Sabtu, 11 Juli 2015

Marketing Memang Tidak Sepenuhnya Ilmiah


Praktek marketing tidak hanya bisa mengandalkan hal-hal yang bersifat ilmiah. Intuisi kadang-kadang diperlukan. Data dan intuisi itulah yang seringkali membuat agency berhasil.

Tanyakan kepada pemilik atau pengelola merek, apa yang mereka butuhkan dari seorang atau agency – apakah itu public relations, advertising, atau media – jawaban yang tak pernah lepas adalah kreativitas. “Kami akan melihat apakah mereka cukup sensitive dan kreatif,” kata Ira Noviarti, Marketing Manager PT Unilever Indonesia Tbk, lima tahun lalu.

Sepeti diketahui, pemilik dan pengelola merek menghabiskan dana ratusan juta hingga miliaran rupiah pada dasarnya adalah untuk membayar kreativitas para praktisi PR, periklanan, dan agency lainnya. Karena kreativitas itulah program public relations misalnya menjadi unik dan efektif.

Beberapa tahun lalu, saya mengikuti seminar riset komunikasi yang diselenggarakan oleh STIKOM LSPR Jakarta. Peserta dan pemakalah  berasal dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta maupun luar Jakarta. Bahkan ada yang dari Malaysia dan Australia. Puluhan pemakalah menyampaikan hasil risetnya. Mereka dibagi-bagi dalam kelompok berdasarkan minat.

Saya memilih ikut kelompok yang membahas tema public relations. Salah satu pembicaranya – dari Universitas Pelita Harapan – menyampaikan makalah tentang evaluasi public relations. Dia menyebutkan bahwa program public relations selalu diawali dengan riset dan diakhiri dengan riset. Yang pertama untuk mengenali persepsi konsumen awal, dan riset kedua untuk mengetahui hasil dari upaya melalui program PR yang dilaksanakan.

Bila kita mengikuti literatur marketing, kita akan dihadapkan pada pertanyaan sudahkah yang kita lakukan itu berdasarkan data riel di lapangan? Sudahnya data yang kita punyai itu mewakili apa yang sebenarya terjadi di lapangan? Marketers dengan kemampuannya untuk mengidentifikasi kebutuhan tersirat konsumen mengembangkan produk untuk memenuhi kebutuhan tersembunyi itu. Keberhasilan produk memposisikan sebagai produk yang berbeda dan menuhi kebutuhan konsumen sangat dipengaruhi oleh kemampuan tersebut. Sebab kalau hanya sekadar mengandalkan kebutuhan yang nampak – misalnya melalui wawancara – kebutuhan itu juga akan dibaca oleh pemain lain. Mereka juga akan ramai-ramai memenuhi kebutuhan tersebut.

Saat ini misalnya, ada kecenderungan masyarakat untuk hidup lebih sehat. Semua orang tahu itu. Persoalannya, bagaimana mereka hidup sehat dan apa produk yang benar-benar mereka perlukan itu seringkali tak pernah muncul. Mereka mungkin produk sari buah misalnya. Namun, kita tak pernah tahu produk sari buah apa yang benar-benar mereka butuhkan.

Beberapa hari lalu, saya bertemu dengan Bambang Sumaryanto, bekas Direktur P&G Indonesia. Dia bercerita bagaimana P&G membantu para korban bencana alam di Yogyakarta, empat tahun lalu. Menurut Bambang, sebelum menyalurkan bantuan, P&G mengirim suatu Tim untuk mencari informasi bantuan yang sebenarnya dibutuhkan oleh para korban sehari setelah bencana. Pada kunjungan pertama, tim-nya menjumpai dan berdialog dengan para korban. Tim-nya menjumpai sebagian korban tidur dan tinggal di tnpat-tempat terbuka. Karena itu, mereka minta bantuan tenda.

Tenda memang yang paling mereka butuhkan. Namun, Tim P&G memutuskan lain. Mereka akan membangun rumah sederhana triplek, bukan tenda. Kenapa? P&G melihat bahwa yang sebenarnya mereka butuhkan bukan tenda yang hanya bisa membuat mereka berteduh selama hitungan hari. Yang mereka butuhkan adalah rumah yang bisa mereka manfaatkan untuk ”masa” beberapa bulan, waktu yang mereka butuhkan untuk menunggu bantuan dan memperbaiki rumah mereka yang runtuh.

Kedua, P&G memprediksi akan banyak tenda berdatangan. Kenapa? Pada kunjungan pertama, Tim P&G menjumpai bahwa pada setiap pertemuan antara korban da donator lain, sebagian besar koran mengemukakan kepada calon donator yang mereka butuhkan adalah tenda. Karena itu, pada minggu pertama, bantuan tenda berdatangan, sehingga yang terjadi adalah terjadi kelebihan tenda. Banyak tenda yang tidak termanfaatkan. Sementara itu rumah-rumah triplek yang dibangun P&G meski anya pada satu desa atau wilayah, sampai beberapa lama masih dipergunakan oleh korban. 

Belajar dari pengalaman itu, P&G lalu membiasakan diri untuk memberikan sesuatu yang benar-benar menjadi kebutuhan para korban bila terjadi bencana. “Kita kan menerapkan merketing. Mengenali dan memenuhi kebutuhan konsumen yang tidak terungkap,” kata Bambang.

Beberapa tahun lalu, sebuah artikel di McKinsey Quarterly menyebutkan bahwa kunci keberhasilan dalam melakukan branding adalah membangun brand secara lebih scientific. Jika manager dapat mengkombinasian antara kemampuan menerawang masa depan dengan model statistik, mereka dapat membangun brand secara lebih baik dan efisien. Dengan kata lain, lebih banyak data, lebih banyak regresi dan lebih banyak analisis konjoin berarti persoalan branding terpecahkan.

Untuk menarik dan mempertahankan perhatian audiens sasaran misalnya, pemasar menciptakan visual yang menakjubkan, mencitakan kreatif, dan konten yang bercerita. Mereka berpikir di luar apa yang telah dilakukan sebelumnya, dan membangun pengalaman digital yang memungkinkan pengguna untuk terlibat dengan merek dengan menggunakan cara-cara baru.

Pemasar juga memanfaatkan data yang tidak seperti sebelumnya. Dengan alat seperti otomatisasi pemasaran, CRM, dan perangkat lunak content marketing, pemasar memiliki wawasan terhadap konsumen, memantau perilaku konsumen pada setiap tahap pemasaran dan penjualan. Mereka melacak saluran yang lalu lintas informasinya cukup sibuk dan kualitasnya tertinggi, dan jenis konten yang mengilhami tindakan konsumen yang berharga.

Akan tetapi, pengalaman menunjukkan bahwa angka dan model tidak selalu mendukung marketer. Bahkan ada kecenderungan malah melemahkan ambisi marketer. Itulah, marketing memang bukan sekadar ilmu pengetahuan dan praktek marketing tidak hanya bisa mengandalkan hal-hal yang bersifat ilmiah. Intuisi kadang-kadang diperlukan.

Namun, tak ada yang bisa mendebat tentang objectivitas riset. Juga tak ada yang bisa membantah pentingnya riset pasar untuk mengetahui kebutuhan konsumen. Akan tetapi, seperti yang ditulis Tom Hinkes – pemilik sebuah konsultan merek OutBranding di Advertising Age -- brand marketing bukanlah sekadar science. Ia membutuhkan analisis, disiplin dan pendalaman. Bahkan lebih dari itu, marketing membutuhkan intuisi, pengamatan yang tajam dan visi.

Para marketer besar adalah visioner, bukan sekadar penghitung. Mereka berhasil karena berani menantang hal-hal yang konvensional. Kalau Yorrys Sebastian melakukan dan mengikuti mindset periset pasar, dia tidak akan membuat program I like Monday. Betapa tidak, yang kasat mata saat itu adalah banyak orang tidak suka dugem pada Minggu malam. Namun Yorrys – semasih aktif di HardRock Cafe—justru menciptakan acara pada malam Senin.

Dalam bukunya, Oh My Godness Yorrys menulis bahwa untuk menjadi kreatif, orang harus berani bepikir yang tidak biasa. Dalam bahasa Hinkes, mereka melihat jauh melewati horizontal yang nampak, sehingga bisa menciptakan produk yang jauh melampui apa yang konsumen rasakan sebagai kebutuhan. ”Jika Edison melakukan riset pasar sebelum menciptakan lampu pijar, tentu dia lebih suka menciptakan lilin besar karena yang dibutuhkan masyarakat saat itu adalah lilin besar yang bisa nyala lama,” tulis Hinkes.

Demikian pula, jika pemilik Starbuck Howard Schultz melakukan riset pasar, dia pasti meluncurkan produk seperti Pepsi Cola. Bagaimana tidak, pada saat Schultz membuka gerainya yang pertama pada 1987, konsumsi kopi per kapita turun. Sebaliknya, konsumsi minuman bersoda seperti Coca-Cola dan Pepsi naik.

Dari sisi peneliti, mereka tidak pernah merasa ada pertentangan itu. Mereka sadar bahwa riset pasar tidak menjamin suatu usaha atau keputusan berhasil. Akan tetapi, analisis data hasil riset memiliki kemampuan memprediksi, termasuk prediksi peluang kegagalan atau keberhasilan. Pada kondisi ya atau tidak itu, biasanya pemilik atau pengelola merek mengundang agency.  

Para pemilik merek selalu mempersepsikan bahwa di dalam agency terdapat sekumpulan para ahli. Para “tenaga ahli” inilah yang diharapkan membawa pengetahuan, keahlian, pengalaman serta efisiensi yang tidak dimiliki perusahaan ke dalam perusahaan pemilik merek. Para pemilik merek memiliki ekspektasi bahwa para agency ini memiliki kemampuan untuk menemukan solusi dari berbagai masalah bisnis kliennya yang kompleks. Dengan menghemat sejumlah besar uang klien atau merekomendasikan peluang pendapatan yang atraktif, para agency menampilkan fungsi yang nilainya luar biasa.


Saat ini semakin banyak dan berkembang agency-agency baik public relations, media, maupun periklanan. Mereka sangat kreatif, termasuk dalam membaca trend dan memanfaatkan media.Mereka faham bahwa promo melalui periklanan misalnya, kini banyak mendapatkan pesaing. Mereka tahu bahwa kreativitas merupakan selling point mereka. Ini karena mereka sadar bahwa iklan – misalnya – yang efektif biasanya kreatif (Shimp, 2003: 416). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar