Minggu, 12 Juli 2015

Saatnya Menggarap Serius Employee Branding



Hari-hari ini banyak sekali perubahan. Coba disimak. Saat ini Indonesia menempati posisi kedua di dunia sebagai negara yang memiliki tingkat aktivitas periklanan tertinggi. Orang Indonesia menonton televisi rata-rata 3,5 jam per hari, dan dalam kurun waktu tersebut, tak kurang dari 150 iklan telah mereka lihat. Bila Anda hitung, saat ini ada 60 iklan baru yang dipublikasikan setiap hari. Itu data Kadence International yang dimuat Majalah MIX, April 2013 lalu.

Sampai tahun lalu kita terkesimah dengan kehadiran media sosial. Tak banyak yang menggunakannya. Kini penggunanya melonjal luar biasa.  Yang sudah menggunakan interaksinya semakin canggih. Lewatlah sudah hari-hari ketika orang sekadar memiliki dan merasa kehadiran di media sosial sudah cukup.

Bila Anda pemasar, Anda merasakan bahwa saat ini hanya pesan-pesan yang cerdas dan paling pribadi yang bisa menjangkau konsumen Anda. Ini karena bertubi-tubinya pesan yang masuk ke konsumen sehingga mereka menjadi kebingungan. Lewatlah sudah hari-hari panggilan dingin melalui telepon dan e-mail. Lewatlah sudah hari-hari iklan banner. Tak perlu Anda katakana bahwa pelanggan potensial jkini tidak ingin lagi mendengar satu pesan terselubung. Mereka ingin pesan dirancang khusus bagi mereka, dan mereka ingin mendengar dari seseorang yang dapat mereka percayai.

Pembeli saat ini memiliki harapan yang lebih tinggi dari sebelumnya. Tapi bagaimana Anda dapat merancang pesan pribadi secara skala individual? Bagaimana Anda bisa membangun kepercayaan dengan pelanggan potensial Anda saat ini? Bagaimana Anda membuat mereka terlibat dengan konten Anda?

Di situlah employee marketer datang. Saat ini makin banyak perusahaan yang memberdayakan karyawan mereka untuk bertindak sebagai pemasar di media sosial. Berbagi pesan pemasaran, meningkatkan keterlibatan, dan untuk mendorong penjualan. Biasanya, jenis pemasaran disebut "employee advicacy" pemasaran.

Sebelum internet, pemasaran memfokuskan pada upaya membangun kesadaran merek. Mereka juga mengirimkan pesan-pesan promosi penjualan yang sama kepada orang sebanyak mungkin. Pemasar juga menempatkan iklan iklan di media cetak atau elektronik dan publikasi. Jika mereka tidak mampu beriklan, mereka mencoba untuk memunculkan nama perusahaan mereka di artikel dan ulasan produk. Mereka menghadiri pameran dagang. Mereka memasang billboard.

Pada saat itu, daya beli konsumen seakan diatur oleh penjual. Pembeli memiliki informasi terbatas tentang vendor, dan untuk mengetahui informasi lebih lanjut, mereka harus berinteraksi dengan perusahaan melalui penjual dan staf layanan.

Kemudian masuk era internet. Kehadiran mesin pencari Google pada tahun 1998, mengubah semuanya, termasuk peran pembeli. Pelanggan potensial bisa mencari dan menemukan informasi tentang vendor melalui  Google. Mereka mulai lebih mengontrol proses pembelian yang akan mereka lakukan. Pada gilirannya, kepercayaan mereka kepada penjual mulai bergoyang. Organisasi penjualanpun berubah.  Pemasaran juga mulai berubah. Perusahaan B2B mulai fokus pada optimasi mesin pencari (SEO), membayar biaya iklan berdasarkan jumlah klik (PPC) iklan, dan pemasaran e-mail untuk mengarahkan lalu lintas ke situs mereka.

Segera setelah itu, situs jejaring sosial seperti LinkedIn (2003), Facebook (2004), dan Twitter (2006) muncul. Pemasar melihat itu kesempatan. Mereka bisa menggeser pemasaran mereka dari model perusahaan-ke-pembeli untuk mempengaruh model yang peer-to-peer. Secara cepat, media sosial berlalu  dari menjadi "bagus-untuk-memiliki" ke  "harus-memiliki," terutama bagi pemasar B2B. Ini karena menurut Forrester, 100% dari B2B pengambil keputusan menggunakan media sosial untuk tujuan profesional.

Media sosial menyajikan banyak peluang bagi perusahaan, sekaligus juga menyajikan banyak tantangan. Pertama, isi yang meluap. Menurut Laporan Social Media Marketing Industry, 97% dari pemasar menggunakan media sosial. Dengan demikian, saat ini begitu banyak pemasar sosial. Bayangkan berapa banyak pesan membombardir pembeli setiap menit setiap hari. Studi yang dilakukan Domo menunjukkan bahwa setiap menit ada 277.000 tweet. Pengguna Facebook meng-upload 2.460.000 lembar konten, dan pengguna YouTube mengunggah 72 jam video baru. Pertanyaannya, dalam sirausi seperti itu, bagaimana Anda menjadi menonjol?

Tantangan kedua adalah bahwa saat ini beberapa media sosial mewajibkan pembayaran berdasarkan besarnya jumlah calon pembeli yang bisa dijangkau. Dalam dunia pemasaran media sosial, bukan rahasia bahwa jangkauan organik tak sebanyak sebelum-sebelumnya. Jumlah pengguna yang bisa dijangkau jatuh. Saat ini, pemasar media sosial hanya bisa menjangkau sekarang 2% hingga 6%  fans organic mereka (Forrester).

Untuk menjangkau lebih banyak orang, pemasar harus membayar atau beriklan di situs-situs seperti Facebook, LinkedIn, dan Twitter. Di AS, pengeluaran iklan di media sosial pada 2014 diperkirakan mencapai $ 8,5 miliar.  Business Insider memperkirakan bisa mencapai $ 14 miliar pada 2018. Dengan kata lain, hanya perusahaan atau merek yang berani membayar lebih mahal yang bisa menjangkau lebih banyak calon pembeli.

Tantangan ketiga adalah menurunnya kepercayaan. Jika Anda berencana untuk menjangkau khalayak Anda melalui iklan, Anda memiliki masalah. Bukan hanya masalah finansial, melainkan pembeli saat ini semakin cerdas. Mereka mengetahui iklan ketika mereka melihat sebuah iklan dan mereka tidak selalu menyukainya.  Nielsen menemukan, hanya 48% orang yang mempercayai iklan di media sosial. Orang masih lebih percaya iklan di koran dan majalah dari pada iklan di situs jejaring sosial. Bahkan mereka lebih mempercayai iklan di radio. Jadi, apa gunanya menghabiskan uang dalam jumlah besar untuk iklan media sosial jika hanya beberapa orang yang mempercayai iklan Anda?

Kini saatnya Anda memberdayakan karyawan Anda untuk bertindak sebagai pemasar untuk perusahaan atau merek Anda. Bila Anda lakukan, berarti Anda dapat mengatasi banyak tantangan media sosial yang dihadapi perusahaan . Inilah saatnya employee advocacy bekerja.

Kenapa? Ada tiga keunggalan employee advocacy. Pertama, karyawan sekarang memiiki meida sosial dengan pengikut organic yang besar. Ini berarti karyawan Anda dapat menjangkau lebih banyak orang daripada merek Anda sendiri. Menurut Pew Research Center, orang Amerika kini rata-rata memiliki 634 koneksi (friends, folowers dan sebagainya) di media sosial. Jika Anda memiliki 100 employee advocacy perusahaan Anda, Anda dapat mencapai 63.400 orang. Jika Anda memiliki 500 employee advocacy untuk perusahaan Anda, Anda dapat mencapai 317.000 orang. Jika Anda memiliki 1.000 employee advocacy untuk perusahaan Anda, Anda dapat mencapai 634.000 orang, dan seterusnya.

Yang menarik, hampir semua koneksi karyawan tadi itu baru bagi perusahaan atau merek. Dell misalnya mendapati bahwa 90% dari audiense media sosial karyawannya baru bagi Dell. Jadi, bila ada 1.000 karyawan, dengan 634.000 pengikut, itu berarti ada 570.600 orang yang baru mengenal perusahaan Anda, dan Anda dapat mencapai mereka tanpa menghabiskan uang untuk iklan.

Keunggulan kedua adalah interaksi human-to-human yang otentik. Soal ini menyangkur masalah kecanggungan berbicara melalui media sosial di lingkungan perusahaan.  Mereka memang memiliki kepribadian, tetapi kepribadian mereka bisa diciptakan. Account media sosial milik perusahaan tidak memiliki nama atau wajah, dan dalam banyak kasus, pesan-pesan yang mereka sampaikan berlangsung  secara otomatis.

Dengan memberdayakan karyawan Anda untuk aktif di media sosial, Anda menghapus lapisan kecanggungan, dan Anda menggantinya dengan lapisan keaslian. Pembeli potensial Anda dapat berinteraksi dengan daging-dan-darah manusia yang sebenarnya ada di balik perusahaan. Percaya atau tidak, pembeli menghargai jenis interaksi seperti ini.

Keunggulan ketiga, kepercayaan yang senyatanya. Konsumen mempercayai rekomendasi dari teman-teman, anggota keluarga, dan rekan-rekan mereka. Sementara hanya 48% dari orang-orang yang percaya pada iklan di media sosial, 84% dari orang mempercayai rekomendasi dari orang yang mereka kenal (Nielsen).

Jika Anda tidak mendorong karyawan Anda untuk bertindak sebagai pemasar di media sosial, Anda kehilangan kesempatan yang luar biasa. Dengan terus berkembangnya hubungan mereka, dengan menunjukkan keahlian dalam bidang mereka, dan dengan mendorong mereka berbicara tentang produk dan jasa Anda, karyawan Anda membangun hubungan dengan pembeli potensial.
Juga, karena karyawan Anda memiliki koneksi dengan para pengikutnya, mereka dapat menyampaikan pesan pribadi kepada pembeli potensial. Pesan itu akan beresonansi dengan prospek individu. Dan, pada gilirannya, karyawan Anda membantu pelanggan masa depan di sepanjang perjalanan pembelian mereka.

Jadi sekaranglah saat Anda melakukan employee branding.  Berbeda dengan employer branding, employee branding merupakan upaya membentuk perilaku karyawan sehingga mereka  memproyeksikan identitas merek produk atau organisasi mereka melalui perilaku bekerja sehari-hari mereka.

Employer branding adalah proses mempromosikan sebuah perusahaan -- atau organisasi -- sebagai perusahaan pilihan untuk kelompok sasaran yang diinginkan, yakni mereka yang dibutuhkan, ingin direkrut dan dipertahankan sebagai karyawan perusahaan. Proses ini memfasilitasi kemampuan perusahaan dalam menarik, merekrut dan mempertahankan karyawan yang ideal atau yang disebut sebagai top talent – segmen tenaga kerja yang akan direkrut dan diharapkan membantu mengamankan pencapaian rencana bisnis perusahaan.

Sementara itu employee branding dimaksudkan untuk mendorong karyawan mengidentifikan dirinya dengan merek, atau koneksi psikologis antara karyawan. Dengan kata lain, employee branding merupakan proses dimana karyawan menginternalisasi citra merek yang diinginkan dan termotivasi untuk memproyeksikan citra tersebut kepada pelanggan dan konstituen organisasi lain (Miles dan Mangold 2004 p. 68).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar