Minggu, 12 Juli 2015

Experiential Marketing dalam Brand Activation


Pernahkah Anda memperhatikan ketika Anda membeli suatu merek produk yang populer, apakah Anda pernah berhenti untuk bertanya pada diri sendiri, bagaimana mereka bisa menjadi begitu dapat dipercaya dan dikagumi? Lalu bagaimana dengan merek produk yang baru diluncurkan? Sudah tentu, suatu produk yang baru diproduksi dan diluncurkan, merek produk hampir tidak dikenal  masyarakat umum.
Ambil contoh Volvo. Ketika mereka mencoba untuk masuk ke pasar mobil AS pada tahun 1962, sedikit sekali orang Amerika yang mengetahui tentang pembuat mobil Swedia ini. Melalui penggunaan saluran pemasaran yang melibatkan konsumen, seperti kampanye iklan yang mengesankan, experiential event, pembicaraan dari mulut ke mulut, dan strategi partisipasi konsumen, Volvo berhasil diterima  konsumen Amerika sebagai sebuah mobil tangguh dan dapat diandalkan. Melalui kampanye brand activation, drive it like you hate it, dalam waktu lima tahun, penjualan Volvo naik tiga kali lipat. Volvo meraih sukses besar.
Sejatinya, brand activation bukanlah hal baru. Sejak marak pemasar berbicara tentang brand, tanpa disasdari mereka melakukan brand activation. Ketika manajemen merek diperkenalkan David A Aaker, pengelola merek sudah mengaplikasikan brand activation.
Menurut Aaker, jika merek atau produk baru Anda ingin cepat dikenali konsumen, maka buatlah merek atau produk Anda bisa diperhatikan dan dikenang. Bagaimana caranya? "Buat berbeda dan istimewa," termasuk cara mengkomunikasikannya.
Nasehat itu disadari benar oleh para marketer. Itu sebabnya, dalam beberapa waktu belakangan ini, muncul berbagai strategi dan taktik komunikasi yang sebenarnya tidak terlalu baru namun kini makin tinggi valuenya. Salah satunya adalah launching product baru dengan menyelenggarakan event besar-besaran. Di Indonesia, hal itu sudah dilakukan sejak belasan tahun lalu.
Ambil contoh yang dilakukan Indosat saat meluncurkan IM3. Acaranya begitu istimewa. Saat peluncuran IM3 misalnya, Indosat melakukan roadshow di setiap kota dan menyelenggarakan event khusus bak pestanya untuk anak muda.
Ericsson-Sony menyelenggarakan XXX Paranoia Party saat meluncurkan HP seri 60 dan bikin heboh. Nokia dengan Gen M Party-nya saat memperkenalkan HP seri 5510.  Atau saat kelompok MRA saat meluncurkan radio barunya, Kosmopolitan FM yang menghadirkan kelompok musik yang kini naik daun saat itu, the Lighthouse Family dan didukung artis lokal lain serta MC kondang dari Hardrock FM.
Saat itu, pesta atau acara spektakuler kini menjadi trend. Memang baru sebatas produk yang disasar untuk anak muda yang launching produknya dilakukan dengan event khusus atau pesta gedhe-gedhean. Kini, brand activation juga dirancang dengan taget audience segala umur. Ketika Sweety menyelenggarakan event Liburan Keluarga Kompak, Mei-Juli lalu misalnya, calon peserta yang dibidik adalah orangtua usia 25-40 tahun dengan nak umur 3 tahun.
Taktik launching produk baru kini memang menemukan warna baru. Jamannya memang sudah berubah. Awal September lalu (8/9), saat meluncurkan pisau cukur dengan merek Rave, OTG selaku pemilik merek mengundang tak kurang dari 80 wartawan dari berbagai media—baik cetak, TV, radio, hingga digital. Venuenya di salah satu cafe di bilangan Jakarta, Sinou Kaffee Housen.
Usai konferensi pers, ruangannya disulap bak ruang Rave Shaving Class. Ruang tersebut sudah dipadati dengan meja-meja yang berisi baskom kecil berisi air, pisau cukur Rave, cermin, dan handuk kecil. Sejumlah wartawan pria dengan wajah plus kumis yang belum sempat dicukur pun, diundang untuk menempati ruang tersebut, untuk kemudian diajak cukur bareng dengan Rave.
Sebelum kegiatan cukur bersama dimulai, narasumber Leo Embo selaku Trainer MAXX Salon by Rudy Hadisuwarno, Head of Corporate and Marketing Communication OTG Yuna Eka Kristina, dan artis Marcello “Ello” Tahitoe selaku brand ambassador Rave, membuka kelas dengan talkshow bertema seputar bercukur: mulai dari tips bercukur yang benar yang disampaikan Leo, pengalaman Ello yang ingin praktis saat bercukur, hingga produk pisau cukur yang praktis dan nyaman untuk para pria. Konsep press gathering Rave Shaving Class, merupakan upaya OTG  memperkenalkan Rave kepada media lewat experiential activity.
Saat ini, merancang brand activation memang harus kreatif dan relevansinya dengan target market harus tinggi. Artinya, idenya segar dan unik. Juga harus menggunakan unsur digital dan mobile. “Itu karena now we are not talking to standing army seperti 10 tahun yang lalu,  we are now talking to moving parade,” kata Uki Utama, President dan CEO Right Hand.
Saat ingin membangkitkan kembali kesadaran masyarakat terhadap pelestarian lingkungan,  Tupperware melancarkan kampanye gerakan green living melalui kegiatan lomba jalan sehat (individu dan kelompok). Lomba diselingi games/activity yang berhubungan dengan WATER (air), aspek pengalaman (experience), edukasi dan informasi yang dikemas menjadi FUN WALK yang heboh. Selama campaign berlangsung menghasilkan pertumbuhan Followers sejumlah  1.003 Followers baru. 
Brand activation merupakan sesuatu yang logis dan tak terelakkan. Sebab era dimana produsen hanya memberitahu konsumen tentang apa yang ada dalam pikiran produsen kini sudah lama hilang. Konsumen sekarang secara mandiri memiliki pendapat sendiri yang dibangun berdasarkan pengalaman mereka berinteraksi dengan merek. Ini menyiratkan fenomena bahwa saat ini ada kebutuhan untuk menghubungkan emosional merek dengan konsumen pada waktu yang tepat, di tempat yang tepat dan dengan cara yang benar, sehingga memotivasi komitmen konsumen.
Namun, hal itu tidak berarti bahwa iklan TV tidak penting. Konsep ini hendaknya dilihat sebagai efek dari perubahan di tingkat konsumen belakangan. Saat ini ada kebutuhan yang meningkat untuk multi-dimensi kampanye dalam rangka untuk membawa merek untuk hidup.
“Konsumen saat ini kurang responsif terhadap media tradisional. Interaksinya dengan teknologi baru telah memberdayakan mereka sehingga mereka bisa mengontrol bagaimana dan kapan (suatu merek, red) dipasarkan….Merek yang tidak mengeksplorasi teknologi dan titik hubungan (connection point) baru akan kehilangan sentuhannya" (Stengel, 2004).
Experiential sering melibatkan unsur sensorik, emosional, kognitif, perilaku dan nilai-nilai relasional yang menggantikan nilai fungsional (Schmitt, 1999, hal 26). Dalam konteks ini, merek bukan hanya merupakan sesuatu yang intangible, namun juga tangible. Seperti diketahui, esensi dari brand activation adalah pengalaman, interaktif, ditargetkan, dan relasional.
Unsur-unsur ini sangat relevan dalam lingkungan pemasaran modern. Interaktivitas merupakan sebuah ekspresi dari apa yang dihasilkan oleh komunikasi. Ini tidak hanya terjadi ketika berlangsung percakapan tatap muka, tetapi juga dapat merujuk kepada interaksi yang dimediasi. Interaktivitas bukan hanya reaksi, melainkan timbal balik, dimana mereka yang terlibat dalam komunikasi dapat berfungsi dan berperan sebagai penerima dan pengirim pesan.
Beberapa riset tentang pemasaran dan konsumen menunjukkan bahwa pengalaman terjadi ketika konsumen mencari produk, saat mereka berbelanja dan menerima layanan, dan ketika mereka mengkonsumsi merek tersebut (Brakus, Schmitt, dan Zhang, 2008).
Dalam konteks produk, pengalaman terjadi ketika konsumen berinteraksi dengan produk, misalnya ketika konsumen mencari dan meneliti produk dan mengevaluasinya (Hoch 2002). Karena itu, pengalaman produk berlangsung ketika terdapat kontak fisik antara konsumen dan produk (Hoch dan Ha, 1986) atau kontak tidak langsung, misalnya ketika produk ditampilkan di iklan (Hoch dan Ha, 1986; Kempf dan Smith 1998).
Ketika konsumen mencari, berbelanja, dan mengkonsumsi merek, mereka dihadapkan pada atribut produk yang hampir mirip kalau tak mau dikatakan sama. Akan tetapi, ketika mereka berhadapan dengan rangsangan warna, bentuk, tipografi, elemen desain, slogan, maskot, dan karakter merek – rangsangan ini muncul sebagai bagian dari desain dan identitas merek (misalnya, nama, logo, signage), kemasan, dan pemasaran (misalnya, iklan, brosur, situs Web) dan di lingkungan di mana merek ini dipasarkan atau dijual (misalnya, toko, peristiwa) – saat itulah tanggapan internal muncul. Tanggapan internal itulah yang disebut dengan brand experience.
Pengalaman juga terjadi ketika konsumen mengkonsumsi dan menggunakan produk. Pengalaman konsumsi ini melibatkan dimensi hedonis, seperti perasaan, fantasi, dan menyenangkan (Holbrook dan Hirschman 1982).  Singkatnya, pengalaman muncul dalam berbagai setting. Pertama, pengalaman yang langsung yang paling terjadi adalah saat konsumen berbelanja, membeli, dan mengkonsumsi produk. Kedua, pengalaman terjadi secara tidak langsung-misalnya, ketika konsumen teterpa periklanan dan pemasaran, termasuk situs web.
Karena itulah brand experience berbeda dengan consumer delight. Pelanggan senang yang ditandai oleh adanya gairah dan sikap positif, bisa dianggap sebagai komponen afektif kepuasan. Dengan kata lain, pelanggan senang merupakan hasil dari disconfirmasi. Sementara itu, pengalaman merek tidak hanya terjadi setelah konsumsi. Experience terjadi ketika terjadi interaksi langsung atau tidak langsung dengan merek. Selain itu, pengalaman merek tidak perlu mengejutkan, namun hal itu bisa terjadi baik diharapkan atau tidak terduga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar