Rabu, 29 Juli 2015

Ada yang Tak Tahu Kalau Merek Mereka Dirasani Konsumen


Pada 15 Desember 2011 silam, saya mengupdate status Facebook dan tweep saya dengan mengatakan “‎Otak-otak bandeng, sambel Bu Rudy.. Kakak ganteng ke Jakarta kembali,” kata Alaric, anak bungsuku..” Tak ada mention ke akun Twitternya Bu Rudi. Namun, beberapa menit kemudian di Twitter saya muncul pesan “@BuRudy: @edhy_aruman jangan lupa.. ta enteni..(saya tunggu, red) “ Yang terjadi di akun saya itu menunjukkan bahwa Bu Rudi – yang akun Twitternya memiliki 1039 – monitor percakapan yang muncul di Twitter dan segera meresponnya.
Selama bertahun-tahun, layanan pelanggan telah sesuatu yang paradoks dalam organisasi. Sejatinya, kata layanan pelanggan sendiri mengilhami sebuah dedikasi untuk membantu orang. Sementara layanan pelanggan sudah menjadi tekad profesional layanan pelanggan di seluruh dunia, tapi di sisi lain layanan pelanggan sebagai item baris dalam akuntansi bisnis telah sering ditempatkan dalam kolom outsourcing tangan organisasi, kualifikasinya di bawah rata-rata. Lihat saja, siapa yang menjadi petugas kebersihan dalam suatu kantor, siapa yang menjadi petugas layan antar, siapa yang bertugas melayani calon pembeli saat mengunjungi pameran, dan sebagainya.
Fenomena lainnya adalah pelayanan dilakukan sendiri dan tanggung jawab seakan di tangan pelanggan secara langsung melalui konsep self-service atau otomatis teknologi. Lihat layanan ticketing di jalamn tol, parkir (kalau Anda misalnya ke Mal Taman Anggrek, Jakarta, perhatikan apakah ada petugas yang menjadi tempat Anda bertanya bila Anda kelupaan lokasi parker atau arah lokasi parker), minimarket dan sebagainya, Tujuan dari semua itu adalah meningkatkan profitabilitas melalui upaya menekan biaya.
Kini di era media sosial, paradigma itu sulit bisa diterima. Kini lahir segmen pelanggan baru yang disebut dengan pelanggan social (social customer). Sejatinya, segmen pelanggan baru ini bukan dampak langsung dari media social, namun karena perubahan karakter dari pelanggan itu sendiri yang mengubah lansekap bisnis. Sebab, seperti kita ketahui, media social sejatinya dibangun untuk interaksi social, untuk keakraban – khususya melalui percakapan. Namun, karena melihat potensi dan pertumbuhannya yang spektakular, konsumen dan para pebisnis meanfaatkannya untuk aktivitas perusahaan, terutama pemasaran.
Ini sekaligus menandai bahwa era pelanggan pasif telah lewat. Saat ini pelanggan social memiliki banyak amunisi berupa kata-kata dan gambar untuk dikomunikasikan ke orang lain. Pelanggan social yang umumnya hyper-connected, kreatif dan kolaboratif, selalu terhubung dengan lingkaran social dan professional melalui telepon, sms, Facebook, Twitter, blog dan forum.
Para pelanggan sosial ini kritis terhadap iklan atau komunikasi yang dibangun oleh merek, lebih bisa dipengaruhi oleh teman, keluarga atau lingkaran social mereka ketimbang oleh perusahaan atau merek. Mereka ingin dan akan berusaha keras memastikan suaranya bahwa suaranya didengar perusahaan atau merek. Yang mereka inginkan adalah perusahaan atau merek menyesuaikan produk-produknya sebagaimana miliknya. Menurut penelitian InboxQ, pada Mei 2011, konsumen lebih suka menggunakan Twitter untuk menanyakan sesuatu kepada suatu merek dari pada menggunakan telepon misalnya. Mereka juga menggunakan media itu untuk mengkritik atau mengeluhkan baik layanan maupun produk merek.
Seperti diketahui, para pengguna Facebook atau Twitter bukan saja perorangan. Banyak perusahaan atau merek yang memanfaatkan Facebook atau Twitter. Mereka ingin berkomuniasi dengan para pelanggannya atau prospek. Realitasnya, yang terjadi adalah kebanyakan komunikasi satu arah. Oktober 2011 lalu, Socialbakers merilis hasil penelitian mereka tentang interaksi pelanggan di Facebook. Mereka menemukan, 95 persen dari jumlah postingan di wall Facebook merek, tidak dijawab.
Simak pengalaman Anda, pernahkah Anda mendapatkan respon kurang dari 30 menit ketika Anda mengeluhkan sesuatu tentang merek melalui Twitter atau Facebook atau media sosial lainnya? Jangankan yang melalui media sosial, yang dikirim ke alamat email yang disediakan saja jarang mendapat respon kurang dari 30 menit misalnya. Apa jadinya bila itu terjadi? Bisa diasumsikan, ketika postingan itu tidak dijawab, akan meninggalkan perasaan negatif pada mereka yang memposting pesan tersebut. Bila mereka memiliki pengalaman negatif, kecenderungannya adalah mereka akan menyebar luaskan perasaannya atas pengalamannya itu.
Selama ini media social sering dianggap hanya sebagai saluran komunikasi. Padahal, makna sebenarnya dari social media adalah membuat sesuatu menjadi lebih social. Sepintas, jejaring sosial hanyalah platform bagi seseorang untuk berhubungan dengan teman, keluarga dan teman sebayanya. Bisnis sendiri tidak secara langsung mendapatkan manfaat dari suatu koneksi social tersebut. Akan tetapi mereka bisa mendapatkan keuntungan setelah mereka menyadari bahwa ketika seseorang mengklik “like” di akun Facebook atau mem- “follow” akun Twitter milik sebuah merek, pada dasarnya bukanlah sekadar komunikasi pemasaran.
Setidaknya ini bisa dibuktikan ketika Juni 2011 silam, ExactTarget mempublikasikan sebuah studi pada pengguna Facebook. Hasilnya, menunjukkan perbedaan antara bagaimana merek dan konsumen menafsirkan suatu kesukaan (liking). Sebagai contoh, ketika Anda mendengar kata “fans”, konotasinya adalah kesetiaan, advokasi, dan passion yang ada di pikiran. Tapi, bagi banyak konsumen, mengklik “Likes” bukanlah suatu kegiatan biasa melainkan suatu refleksi dari suatu bentuk dukungan. Dalam beberapa kasus, gesture ini hanyalah langkah untuk mengambil keuntungan dari sebuah kontes, penawaran atau promosi.
Menurut ExactTarget, hanya 42% dari pengguna Facebook aktif melihat orang menyatakan atau mengklik “Like” sebagai pernyataan kesetiaan atau dukungan mereka. Di sisi lain , 33% tidak setuju dengan interpretasi yang menyamakan “Like” dengan fandom. Sedangkan 25% lainnya ragu-ragu atau tidak cukup yakin dengan apa yang ada dalam pikirannya. Fandom adalah sebuah istilah yang digunakan untuk penggemar yang mengabdikan bagian dari kehidupan mereka untuk mengikuti atau mengagumi orang tertentu, kelompok, atau tim.
Perusahaan memanfaatkan Twitter dan Facebook untuk membangun hubungan baik dengan konsumen mereka. Ketika seseorang memilih untuk memfollow di Twitter atau memilih fans di Facebook, mereka melakukan itu dengan asumsi bahwa dari waktu ke waktu, mereka akan menjadi bagian dari atau mendapatkan pengalaman berharga atau sesuatu yang berharga lainnya, misalnya mendapat keistimewaan dalam pembelian (diskon) dan sebagainya. Setidaknya, mereka merasa ada saluran khusus untuk koplain misalnya. Harapan itu semakin meningkat setiap hari. Setidaknya ketika dia ingin berinteraksi — termasuk komplain atau menanyakan sesuatu misalnya — mendapat respon yang cepat.
Studi lain yang dilakukan menemukan bahwa mayoritas perusahaan juga merespon keluhan atau pertanyaan tersebut. Hanya 29% perusahaan yang memiliki akun di Twitter yang tidak atau jarang meresponnya, sementara hanya 17% perusahaan yang memiliki akun di Facebook melakukan hal yang sama.
Seperti diketahui, pada dasarnya setiap komunikasi yang dilakukan perusahaan, merek, teman atau bahkan pesaing dengan public, menciptakan harapan. Semakin sering berkomunikasi atau menyampaikan pesan melalui status facebook atau Twitter misalnya, pada dasarnya membangun harapan. Harapan itu makin terbangun ketika sebuah merek atau perusahaan memiliki jumlah follower atau fans yang tinggi karena tidak tertutup kemungkinan pesan yang disampaikan merek atau perusahaan tersebut diteruskan ke mereka yang bukan follower atau fans merek tersebut. Jika harapan tersebut terakumulasi terlalu tinggi, kemungkinan besar konsumen kecewa. Ketika mereka kecewa, mereka tidak akan diam tapi meneruskannya ke orang lain.
Dengan demikian, tahun 2012 ini diskusi tentang media social bukan lagi perdebatan tentang usaha mendapatkan atau memperbanyak fans di Facebook atau follower di Twitter, melainkan bagaimana caranya menemukan cara-cara yang kreatif untuk mempertahankan atau memantain mereka. Juga tak lagi memikirkan tweets yang disampaikan kepada mereka. Yang harus dipikirkan adalah “Bagaimana merek menggunakan Twitter untuk membangun interaksi – layanan pelangan – yang positif secara real time?”
Survei yang dilakukan Market Tools – seperti ditulis eMarketer.com (10/11/2011) – menunjukkan masih terdapat perusahaan yang tidak menyadari bahwa produk atau layanan mereka dibicarakan di media sosial. Grafik di bawah memperlihatkan 22% dari responden yang tidak tahu kalau ada konsumen mereka yang komplain di media sosial. 34% dari mereka mengakui memang ada komplain di media sosial, sedangkan 44% sisanya percaya bahwa produk atau layanan mereka tidak dikomplain di media sosial.
Dari perspektif layanan pelanggan — menurut penelitian dari Cone, Inc — ketika datang ke jaringan media sosial, 46 persen dari pelanggan ingin mendapatkan pemecahan masalah dan hampir 40 persen ingin memberi pengecer umpan balik Selain itu, sekitar empat dari lima pelanggan mencari deal-deal khusus.
Ini mengimplikasikan bahwa selain – bila tetap ingin memperbanyak follower atau fans – perusahaan atau merek harus melakukan pemantauan atas pembicaraan yang berlangsung di dua akun social yang cukup dominan tersebut. Dengan media sosial, perusahaan bisa memenangi prospek, pelanggan, dan penggemar mereka melalui interaksi di setiap platform. Sebagai titik interasi perusahaan, layanan pelanggan sangat penting bagi sebuah pemasaran media sosial.
Zappos salah satu contoh yang mempraktekkan itu. Zappos adalah sebuah bisnes e-commerce dengan penjualan US$ 1 miliar yang tahun lalu dibeli Amazon. Zappos terkenal dengan layanan pelanggan yang sangat manusiawi. Setiap pegawai Zappos mendedikasikan dirinya pada layanan pelanggan. Pelanggan merasa sangat nyaman karena selalu bisa bicara dengan kru Zappos, dan bukan dengan mesin.
Saat the Social Media for Customer Care Summit di New York, beberapa tahun lalu, mencuat tiga pertanyaan besar dalam pemanfaatan media social untuk social care (layanan sosial) secara efektif. Pertama, bagaimana mengintegrasikan layanan pelanggan dengan fungsi marketing lainnya secara lebih baik (integration).
Kedua, bagaimana sebuah orgnaisasi bisa mengambil upaya dari satu atau dua organisasi lainnya untuk memperbaiki kesalahan yang pernah dilakukan dalam konteks pemanfaatan media social untuk layanan pelanggan (scalling). Ketiga, bagaimana media sosial digunakan untuk mengurangi posting negatif atau krisis yang dialami suatu merek (ciris communication). lBagaimana menurut Anda?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar