merupakan suatu akhir. Viral marketing – seperti halnya public relations – merupakan suatu proses bukan suatu kegiatan,” kata Justin Kirby, Managing Director Digital Media Communications (DMC) yang menjadi penulis pendamping Marsden di buku Connected Marketing.            

Seperti dikemukakan sebelumnya, Word of Mouth Marketing merupakan respon terhadap perkembangan dimana konsumen makin terdidik dan kritis, dan perkembangan internet. Begitu kemampuan (kecepatan) konsumen untuk berkomunikasi dengan dengan konsumen lainnya berkembang dengan sangat pesat, kredibilitas marketer yang berkomunikasi dengan konsumen melemah.

Survey dimana pun menunjukkan bahwa iklan hanyalah menciptakan awareness tidak mendorong untuk membeli. Dengan kata lain, kemampuan iklan untuk mendorong atau membujuk konsumen untuk membeli kurang karena kepercayaan atau kredibilitas iklan lemah. Jauh lebih lemah dibadingkan – katakanlah – rekomendasi teman atau keluarga.

Tabel 1. Teknik-teknik Word of Mouth

PENDEKATAN
PERBEDAAN
Word of Mouth Marketing
Payung dari semua praktek marketing yang bertujuan untuk membuat konsumen membicarakan suatu brand.
Buzz Marketing
Menggunakan teknik khusus, seperti event atau promosi untuk menarik konsumen dan media membicarakan tentang suatu kampanye.
Viral Marketing
Menciptakan materi tentang brand di internet atau website yang membuat konsumen asyik bila bisa berbagi dengan teman-temannya tentang materi tersebut, biasanya melalui email. 
Influencer Marketing
Mengidentifikasi dan melibatkan sebagian besar konsumen berpengaruh di dalam suatu target pasar untuk menjadi brand advocates.
Evangelist Marketing
Melibatkan pelanggan loyal untuk menjadi brand advocates.
Street Marketing
Menjangkau dan berinteraksi dengan konsumen secara langsung di suatu tempat mereka biasa bertemu tatap muka secara berkala.
Stealth/Undercover Marketing
Marketing di bawah ambang kesadaran (misalnya, menyewa serang aktor untuk menyebarkan pesan positif dari suatu brand kepada publik)
Sumber: Kirby, J., and Marsden, P., 2006. Connected Marketing. London: Elsevier.

Persoalan kredibilitas dari penyampai pesan itu makin penting manakala konsumen di hadapan pilihan pada produk yang mempunyai nilai gengsi atau prestise dan risiko yang tinggi serta memiliki diferensiasi yang berarti. Untuk produk yang  tidak menimbulkan gengsi atau risiko, tingkat kebutuhan rekomendasi mungkin lebih lemah.

Banyak aktivitas WOM Marketing gagal karena menggunakan spoke person yang bukan konsumen merek/produk tersebut. Sebab pada intinya, menggunakan spoke person yang bukan dari konsumen atau orang yang mempunyai pengalaman atas produk tersebut, kredibilitas dari informasi yang disampaikan  relatif rendah. Itu berarti sama dengan marketing konvensional lainnya atau iklan.

Marketing online dan upaya PR yang sukses karena mereka memulainya dengan mengidentifikasi satu atau lebih pembeli personal yang akan menjadi target. Dengan demikian pembeli personal seyogyanya menjadi bagian dari proses perencanaan marketing non konvensional maupun konvensional Anda.

Itu sebabnya, pada akhirnya, “Terminologi PR 2.0 adalah ungkapan yang tidak terlalu perlu,” kata pakar komunikasi global Dr. Jon White FCIPR. Public relation, kata penulis buku “How to Understand and Manage Public Relations” ini adalah sebuah teknik marketing yang niscaya berevolusi seiring perkembangan teknologi. Karenanya, pada akhirnya semua praktek dalam marketing ini memang harus mengarah agar suatu ide atau merek bisa melekat pada konsumen yang dituju, sehingga objektifnya tercapai. “Dan bisa menyebar seperti epidemi,” kata Malcolm Gladwell, penulis buku The Tipping Point.

Tabel 2. Aktivitas Online

AKTIVITAS
PERSENTASE PARTISIPAN
Mengirim atau membaca email
91
Menggunakan sebuah mesin pencari (search engine)
91
Research tentang poduk sebelum membelinya
78
Men-search Web sekadar untuk fun
62
Menonton atau mendengarkan video klip
56
Men-download games, ideo, atau gambar
42
Mengirim pesan instant
39
Membaca sebuah blog
39
Memainkan game online
35
Search iklan baris online
30
Memeringkat suatu produk secara online.
28
Membuat isi
19
Menggunakan stus jejaring sosial
16
Mendownload sebuah podcast
12
Sumber: PEW dalam Tuten, L. T., 2009. Advertising 2.0, Social Media Marketing in Web 2.0 World. London: Praeger

Disini diperlukan pemahaman bahwa ruang media online yang baik dibangun dengan pemahaman bahwa beberapa orang ingin mencari informasi dan sebagian lainnya ingin menjelajah. Sebagian orang sudah mengetahui apa yang mereka cari misalnya, rilis berita terbaru, atau ingin mencari alamat atau lokasi yang menyediakan makanan favoritnya. Mereka membutuhkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan spesifik, dan karenanya perusahaan mengoptimalkan konten sehingga mudah untuk ditemukan, mungkin dengan memasukkan sebuah mesin pencari di dalamnya.

Pengguna internet memiliki perilaku khusus dalam hal mencari informasi  produk. Mereka tidak terlalu suka langsung masuk ke situs web sebuah perusahaan yang bersangkutan, namun lebih senang mencarinya melalui search engine seperti Google, Yahoo!, MSN Live dan lainnya. Statistik dari berbagai lembaga riset menunjukkan, sekitar  68% pengguna Internet mencari informasi produk melalui mesin pencarian.

Oleh karena itu, wajib hukumnya memiliki situs web yang search engine friendly. Situs yang memenuhi standar ini akan mudah dan cepat diindeks oleh berbagai search engine utama, seperti Google, Yahoo! dan MSN Live. Namun banyak perusahaan yang seringkali abai dengan hal-hal semacam ini. Perhatian mereka lebih terfokus pada tampilan – indah tidaknya – sebuah situs. Padahal, search engine friendly ini justru memiliki nilai startegis agar mudah dicari pengguna Internet.

Lantas bagaimana dengan nasib teknik marketing konvensional? Mungkin terlalu berlebihan bila mengatakan bahwa marketing tradisional sudah tidak efektif lagi atau kurang efektif. Sebab bagaimana pun tidak ada jaminan bahwa menggunakan teknik marketing konvensional maupun alternatif secara sendiri-sendiri juga akan berhasil. Meski harus diakui bagia ada juga brand yang diprmosikan dengan hanya teknik konvensional atau alternatif berhasil.

Ambil contoh Jakartanotebook.com. Toko kumputer online yang baru beroperasi beberapa bulan ini hanya mengandalkan teknik marketing dari mulut ke mulut dan viral marketing. Dengan harga lebih murah  dan deliveri yang bisa diadalkan membuat konsumen yang membeli produk melalui Jakartanotebook.com bercerita ke teman-temannya. Konsumennya yang puas dan yang sangat familiar dengan komputer dan modem melakukan testimoni dan merekomendasikan melalui internet. Jadinya, Jakartanotebook.com yang awalnya cuma memiliki lima orang pekerja, sekarang sudah 20 orang. Awalnya, pembelinya cuma 10-20 per hari, kini mencapai 100 orang per hari.


Tabel 3. Bagaimana Orang Menggunakan Media Sosial?

Menyaksikan video klip online
82,9
Membaca blog
72,5
Membaca blog pribadi
67,5
Mengunjungi sebuah website berbagi foto
63,2
Mengelola sebuah profil pada sebuah jejaring sosial yang ada
57,3
Menulis sebuah pesan pada sebuah blog
54,8
Upload foto saya
52,2
Menulis sebuah komentar di sebuah situs berita
45,8
Mendownload sebuah podcast
45,1
Memulai ”my own blog”
38,7
Mengup-load sebuah video
38,5
Berlanggan seah feeder RSS
33,7
Sumber: Lincoln, R. S., 2009. Mastering Web 2.0. London:Kogan Page.

Ini membuktikan bahwa di tengah hiruk pikuk bermacam-macam teknik marketing alternatif, keberhasilan aktivitas marketing untuk menghubungkan brand dengan pelanggan, pelanggan dengan pelanggan, dan sebaliknya, tidak bisa hanya mengandalkan satu teknik, konvensional atau alternatif. Agar behasil, dibutuhkan integrasi semua teknik marketing baik yang konvensional maupun yang alternatif.

Marketing kini memang tidak hanya sekadar mengenali 20% pembeli yang mewakili 80% omset perusahaa dan pertahan mereka supaya tetap beli lagi. Membuat mereka senang dan membeli brand kita lagi tidak cukup. Jakartanotebook.com tentu tidak akan bisa berhasil bila hanya mengandalkan word of mouth saja. Ia akan menjadi pembicaraan negatif dan brandnya lemah bila deliveri-nya tidak sesuai dengan yang dijanjikan.
 
Yang menjadi tantangan merketer adalah bagaimana pembeli itu ikut membujuk calon pembeli lainnya untuk membeli brand kita. Mungkin banyak orang yang membicarakan tetapi membuat mereka untuk bisa mempengaruhi orang lain membeli brand kita adalah lebih penting. Tak peduli berapa banyak uang yang dibelanjakan oleh 20% pelanggan itu untuk membeli brand kita, yang penting bagaimana caranya mereka menyuarakan dan mempercepat word of mouth positif brand kita. Itu bukan hanya untuk produk baru. Produk lama pun juga berlaku hukum tersebut.

Marketing pada dasarnya adalah berbicara tentang bagaimana mendiferensiasi apa yang kita tawarkan dari penawaran pesaing. Marketing alternatif juga demikian. Jika kita menginginkan orang lain membicarakan brand kita, kita perlu memberikan sesuatu yang berarti untuk dibicarakan. Ini berarti apa yang kita berikan itu haruslah mempunyai keunikan. Intinya, untuk menciptakan word of mouth, upaya harus dibangun berdasarkan diferensiasi produk atau merek dan kepercayaan.

Upaya atau strategi marketing pada dasarnya bukan sekadar kontrol, tapi menyangkut menagament. Di sisi lain, upaya marketing tidak dapat dikelola dengan baik bila tanpa pengukuran. Pengukuran disini tidak hanya didasarkan pada tingkat awarenes. Upaya marketing alternatif seyogyanya ditujukan untuk meningkatkan jumlah atau persentase konsumen yang merekomendasikan dan karenanya mereka membeli.

Gerakan Nasional City Branding


City branding rupanya menjadi salah satu strategi bagi sejumlah penerbangan, hotel, serta taman wisata untuk mendongkrak kinerja merek mereka. Tak mengherankan, jika aneka merek yang terkait dengan industri pariwisata tersebut tampak agresif menggelar upaya marketing komunikasi yang bermuara pada city branding. Seperti apa?
Mem-branding sebuah kota, atau lebih dikenal dengan istilah city branding, memang tak hanya tugas pemerintah daerah setempat. Pihak swasta, yang terkait dengan industri pariwisata pun bisa turut berkepentingan dalam menkomunikasikan kota. Sebut saja, jasa penerbangan, penginapan, restoran, hingga lokasi-lokasi wisata.
Pentingnya mem-branding sebuah kota, diyakini pula oleh Citilink, Water Boom Lippo Cikarang, dan Ibis Budget. Dikatakan Vice President Marketing & Communication Citilink Aristo Kristandyo, sebagai penerbangan yang bekonsep dasar low cost carrier—yang menghubungkan satu kota ke kota lain—maka membangun brand destinasi branding dari berbagai kota menjadi sangat penting bagi Citilink.
Senada dengan Aristo, General Manager Water Boom Lippo Cikarang Arif Budiman, city branding merupakan langkah penting bagi Water Boom Lippo Cikarang. Upaya city branding menjadi penting untuk menjadikan Waterboom lebih dikenal sekaligus menjadi daya tarik tujuan wisata ke Cikarang. “Dengan menjadi destinasi, market share pengunjung Water Boom menjadi lebih luas serta tidak dibatasi jarak tempuh maupun wilayah,” ungkapnya.
Lantas, langkah apa saja yang telah dilakukan Citilink dan Water Boom Lippo Cikarang dalam mem-branding kota? Citilink misalnya, menggelar upaya markting komunikasi teritnegrasi untuk kota-kota di Indonesia, yang merupakan rute destinasi yang telah dibuka oleh Citilink. Langkah pertama yang dilakukan Citilink adalah melakukan analisa pasar untuk memperoleh profiling kotanya. Selanjutnya, Citilink menentukan channel media komunikasi yang tepat sekaligus merancang strategi city branding yang customize sesuai dengan analisa pasar tersebut.
Dijelaskan Aristo, “Antara satu kota dengan kota lainya, memiliki perbedaan karakter. Contoh di Medan, akan berbeda dengan Makassar. Di Medan habbit-nya lebih senang bertemu orang atau friendship. Maka, kami akan lebih memanfaatkan channel komunitas. Makassar lebih senang ngumpul di luar. Maka, channel komunikasi yang kami manfaatkan adalah out door activity, seperti sebar flyer, billborad, dan ‘Citilink Kios on the Road’ (mobile branding). Beda lagi dengan Surabaya, yang lebih cocok dengan komunikasi di koran dan TV. Karena, karakter kotanya memang lebih suka nonton dan baca koran.”
Kustomisasi juga dilakukan Citilink lewat “Pantun in The Air”, program komunikasi Citilink lewat greeting pramugari dan call center, body text iklan, dan billboard. Contohnya, ketika pesawat akan tiba di Bali, makan pantun yang akan dihadirkan menyajikan unsur Bali. Misalnya, “Mau surfing di Bali, Citilink selamat pagi”. Jika pesawat hendak mendarat di Jakarta, maka pantun berubah menjadi “Bang Jampang di Jakarta, selamat datang di Jakarta”.
Menurut Aristo, kampanye lewat pantun hanyalah bagian dari strategi kampanye komunikasi Citilink. Lantaran, Citilink ingin di-positioning-kan sebagai maskapai yang memiliki unsur fun, reliable, affordable, plus sebagai Indonesia Leading Low Cost Airline. “Citilink juga ingin menjadi brand yang mampu memenuhi travel needs life style konsumen,” lanjut Aristo.
Positioning “Paling Indonesia” juga diinginkan oleh Water Boom Lippo Cikarang. Diakui Arif, setiap taman rekreasi memiliki ‘unique selling’ yang berbeda. Berangkat dari hal itu, Water Boom Lippo Cikarang ingin memposisikan diri sebagai taman rekreasi air yang nyaman untuk seluruh keluarga dengan sentuhan budaya Indonesia yang kental. “Bisa dibilang kami adalah taman rekreasi air yang ‘paling Indonesia’,” jelas Arif.
Upaya lain yang juga dilakukan Citilink, dalam rangka city branding, adalah Citilink Story. Kampanye lewat media digital tersebut digelar untuk mem-branding kota-kota yang memang menjadi rute-rute destinasi Citilink. Setiap cerita menarik tentang kota-kota di Indonesia itu—baik keindahan kota, budaya, kuliner, dan sebagainya—disajikan di Citilink Story. “Citilink Story ada di dalam website citilink. Itu artinya, di webiste, kami tidak hanya menginformasikan tiket Citilink, tapi juga mengkomunikasikan kota-kota di Indonesia yang bisa dijelajahi. Out put akhirnya, kami berharap pengunjung bisa membeli tiketnya di Citilink,” Aristo menuturkan.
Selain itu, di tahun 2013 ini Citilink juga meluncurkan program TV “Citilink Jelajah Mimpi”. Program yang mengangkat cerita yang ada di Citilink Story, ditayangkan seminggu sekali di televisi. Kemudian, program TV tersebut juga diamplifikasi lewat social media twitter dan facebook, termasuk twitter milik host-nya.
Strategi lain dari Citilink adalah Co-Creation. Misalnya, Citilink mengajak anak-anak muda untuk berperan serta dalam berkreativitas. Citilink punya program below the line “Citilink Academy” di sejumlah kota. “Kami dekati komunitas anak-anak muda, sinematografi, fotografi, dan penulis. Mereka diberi pelatihan tentang bagaimana menulis, memfoto, dan membuat program TV yang baik. Lalu, mereka kami ajak untuk menceritakan tentang keindahan, keunggulan, dan sudut-sudut kota di daerah mereka untuk dituangkan dalam bentuk foto, tulisan atau video. Karya itu akan dimasukan ke Citilink Story,” papar Aristo.
Ibis Budget Jakarta Menteng dan Ibis Budget Jakarta Cikini, juga tak mau ketinggalan. Demi menjaring para tamu hotel, baru-baru ini, Ibis Budget Jakarta Menteng dan Cikini—yang dulunya bernama Formule 1—menggelar promo bertajuk “Explore Indonesia with Ibis”. “Promo tersebut ditujukan kepada para tamu yang melakukan pemesanan kamar lewat internet ke www.ibisbudget.com,” urai Chrisna Rianti, PR Accor—operator hotel internasional terbesar di Asia Pasifik dan Indonesia selaku pengelola Ibis.
Dengan memilih promo yang berlangsung sampai akhir Juni 2013 itu, para tamu dapat menikmati sekaligus tinggal di hotel lengkap dengan akses internet. Termasuk, mendapatkan kupon makan senilai Rp 50.000 yang dapat dinikmati di hotel keluarga Ibis lainnya—yaitu Ibis Styles dan Ibis, serta berkesempatan memenangkan hadiah menginap gratis yang diundi setiap minggunya.
Bicara city branding, ternyata erat kaitannya dengan segmen keluarga. Sebab, tak sedikit wisatawan yang ingin memilih melakukan perjalan wisata bersama keluarga. Termasuk, bersama teman-teman maupun kerabat mereka. Tengok saja, profil pelanggan Citilink yang menempatkan segmen keluarga sebagai penyumbang terbesar ketiga, setelah segmen karyawan dan usahawan.
Begitu juga dengan Water Bom Lippo Cikarang. Menurut Arif, segmen keluarga sangat besar, mengingat Waterboom Lippop Cikarang berada di lokasi yang di kelilingi kawasan perumahan, lingkungan yang identik dengan keluarga yang terus tumbuh pesat. “Hampir semua developer besar di Indonesia ada di daerah itu,” ungkap Arif, yang menyebutkan bahwa Water Boom Lippo Cikarang menggunakan saluran media cetak, media promosi luar ruang, hingga media sosial.
Oleh karena itu, Water Boom Lippo Cikarang melakukan upaya markom yang berangkat dari kebutuhan keluarga akan kebersamaan, berkumpul bersama, dan melakukan aktivitas yang melibatkan seluruh anggota keluarga. Water Boom Lippo Cikarang pun membuat beragam aktivitas dan acara yang memenuhi keinginan seluruh anggota keluarga. Termasuk, fasilitas bermain dan berlibur yang mengakomodir seluruh golongan usia. Mulai dari permainan yang memacu adrenalin, hingga suasana nyaman yang menenangkan.
Efektifkah kampanye city branding? Diakui Aristo, kampanye city branding tercatat efektif untuk kinerja brand Citilink. Dari sisi brand tracking misalnya, awal tahun 2012, awareness level Citilink masih di bawah 40 persen. di akhir 2012, awareness-nya mencapai 67%. Sekarang, setelah serangkaia program city branding, awareness-nya menembus 79%. “Di pertengah tahun 2013, kami yakin awareness brand Citilink akan naik lebih dari 79%,” yakin Aristo.


Minggu, 28 Juni 2015

Kata Siapa Pemasaran Sekarang Berubah Total?



Pemasaran hari ini benar-benar di luar kendali. Coba perhatikan, agar bisa mengakses pasar, pemasar sekarang harus menggunakan berbagai teknik pemasaran baru. Karena saking ruwetnya, satu teknik tidak akan memadai. Karena itulah persepsi yang muncul kemudian adalah bahwa pemasaran itu susah.
Apalagi dihadapkan pada kenyataan bahwa saat ini bila Anda meluncurkan produk baru misalnya, merek Anda akan berhadapan dengan belasan pesaing langsung maupun tidak langsung. Dengan kata lain, situasi pasar sekarang ini membuat Anda semakin sulit untuk berdiri keluar dari keramaian merek.
Di sisi lain, konsumen sekarang ibarat duduk di ruang pengap. Mereka kewalahan dengan parade pesan pemasaran dari berbagai media yang semakin meningkat dan tampaknya tak berujung. Tidak ada ruang untuk beritirahat karena di setiap sudut selalu hadir pesan pemasaran. Kini konsumen hidup dalam keberisikan. Diperkirakan bahwa rata-rata orang menerima lebih dari 10.000 pesan. Yang menarik semua nadanya terdengar sama, mempersuasi Anda.
Sebagai pemasar, mereka bersaing dengan dua jenis keberisikan. Yang pertama adalah kebisingan di pasar. Ini mungkin datang dari pesaing, dari pesan yang tidak jelas dan tidak fokus, atau dari rentetan komunikasi yang dirilis secara bersamaan di seluruh spektrum saluran yang luas. Yang kedua adalah keberisikan yang dibangun organisasi kita sendiri. Bahkan jika Anda memiliki konsep kreatif yang besar, sebuah pesan yang hebat, dan kampanye pemasaran yang luar biasa, Anda masih harus bersaing untuk mendapatkan sumber daya dan perhatian dengan semua kegiatan lain yang terjadi dalam organisasi Anda.
Mereka perlu mempertahankan fokus yang jelas di atas kerumunan atau keributan pemasaran. Yang sering terjadi, sebagian besar organisasi bisa memulai dari yang baru untuk mengembangkan strategi pemasaran baru. Mereka sudah memiliki pelanggan, saluran dan hubungan, dan cara untuk melakukan bisnis. Dengan sumber daya yang terbatas, mereka tidak mampu mengintegrasikan setiap taktik baru dan memprioritaskan semua pilihan.
Apa yang dibutuhkan adalah kerangka kerja yang melihat pemasaran sebagai terkait dengan  pertumbuhan bisnis dan bangunan dan memelihara keterlibatan pelanggan yang sedang berlangsung. Kini saatnya menggeser fokus dari media sosial dan penginjil, penjualan dan keselarasan pemasaran, serta alat pemasaran berbasis cloud terbaru, ke hal-hal yang benar-benar penting: yakni meyakinkan pelanggan untuk mempercayai Anda, bukan hanya sekali, tetapi lagi, lagi, dan lagi.
Salah satu mitos yang paling membuat frustrasi pemasar adalah gagasan bahwa pemasaran harus mampu membuat kebutuhan atau memaksa orang untuk membeli hal-hal yang sebenarnya tidak mereka butuhkan, atau membujuk mereka yang telah memutuskan tidak ingin membeli.


Padahal, pemasar tidak memiliki kekuatan untuk membuat hal itu terjadi. Yang bisa dilakukan pemasar adalah menunjukkan sesuatu yang lebih baik dari yang lain. Pemasar dapat membujuk prospek untuk pindah dari merek A ke merek B karena pesan yang disampaikan beresonansi lebih kuat, karena prospek merasa lebih nyaman atau aman dengan pilihan itu, atau karena prospek telah dibuat menyadari kebutuhan atau ingin dia tidak difokuskan pada merek sebelumnya. Atau, pelanggan potensial mungkin hanya merasa terdorong untuk membeli karena afinitasnya ke satu perusahaan atau merek lain.
Sebagai pebisnis atau pemasar, Anda perlu memahami bagaimana tim pemasaran Anda dapat membantu perusahaan Anda keluar berdiri tegak di atas keberisikan itu. Anda perlu mengetahui bagaimana organisasi Anda menggunakan pemasaran untuk menciptakan kesuksesan bisnis yang langgeng dan menghasilkan keuntungan strategis.
Banyak pembicaraan pemasaran berfokus pada teknologi: Twitter, Facebook, viral video, dan klik misalnya. Namun, Linda J Popky, penulis Marketing above the noise: achieve strategic advantage with marketing that matters ini faham bahwa teknologi adalah bagian penting dari sebuah teka-teki, meski bukanlah bagian yang paling penting. Paparan informasi dengan jumlah tak terbatas dari web, membuat konsumen sekarang memiliki informasi lebih banyak, bahkan lebih berkualitas ketimbang dari produsen.
Ini adalah dunia baru yang menuntut pemasar secara lebih cerdas mendidik dan memberi informasi, bukan menginterupsi dan menjual. Disini, Popky mengajukan pendekatan nilai-nilai dasar seperti kepercayaan, membangun hubungan, dan ketahanan dalam membangun konsep pemasaran yang  bertujuan menciptakan minat pelanggan dan loyalitas.
Ini mungkin tampak berlawanan dengan intuisi pemasar terhadap media sosial dan digital yang melekat selama ini, bahwa karena perkembangan teknologi informasi dan media sosial, dunia pemasaran berubah total. Padahal, saat ini masih banyak aspek pemasaran yang abadi dan relevan. Dengan kata lain, ada hal-hal penting dalam pemasaran yang tidak berubah.
Pemasaran untuk pembeli pemula misalnya, pesan yang membantu mereka mengatasi keengganan untuk membeli harus menjangkau prospek. Disini, penawaran berupa coba-dan-beli adalah taktik yang umum, dan efektif. Ini juga dilakukan dalam pemasaran online. Banyak layanan online menawarkan masa percobaan gratis atau menggunakan model "freemium", di mana biaya layanan dasar yang diterima konsumen gratis. Akan tetapi, kalau konsumen ingin layanan penuh, mereka dikenakan biaya.  Namun, konsumen menangkap informasi pembayaran itu adalah untuk memudahkan proses upgrade ke layanan berbayar sehingga mereka tidak merasa terbebani.
Pennsylvania pernah dikenal sebagai tempat kelahiran batubara antrasit. Tapi bagi Wilkes-Barre, Pennsylvania, memiliki klaim tenar lainnya. Pada bulan November 1972, Pennsylvania menjadi tempat kelahiran program TV kabel modern dengan diluncurkannya layanan Home Box Office (HBO) pertama. Saat itu, pelanggan HBO kurang dari empat ratus keluarga.
Nilai proposisi yang ditawarkan HBO jelas: membayar biaya bulanan sebagai pertukaran untuk kemampuan melihat film terbaru tanpa editing atau gangguan oleh pengiklan komersial. Hari ini, tidak hanya satu atau beberapa saluran kabel yang menawarkan layanan ini. Pemirsa kini dapat memilih  saluran satelit dan streaming video seperti Netflix dan Amazon Prime. Bahkan HBO sendiri memiliki tiga belas saluran.
Jumlah pemain dan teknologinya memang berubah. Tapi yang tidak berubah adalah bahwa apakah Anda melihat konten di bioskop, di layar televisi, atau pada smartphone atau tablet, hanya ada dua cara utama yang dapat Anda gunakan untuk memperoleh konten: dengan menonton iklan atau dengan membayar premi untuk menghindari iklan gratis.
Contoh lain, game online. Anda dapat men-download aplikasi game terbaru tanpa biaya dan mentolerir iklan yang muncul secara teratur, atau Anda dapat membayar beberapa dolar untuk edisi premium yang memungkinkan Anda bermain bebas dari iklan pop-up. Disini mekanisme pengiriman berubah; tetapi konsep dasar pemasaran di belakang mereka tidak.
Memang benar bahwa teknologi telah merevolusi pemasaran. Dalam lingkungan saat ini misalnya, secara sederhana, orang merasakan kehadiran media sosial. Dalam konteks komunikasi pemasaran, sekarang hampir semua orang bisa membuat kampanye pemasaran secara langsung. Bahkan dengan hanya sedikit usaha, produk baru dapat diluncurkan di seluruh perangkat dan platform komunikasi.
Melalui buku ini, Popky memperkenalkan Dynamic Market Leverage Model, yang berguna untuk mengukur kekuatan pemasaran dengan melihat delapan disiplin pemasaran inti dan lima faktor leverage tambahan. Ini  dapat membantu perusahaan tetap fokus pada aspek-aspek kunci dari fungsi pemasaran. Juga dapat membantu perusahaan dalam upaya pengembalian yang paling signifikan pada investasi pemasaran mereka.
Kedelapan disiplin pemasaran inti itu meliputi, pertama, strategi yang efektif mengantisipasi kebutuhan pelanggan, pasar, teknologi, dan bisnis. Kedua, produk berkualitas baik yang memenuhi kebutuhan pelanggan yang lebih baik daripada alternatif. Ketiga, pelanggan, dalam arti pemasar harus memahami  pelanggan mereka, apa yang mereka butuhkan, inginkan, dan keinginan, dan bagaimana perusahaan  bisa membantu mereka. Keempat, merek yang kuat dan memiliki reputasi di benak khalayak kunci.
Kelima, komunikasi. Disini perusahaan perlu memiliki cara yang baik untuk mengkomunikasikan nilai yang ditawarkan. Keenam, analisis pasar berupa pemahaman lingkungan pasar pesaing. Ketujuh operasi: perusahaan harus mampu memberikan, melacak, dan menganalisis kegiatan pemasaran mereka. Ke delapan, saluran pemasaran. Sementara itu, lima faktor yang meleverage meliputi komitmen organisasi, resources, people, technology, dan environment.
Menurut Popky, bisnis saat ini perlu berhenti berusaha untuk mengikuti taktik pkan tasaran terbaru dan terhebat. Bisnis sekarang harus fokus pada pengembangan strategi-strategi jangka panjang yang membangun loyalitas pelanggan serta meyakinkan prospek untuk membeli. Dalam konteks ini, bisnis memang perlu menyadari dan mengintegrasikan media baru dan pendekatan baru. Akan tetapi mereka perlu melakukannya dengan cara yang masuk akal.
Marketing above the noise ditulis Popky untuk para petinggi pemasaran yang ingin memahami bagaimana menavigasi perairan informasi tanpa risiko kehilangan keuntungan dan keberhasilan. Untuk mereka yang baru menerjuni pemasaran, buku ini akan membantu pembaca memahami isu-isu kunci dalam pemasaran. Jika pembaca sudah menjadi pemasar yang baik, membaca buku ini akan memberikan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana agar dapat secara efektif bergerak maju dalam lingkungan yang berisik saat ini. Bagi seorang eksekutif senior, buku ini akan memperjelas jenis hasil yang didapatkan dari Tim pemasaran.

Buku ini tidak terfokus pada media sosial, user generated content, crowdsourcing, media digital, dan sebagainya. Akan tetapi, buku ini membahas banyak taktik dalam media sosial dan diskusi inti dimulai dengan kerangka-cara abadi untuk melihat pemasaran sebagai sesuatu yang terkait dengan baik pada pertumbuhan bisnis dan bangunan dan memelihara keterlibatan pelanggan yang sedang berlangsung.

Senin, 22 Juni 2015

Kenapa Orang Sinis terhadap Kegiatan CSR Perusahaan

November dua tahun lalu, produsen sereal Kellogg meminta maaf setelah mengirim tweet yang menyiratkan niat mereka memberikan hadiah berupa satu sarapan yang diberikan kepada satu anak yang rentan untuk setiap re-tweet yang mereka terima.

Pesan berbunyi "1 RT = 1 breakfast for a vulnerable child " yang dikirim dari akun @KelloggsUK itu memancing kemarahan dan balasan marah di situs media sosial. Tweet tersebut dicap "bodoh" dan "sinis". Linda Sandvik misalnya mengatakan, "Kellogg, jika Anda memiliki kemampuan untuk memberi makan anak-anak yang membutuhkan maka lakukan!" Pengguna Twitter lainnya, David Ingram menambahkan, "Mempromosikan merek atau membiarkan anak-anak tetap lapar… tetap saja Kellogg berkelas.."

Sehari setelah itu, perusahaan langsung menghapus pesan yang membuat banyak orang tersiinggung itu dengan menyampaikan permintaan maaf mereka. "Kami ingin meminta maaf atas tweet baru-baru ini, salah dalam menggunakan kata-kata. Pesan itu telah dihapus. Kami memberikan dana untuk klub sarapan sekolah di daerah rawan.."

Tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) adalah konsep bisnis di mana perusahaan berusaha untuk berperilaku bertanggung jawab terhada masalah sosial dan lingkungan sehingga bisnis memberikan kontribusi yang bermakna dan langgeng kepada masyarakat (Hopkins, 2007).

Perusahaan terdorong  untuk terlibat dalam program-program tanggung jawab sosial karena manfaat potensialnya terhadap  bisnis, yang meliputi peningkatan merek, diferensiasi pasar, dan kepuasan karyawan (www.dowelldogood.net). Namun, perusahaan sering gagal mengkomunikasikannya secara  efektif  kegiatan CSR mereka kepada khalayak sasaran sehingga menghambat perusahaan merealisasikan manfaat bisnis itu.  

Dalam konteks dengan komunikasi CSR ini, ada dua tantangan yang harus diatasi pengelola kegiatan CSR. Tantangan pertama, stakeholder awareness. Keberhasilan kegiatan CSR sangat bergantung pada awareness para pemangku kepentingan dari kegiatan CSR perusahaan. Persoalannya, studi empiris baru-baru ini mengungkapkan bahwa awareness kegiatan CSR perusahaan para pemangku kepentingan eksternal (misalnya, konsumen) atau bahkan stakeholder internal (misalnya, karyawan) biasanya rendah (Sen et al., 2006). Fenomena ini merupakan sandungan utama upaya perusahaan menuai keuntungan strategis dari kegiatan CSR.

Tantangan kedua, skeptisisme stakeholder. Di luar kesadaran, tantangan utama lainnya adalah skeptisisme stakeholder. Di satu sisi stakeholder mengklaim bahwa mereka ingin tahu tentang perbuatan baik dari perusahaan yang memproduksi barang yang mereka beli atau berinvestasi, di sisi lain, mereka curiga motif perusahaan ketika perusahaan agresif mempromosikan upaya CSR mereka. Tidak seperti informasi pemasaran lain seperti kualitas produk dan inovasi baru, informasi CSR perusahaan mencerminkan "karakter," atau “jiwa” sebuah perusahaan.

Karakter perusahaan dan kegiatan CSR yang dilakukannya membuat memunculkan pertanyaan di kalangan pemangku kepentingan seputar motif yang mendasari penilaian bahwa kegiatan itu penting. Bisa saja ada reaksi jika pemangku kepentingan memahami kegiatan tersebut lebih didominasi oleh kepentingan diri sendiri atau motif keuntungan, daripada perhatian yang tulus perusahaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Penelitian terbaru tentang atribusi CSR menunjukkan bahwa stakeholder sering melihat dua hal, yakni  intrinsic yang berkaitan dengan motif asli kepedulian sosial dan lingkungan, dan ekstrinsik yang berkaitan dengan motif keuntungan. Yang menarik, para pemangku kepentingan sering toleran terhadap motif ekstrinsik selama inisiatif CSR dikaitkan dengan motif intrinsic. Sikap toleran terhadap motif ekstrinsik ini menunjukkan bahwa stakeholder telah belajar lebih banyak tentang CSR dan motivasi perusahaan. Mereka semakin bersedia untuk mengadopsi perspektif win-win, percaya bahwa inisiatif CSR dapat dan harus melayani baik kebutuhan masyarakat dan bisnis.

Karena itulah menciptakan kesadaran pemangku kepentingan dan mengelola atribusi pemangku kepentingan merupakan prasyarat utama untuk menuai manfaat strategis dari setiap inisiatif bisnis. Para anggota dewan dan eksekutif senior harus melembagakan program CSR sehingga memiliki pemahaman yang lebih dalam tentang isu-isu kunci yang berkaitan dengan komunikasi CSR.

Ini termasuk pertanyaan seputar apa yang dikomunikasikan (isi pesan), di mana komunikasi dilakukan (saluran pesan), sumber informasi, motivasi perusahaan, industri perusahaan, reputasi merek, dan sifat bisnis perusahaan, serta pemahaman tentang faktor-faktor (internal dan eksternal organisasi). Faktor-faktor tadi sangat mempengaruhi para pemangku kepentingan perusahaan dan publik lainnya dalam menafsirkan serta menanggapi informasi tentang kegiatan CSR.

Beberapa studi akademis juga menekankan tentang kecocokan antara jenis kegiatan CSR dan karater perusahaan yang mengacu pada hubungan logis antara fungsi bisnis perusahaan dan kegiatan CSR atau organisasi yang mendukungnya (Simmons & Becker-Olson, 2006). Hal ini dianggap penting karena ketika kecocokan antara fungsi bisnis perusahaan dan kegiatan CSR rendah, individu-individu yang terlibat dalam kegiatan akan mengalami kesulitan dalam menjelaskan motivasi perusahaan untuk mendapatkan dukungan atas kegiatan yang dilakukannya.

Ketika tidak ada informasi lain yang ditawarkan yang bisa menjelaskan secara logis, individu-individu dalam masyarakat menjadi skeptis terhadap motif sebenarnya perusahaan dalam melakukan kegiatan CSR. Ini dapat menyebabkan munculnya perasaan negatif atau sinisme terhadap perusahaan. Di sisi lain, perusahaan tidak memiliki kontrol secara keseluruhan atas faktor-faktor ini, strategi komunikasi yang efektif dapat membantu perusahaan dalam membuat dan menyampaikan pesan paling menguntungkan bagi perusahaan.

Tahun lalu, KFC sebagai sebuah merek melakukan gerakan Kesadaran Kanker Payudara dengan kampanye "Buckets for the Cure." KFC mendorong orang membeli ayam goreng dan menyisihkan pendapatan dari penjualan itu untuk kegiatan penelitian kanker payudara. Sayangnya, sebagai rantai makanan cepat saji, banyak penelitian yang dikutip mengatakan bahwa makanan yang digoreng sebagai agen penyebab kanker. Kampanye itu tidak hanya menarik perhatian pada risiko kesehatan yang berhubungan dengan makanan KFC, tetapi juga membuat KFC tampak otentik dan lebih tertarik pada keuntungan dari  pada sekadar memberikan kembali untuk tujuan yang baik.

Kecocokan CSR merupakan hasil dari asosiasi yang dishare oleh brand dan kegiatan CSRnya, misalnya menyangkut dimensi produk (merek produk herbal mensponsori kegiatan perlindungan hutan), afinitas dengan segmen target tertentu (misalnya, Avon memerangi kanker payudara), atau asosiasi citra perusahaan yang diciptakan oleh perilaku masa lalu merek dalam domain sosial tertentu (misalnya, Ben & Jerry dan kegiatan Body Shop aktif dalam perlindungan lingkungan).

Kecocokan CSR ini penting karena mempengaruhi keingin-jelasan stakeholder CSR. Kecocokan CSR rendah, misalnya karena kurangnya koneksi logis antara masalah sosial dan bisnis perusahaan, bisa  memicu skeptisisme stakeholder dan atribusi ekstrinsik, sehingga mengurangi reaksi positif mereka terhadap kegiatan CSR perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan harus memperhatikan kecocokan CSR dengan mensinkronkan antara inisiatif sosial dan masalah sosial dan manfaat yang diinginkan perusahaan.

Ketika sebuah perusahaan tidak memiliki kecocokan sifat CSR yang tinggi, perusahaan harus menjelaskan agar kecocokan meningkat. Misalnya, DenTek Oral Care, sponsor kegiatan American Diabetes Association, mengkomunikasikannya bahwa diabetes dapat menyebabkan kerusakan gigi, bau mulut, mulut kering, dan penyakit gusi. Bila banyak orang tidak mengetahui tentang kaitan masalah gigi dan diabetes, maka sponsorship terlihat sebaliknya, kegiatannya dinilai memilki kecocokan yang buruk.  Dengan menjelaskan ke publik tentang keterkaitan itu dan itu mendasari sponsorship dan bisnis inti, perusahaan mampu menciptakan kecocokan yang dirasakan tinggi sehingga menuai keuntungan bisnis yang lebih besar dari kegiatan CSR.

Pada tahun 2010, H & M menerima publisitas negatif di Twitter setelah salah seorang warga New York melaporkan kepada koran The New York Times tentang adanya toko lokal H&M yang sengaja menghancurkan dan membuang barang tanpa mengikuti prosedur toko yang baik. Cynthia Magnus, seorang  mahasiswa pascasarjana sebuah perguruan tinggi di New York melihat sebuah toko H & M di 34th Street membenamkan kantong sampah penuh pakaian yang sengaja dihancurkan.

Prihatin bahwa sebenarnya limbah pakaian itu masih baik dan bisa disumbangkan untuk amal, Magnus menghubungi kantor pusat H&M. Ketika dia tidak mendapat respon yang baik dari kantor pusat H&M, dia menulis surat kepada New York Times. The Times menulis itu sebagai cerita kecil di bagian berita regional mereka.

Meski demikian, cerita ini kemudian di-tweet oleh tweeter dan diunduh lebih dari 12.000 kali (Forstater 2014). Karena insiden itu dikenal dikenal secara luas dan persoalan menjadi melebar karena kemudian muncul tuduhan H & M tidak menyumbangkan pakaian-pakaian itu kepada orang-orang yang membutuhkannya. Sebagai salah satu contoh tambahan dari publikasi CSR negatif, ActionAid mengkritik H & M tidak membayar cukup banyak pajak ke Bangladesh, tempat barang dagangan mereka diproduksi (Actionaid 2014).

Fenomena tersebut memberikan gambaran bahwa resonansi pesan-pesan positif maupun negatif terkait dengan isu CSR sangat dipengaruhi oleh seberapa besar publik bersimpati terhadap korban. Dalam kaitan ini, audiense telah memiliki persepsi bahwa korban tidak bersalah sehingga ketika mereka mendengar informasi tentang ketidakselarasan hubungan antara perusahaan dan publik, publik selalu dipersepsikan sebagai korban dan perusahaan selalu dipersepsikan sebagai pihak yang salah. 

Kadang-kadang perusahaan tidak memahami cara mengkomunikasikan CSR. Ketika berbicara soal lingkungan sebagai dari salah aspek dalam CSR misalnya, seringkali dikatakan bahwa perusahaan memerlukan lebih banyak produk berlabel 'ekologi'. Label tersebut bagus, namun perusahaan harus menjelaskan manfaat produk ekologi bagi lingkungan, kesehatan, dan sebagainya.

Namun bagaimanapun, perusahaan terus tertantang untuk berkomunikasi dengan masyarakat dan seringkali tidak mengkomunikasikan manfaat lingkungan sebanyak seperti seharusnya mereka lakukan. Sebuah studi terbaru oleh Forehand dan Grier (2003) telah menunjukkan bahwa skeptisisme konsumen terhadap motif kegiatan CSR perusahaan dapat dicegah oleh adanya pengakuan publik perusahaan akan manfaat strategis inisiatif CSR yang mereka nikmati.

Rabu, 17 Juni 2015

Digitalisasi Tetap Butuh Manusia

Nokia kehilangan peluang emas saat tren smartphone berkembang. Nokia seakan meninggalkan peluang pasar yang saat itu terbuka lebar dan menyerahkannya kepada Apple dan Samsung. 

Intel juga demikian. Ia kehilangan tapak evolusi penggunaan mobile dan memungkinkan Qualcomm mendominasi pasar chip ponsel. Kodak menciptakan fotografi digital tapi tidak cukup serius menggarapnya. Akibatnya, Kodak tidak ada lagi menjadi pemimpin pasar untuk  fotografi digital.

Nokia, Intel, dan Kodak adalah perusahaan-perusahaan brilian. Namun mereka terlalu asyik dengan kenikmatan dan kenyamanan posisinya sehingga enggan untuk berubah. Mereka seakan mengacuhkan  pertanyaan orang, “apakah Anda bisa memenuhi kebutuhan saya?” Akibatnya mereka kehilangan peluang emas yang ditawarkan oleh perkembangan teknis di pasar mereka sendiri. 

Mungkin Kodak misalnya, melihat peluang tersebut. Namun Kodak gagal mengenali pentingnya tindakan cepat. Mereka seakan menjadi orang awam yang tidak pernah membayangkan bahwa perkembangan bisnis secepat seperti yang sekarang disaksikan. 

Mereka terkejut dengan peluang besar di depan matanya dan baru tersadar ketika pasar atau peluang yang ada itu diambil pesaing. Singkatnya, selalu ada bahaya besar bahwa mereka akan kehilangan kesempatan.

Bisnis memang  masuk ke era perubahan yang makin dipercepat. Rentang periode keberhasilan perusahaan telah beberapa kali dipersingkat.  Selama tahun 1980, di Fortune 500 hampir secara eksklusif diisi oleh perusahaan-perusahaan yang telah dalam daftar itu selama 35 tahun. Saat ini, perusahaan yang masuk di klub eksklusif ini rata-rata 15 tahun.  Sekarang, hampir 40 persen daftar itu diisi oleh perusahaan yang 20 tahun lalu hampir tidak pernah terdengar.

Perubahan telah membawa bisnis masuk ke bidang persaingan baru. Pasar berkembang lebih cepat dan mengarah pada penciptaan lapangan baru kompetisi. Bentuk yang paling berbahaya dari persaingan  tidak lagi berasal dari dalam pasar Anda sendiri. 

Sebaliknya, pesaing sering datang dari arah yang Anda tidak menduganya. Lihat saja di pasar keuangan. Semua bank melakukan kurang lebih hal yang sama. Mereka masing-masing memberikan penawaran kepada pelanggan yang sebanding. Kadang-kadang, ada bank yang mungkin memperkenalkan inovasi atau reposisi kecil. Tapi kejutan nyata hanya sedikit dan jauh dari nyata.

Setiap tahun Fast Company menerbitkan daftar perusahaan paling inovatif di dunia. Namun dari waktu ke waktu, model bank-bank klasik menghilang di daftar Fast Company. Sekarang, kartu kredit sudah banyak.  

Penetrasinya juga sudah tinggi sehingga susah bagi pemain baru masuk ke dalamnya. Kalaupun bisa, itu cuma sekadar masuk karena sulit menemukan menampilkan pembedanya dengan kartu kredit lain.  

Dalam situasi seperti itu, datang Lending Club sebagai penantang. Lending menawarkan fasilitas kredit diantara konsumen. dengan kata lain, melalui Lending Club, konsumen A bisa meminjamkan uangnya ke konsumem lainnya B misalnya, dengan Lending Club sebagai fasilitatornya.

Model pinjam meminjam uang ini tentu saja menghilangkan fungsi utama dari bank-bank sebagai perantara. Square adalah contoh lain perusahaan yang ada di daftar FastCompany. Seperti PayPal, Square telah mengembangkan pilihan baru sistem  pembayaran. 

Square adalah kotak putih kecil berbentuk (tidak mengherankan) persegi. Jika Anda menghubungkannya ke iPhone atau iPad, mereka berubah menjadi alat mobile point-of-sale. Anda dapat melakukan pembayaran dengan kartu kredit. Ini berarti pembayaran mobile dengan Square mudah dan nyaman. 

Daftar Fast Company juga berisi beberapa start-up ambisius lain yang memiliki potensi untuk menggerogoti bisnis inti dari sektor perbankan.

Fenomena persaingan baru itu bukan hanya terjadi di pasar keuangan. Di hampir setiap industri selalu ada pemain baru dengan sesuatu yang baru. Masing-masing pemain baru itu menggunakan teknologi baru yang terkait dengan jenis hubungan pelanggan baru. 

Sebagai contoh, pemimpin tradisional di pasar sewa mobil kini menemui kesulitan untuk berdamai dengan inisiatif revolusioner dari perusahaan-perusahaan seperti Car2Go.

Car2Go adalah sebuah aplikasi yang memungkinkan pelanggan untuk melihat secara real time posisi mobil Car2Go yang tersedia untuk disewa di setiap kota atau di kota tertentu. 

Konsumen dapat mengaktifkan mesin mobil yang disewanya setelah mereka berada di dekatnya. Ketika mereka pertama kali masuk ke dalam mobil, mereka diminta untuk membuat evaluasi cepat tentang kondisinya, sehingga kebersihan dan kepatutan dari pelanggan sebelumnya dapat diperiksa.

Setelah proses tersebut dilakukan, pelanggan bebas menggunakannya kapanpun mereka siap. Tarifnya  ditentukan oleh jumlah kilometer.  Pembayaran dilakukan pada akhir perjalanan dengan kartu kredit. 

Setelah pelanggan mencapai tujuan akhir mereka, mereka hanya meninggalkan mobil di mana pun mereka berada. Ini adalah titik yang akan digunakan oleh pelanggan pengguna berikutnya. 

Ini mengindikasikan terjadinya revolusi hubungan pelanggan, yang sebelumnya tidak pernah setidak-stabil sekarang ini. Hubungan itu selalu berapa dalam rentang waktu yang tidak terlalu panjang bahkan semakin pendek.

Orang-orang yang bergerak di teknologi sering mengklaim bahwa dengan teknologi, model bisnis baru kini bisa mengeksploitasi kemungkinan membuat sesuatu yang luar biasa. 

Pada kenyataannya, teknologi saja tidak cukup. Mereka masih membutuhkan hubungan dengan pelanggan yang bentuknya kini sama sekali baru, meski memiliki satu kesamaan, yakni pelanggan memiliki kontrol atas seluruh proses, dari awal sampai akhir. Kuncinya adalah layanan optimal. Ini yang seringkali membuat pelanggan berbahagia.

Namun demikian, teknologi hanya  berfungsi meningkatkan pengalaman pelanggan ke tingkat yang berbeda. Singkatnya, teknologi memfasilitasi hubungan pelanggan baru. 

Pengalaman pelanggan menjadi semakin penting sebagai sumber keunggulan kompetitif. Dalam sebuah penelitian, 73% responden menyatakan bahwa bahkan ketika saluran digital perusahaan bekerja dengan sempurna, mereka masih menginginkan  memiliki akses ke manusia secara nyata.

Buku Steven Van Belleghem menawarkan panduan strategis untuk menggabungkan dua aset paling penting dalam bisnis  – manusia dan kekuatan digital. Dia menunjukkan kepada manajer pemasaran, direksi dan pengambil keputusan komersial tentang cara yang bisa mengubah pengalaman digital pelanggan positif dengan menambahkan sentuhan manusia. 

Dikemas dengan contoh-contoh dari organisasi yang telah berhasil mengubah hubungan dengan pelanggan mereka, seperti Amazon, Toyota, ING, Nike dan Starbucks, buku ini menyajikan model yang bisa menggambarkan dengan jelas tentang bagaimana mengintegrasikan lapisan "emosional" dalam strategi digital untuk mencapai keterlibatan dan loyalitas konsumen.

Digital berhasil memaksa perusahaan berada dalam posisi tidak memiliki pilihan. Perusahaan harus melakukan transfomasi digital secepat mungkin. Namun, dalam waktu dekat digital akan menjadi komoditas. Jika setiap perusahaan mengembangkan ekosistem digitalnya sendiri, memiliki strategi data yang baik dan telah mengotomatisasi hubungan pelanggannya, mungkinkah mereka masih bisa membedakan satu perusahaan dari perusahaan yang lain?

Digital customer relationship bisa mengarahkan perusahaan pada keunggulan operasional digital (efisiensi dan peningkatan pengalaman pelanggan). Bagi sebagian besar perusahaan, ini akan menjadi suatu kondisi minimum untuk sukses. Akan tapi sekadar operasi digital tidak akan cukup untuk membedakan mereka dari pesaing. Dengan kata lain, transformasi digital memang dapat menjangkau sesuatu sesuatu yang jauh, mahal dan sebelumnya sepertinya sulit.

Tapi itu saja tidaklah cukup. Membawa orang untuk berbagi kepentingan bersama selalu menciptakan suasana yang menyenangkan. Jika Anda mengetahui sebuah kafe yang berhasil membuat pengunjungnya bahagia, itu mungkin itu café favorit Anda dan juga kafe favorit banyak orang lain.  

Jika pemilik café ini kreatif, memiliki empati dan  gairah, dia dapat mengubah tempat itu menjadi tambang emas. Ini adalah elemen yang dibutuhkan untuk menciptakan hubungan manusia yang sempurna. Itulah inti dari membangun hubungan melalui serangkaian interaksi manusia.

Hubungan pelanggan modern tidak hanya butuh digitalisasi, tapi juga perlu elemen emosional yang kuat. Bagian ketiga buku ini menggambarkan saat ketika unsur manusia (melalui emosi) membawa nilai tambah bagi hubungan pelanggan digital. Ada empat bab di buku ini yang melihat peran manusia di dunia digital. 

Yang pertama, menanyakan apakah manusia  masih bisa relevan dalam dunia otomatisasi dan robot. Ketika membaca bab-bab sebelumnya, mungkin  seolah-olah manusia menjadi elemen berlebihan dalam persamaan komersial. Tapi tidak ada yang bisa lebih jauh dari kebenaran. Manusia membentuk dasar dalam menciptakan ikatan emosional antara perusahaan dan pasar (Bab 6).

Belleghem melihat keberhasilan dalam konteks intervensi manusia ini sebagai 'heartketing'. Heartketing menggabungkan sikap positif yang jauh dari ambisi. Heartketing adalah dasar bagi pembentukan hubungan emosional dengan konsumen (Bab 7). Dalam Bab 8, Belleghem membahas secara rinci nilai sentuhan manusia.

Persoalannya, ketika perusahaan berhasil melakukan transformasi digital, seringkali interaksi manusia itu semakin berkurang. Karena itu, jika perusahaan dapat meningkatkan jumlah pelanggan, maka hal itu dapat melibatkan makin banyak unsur manusia dalam proses hubungan pelanggan secara keseluruhan dengan cara yang efisien dan efektif.

Mengutip Profesor Harvard Daniel Gilbert dalam buku larisnya,  Stumbling on Happiness, Belleghem mengatakan bahwa  kebahagiaan jangka panjang tidak tergantung pada pembelian barang atau bahkan tentang pengaturan program baru dalam hidup Anda, tetapi sangat bergantung pada kontak sosialnya dengan orang lain. Jika perusahaan mampu memfasilitasi hubungan orang per orang, ini akan menyuntikkan bentuk baru dan emosi yang kuat dalam hubungan pelanggan.

Dalam buku Emotionomics,  Dan Hill menggambarkan ari penting dari emosi. Inti argumennya adalah bahwa hubungan emosional yang kuat dengan pelanggan mengarahkan perusahaan pada hasil keuangan yang lebih baik. Sementara penelitian Belleghem menunjukkan bahwa 73 persen dari konsumen menginginkan hubungan yang bersifat pribadi, hubungan manusia dengan sebuah perusahaan.