Rabu, 29 Juli 2015

Peran CEO dalam Komunikasi Krisis


Tampilnya chief executive officer (CEO) Tony Fernandes saat krisis seakan mengukuhkan pendapat bahwa ketika perusahaan mengalami suatu krisis seorang CEO harus tampil di depan. Namun, situasi ini bukan tanpa risiko.
Selasa (25/03/2014) CEO Malaysia Airlines Ahmad Jauhari Yahya dan Chairman Muhammad Nur Yusuf menggelar jumpa pers soal tragedi pesawat MH370. Saat sesi tanya jawab, mereka diberondong pertanyaan soal bukti tentang jatuhnya pesawat berisi 239 orang tersebut di Samudera Hindia.
Saat sesi tanya jawab, kedua pejabat itu jadi sasaran empuk para wartawan. Banyak yang bertanya soal bukti serpihan dan penyebab kecelakaan, hingga kesediaan dua pejabat itu untuk mundur dari jabatannya.
“Bagaimana Anda bisa menyimpulkan pesawat berakhir di Samudera Hindia, sementara belum ada temuan serpihan apa pun. Apakah cukup hanya berdasarkan analisis data saja?” tanya salah seorang jurnalis.
Baik CEO maupun Chairman MAS tak bisa menjawab secara gamblang. Menurut mereka, proses investigasi masih berjalan. Data dari Inggris harus diterima sebagai sebuah kenyataan, meski pahit untuk keluarga korban. “Kami tidak tahu kenapa, dan kami tidak tahu bagaimana tragedi ini terjadi, tapi keluarga besar Malaysia Airlines kini terus berdoa untuk para penumpang dan kru MH370,” kata Nur Yusuf.
Dalam beberapa literatur, tersirat bahwa peran utama CEO dalam mengatasi krisis organisasi adalah mengatasi problem tersebut. Peran tersebut, selain menetapkan arah bagi organisasi, CEO harus bisa meneguhkan atau mengembalikan kepercayaan stakeholder.
Ketika krisis terjadi, penting bagi setiap CEO untuk hadir. Kehadiran disini bukan hanya dengan pernyataan melainkan juga untuk hadir di tengah kerabat korban untuk menghibur, sering memberikan update yang transparan, dan menawarkan permintaan maaf serta berjanji untuk memberikan kompensasi.
Namun ketika CEO begitu terkait dengan citra perusahaan sebagaimana Fernandes, sangat penting bagi seorang pemimpin untuk tampil di depan dan hadir di-tengah keluarga korban. Jika seorang eksekutif memupuk dirinya sebagai bagian dari citra merek ketika dalam situasi yang tidak krisis, ada sebuah kekosongan yang lebih besar jika dia tidak hadir di saat yang buruk. Sejauh ini, Fernandes tampaknya memahami tanggung jawab yang kini makin tinggi itu.
Boin et al. (2005) menyebutkan lima tugas penting kepemimpinan yang harus dilakukan CEO saat krisis; yakni membangun sense of crisis, mengambil keputusan untuk menangani krisis, mem-framing dan membangun serta menyampaikan arti penting krisis kepada pemangku kepentingan, mengakhiri krisis untuk mengembalikan organisasi ke situasi normal, serta mengarahkan organisasi untuk belajar dari krisis yang telah terjadi.
Selain itu, salah satu peran eksplisit yang harus dijalankan CEO adalah penegasan kepemimpinan dengan mengasumsikan perannya sebagai juru bicara organisasi (Englehardt et al, 2004;. Littlefield dan Quenette, 2007; Mintzberg, 1998; Nadler, 2006; Petersen dan Martin, 1996).
Seorang CEO harus terlihat. Ini untuk mengukuhkan arti penting krisis bagi organisasi dan menghilangkan setiap gagasan bahwa organisasi mungkin mengingkari tanggung jawabnya kepada para pemangku kepentingan (Ulmer et al., 2007).
Ketika krisis, perusahaan atau rganisasi harus segera mengidentifikasi dan menunjuk satu juru bicara kunci untuk memastikan bahwa organisasi berbicara dengan satu suara. Menetapkan beberapa juru bicara akan membuat perbaikan citra lebih tersebar dan ambigu (Barrett: 2005). Sementara kredibilitas CEO sebagai juru bicara organisasi tidak diragukan lagi, yang belum jelas adalah pada kapan seorang CEO harus tampil.
Seperti dimaklumi, perkembangan internet dan media sosial telah mengubah tantangan yang dihadapi para manajer. Bila internet adalah sebuah langkah evolusi penting dalam komunikasi krisis, bukan revolusi, media sosial berhasil mengubahnya menjadi revolusi. Bila saat awal perkembangan internet manajer krisis masih menghadapi kebutuhan yang sama untuk mengidentifikasi tanda-tanda peringatan, menghadapi tuntutan komunikasi dasar yang sama, menggunakan konsep yang sama, dan harus memberlakukan respon strategis yang efektif, kini berubah total.
Manajer krisis perlu mengidentifikasi tanda-tanda peringatan secepat perkembangan isu sendiri. Di era media sosial, isu berkembang secepat hitungan jarum detik jam. Karena itu untuk mencegah krisis dan/atau membatasi kerusakan dari krisis yang muncul, dalam kondisi tertentu, langkah cepat harus diambil.
Era media sosial telah mengubah cara bagaimana informasi dikumpulkan dan, dalam beberapa kasus bagaimana informasi diproses. Manajer krisis dihadapkan dengan permintaan untuk membuat respon yang cepat dan akurat.
Dalam situasi tersebut, para pakar manajemen krisis menyarankan bahwa perusahaan atau organisasi harus membangun jejaring online yang kuat dan mengidentifikasi serta memilih juru bicara online sebelum krisis berlangsung (Whaling, 2011).
Juru bicara tersebut, disiapkan untuk menghadapi krisis dan dia bertindak mewakili perusahaan atau organisasi selama krisis masih dianggap berlangsung dan bertanggung jawab untuk menyampaikan pesan secara cepat dan akurat baik kepada public atau internal perusahaan.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa juru bicara yang kredibel sangat menentukan keberhasilan manajemen krisis (Barret, 2005; Coombs, 2007). Pertanyaannya sekarang adalah siapa yang harus menjadi jurubiacara tersebut? Berikut adalah tiga argumen umum dan apa yang harus Anda pertimbangkan.
Argumen pertama adalah bahwa yang menjadi juru bicara haruslah CEO. Kenapa? CEO adalah salah seorang atau satu-satunya suara yang tidak ingin perusahaannya gagal. Dalam suatu krisis, CEO harus mengelola krisis dan mengelola operasi bisnis.
Peran yang diharapkan dari CEO tersebut krusial terutama pada jam-jam pertama dari krisis, ketika hampir semua orang ingin mendapatkan informasi. Dalam krisis yang parah yang melibatkan jatuhnya korban cidera atau kematian, CEO menjadi bisa menjadi cerminan kasih sayang organisasi. Bahkan kemudian, CEO sebagai juru bicara mungkin dalam beberapa jam ke krisis.
Persoalannya adalah pada satu jam pertama krisis, ketika sebuah pernyataan harus dibuat, CEO sering sibuk dengan isu lain. Misalnya urusan internal, administrasi dengan pemerintah dan sebagainya. Kedua, jika seorang CEO salah berbicara di awal krisis, dia kehilangan kredibilitas dan merusak reputasi organisasi. Bila itu terjadi, perusahaan sulit mencari pengganti sebagai jurubicara karena bila sang CEO tetap menjadi jurubicara, public sudah tidak mempercayainya lagi.
Akan menjadi persoalan bila penggantinya adalah orang yang memiliki posisi lebih rendah. Disini publik akan makin tidak percaya, karena dalam bayangan mereka, bila CEOnya saja salah memberikan informasi apalagi pejabat di level di bawahnya.
Ini beda dengan bila yang berbicara di awal adalah orang lain. Bila salah ngomong di awal krisis misalnya, orang tersebut bisa digantikan CEO yang masuk untuk mengklarifikasi fakta, sehingga bisa membangun kesan bahwa dialah sosok pahlawannya.
Baiknya adalah Argumen keda adalah bahwa yang menjadi jurubicara sebaiknya adalah public relations. PR merupakan pilihan yang sangat baik sebagai wakil pada jam pertama dari krisis ketika wartawan datang pada awal-awal krisis. Namun, disini PR tidak harus menjadi suara tunggal seluruh krisis. Disini PR harus menjadi anggota dari tim manajemen krisis dan harus memimpin tim komunikasi krisis.
Karena perannya sebagai penyampai pernyataan pertama tentang krisis, dia harus tetap berada di koridor rencana komunikasi krisis. Namun demikian, karena beberapa fakta yang dia diketahui, memungkinkan PR untuk memberikan fakta-fakta dasar, mengatakan sesuatu yg boleh disebut, sementara menjanjikan informasi lebih lanjut pada briefing di selanjutnya.
Argumen ketiga adalah yang menjadi jurubicara haruslah beberapa orang. Pertibangannya adalah pada jam-jam pertama krisis, orang atau public membutuhkan informasi dasar, misalnya peristiwanya kapan terjadi dan sebagainya. Namun, di jam-jam berikutnya yangmenyangkut perkembangan dari penyelidikan krisis misalnya, biasanya menyangkut hal-hal yang sifatnya teknis. Disini tentu membutuhkan jurubicara yang faham mengenai hal teknis tersebut.
Bila itu dilakukan maka perusahaan – dalam konteks perencanaan komunukasi krisis – harus melatih banyak orang untuk siap menjadi jurubicara. Kedua, selama pelatihan — perusahaan harus melakukan seleksi sebab ibarat tim olahraga, perusahaan memiliki banyak bintang serta orang-orang yang kuat di bangku cadangan yang siap untuk bermain bila diperlukan. Pelatihan, terutama media handling — membantu mengidentifikasi pemain bintang dan pemain sekunder.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar