Minggu, 16 Agustus 2015

Bagaimana Perusahaan Tradisional Harus Bersaing dengan Bisnis Sharing Economy?


Dunia dan bentangan bisnis saat ini memang masuk ke era perubahan dengan keceatan yang luar biasa. Rentang periode keberhasilan perusahaan telah mengalami beberapa kali pemendekan rentang waktunya. Selama tahun 1980, di Fortune 500 hampir secara eksklusif diisi oleh perusahaan-perusahaan yang telah masuk dalam daftar itu selama 35 tahun. Saat ini, perusahaan yang masuk di klub eksklusif ini rata-rata 15 tahun. Sekarang, hampir 40 persen daftar itu diisi oleh perusahaan yang 20 tahun lalu hampir tidak pernah terdengar.

Perubahan memang membawa bisnis masuk ke bidang persaingan baru. Pasar berkembang lebih cepat dan mengarah pada penciptaan lapangan baru kompetisi. Bentuk yang paling berbahaya dari persaingan  tidak lagi berasal dari dalam pasar Anda sendiri. Sebaliknya, pesaing sering datang dari arah yang Anda tidak menduganya. Lihat saja di pasar keuangan. Sampai dua tiga tahun lalu, semua bank melakukan kurang lebih hal yang sama. Mereka masing-masing memberikan penawaran kepada pelanggan yang sebanding. Kadang-kadang, ada bank yang mungkin memperkenalkan inovasi atau reposisi kecil. Tapi kejutan nyata hanya sedikit dan jauh dari nyata. Namun, kini berubah.

Perusahaan tradisional sekarang menghadapi peasing baru yang muncul dari bisnis startups "sharing economy." Perusahaan-perusahaan baru tersebut berplatform Web yang menyatukan individu-individu yang selama itu tidak memanfaatkan asetnya secara optimal dengan orang-orang yang ingin menyewa aset mereka dalam jangka pendek. Aset ditargetkan oleh startups ini berkisar dari waktu luang untuk tugas-tugas sehari-hari (TaskRabbit, Fiverr), waktu luang dan mobil untuk mengantar orang lain di sekitarnya (Uber, Lyft), kamar tambahan (Airbnb, Alii, Roomba) dan alat-alat dan barang-barang rumah tangga lainnya yang cuma kadang-kadang digunakan (Streetbank, Snap-Barang / simplist).

Di beberaa kota di Indonesia ada GOJEK, Uber-Taxi, GrabTaxi, GrabBike dan bisnis sharing economy lainnya begitu populer. Kehadiran bisnis dengan aplikasi-aplikasi mobile "sharing economy" tersebut menurut beberapa ahli semakin menggoyahkan sekaligus mengubah model bisnis industri pelayanan tradisional. Meskipun di awal kemunculannya, banyak orang yang skeptis pada keberhasilan perusahaan bermodel bisnis semacam ini, namun saat ini sulit rasanya untuk tidak mengakui keberadaan mereka.

Menurut perkiraan, saat ini ada lebih dari 9.000 perusahaan menerapkan model bisnis sharing economy, mulai dari perusahaan peminjaman uang bersifat peer-to-peer hingga pengiriman barang. Nilai ekonomi yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan ini juga tidak main-main, PwC memperkirakan bahwa mereka dapat memperoleh lebih dari US $ 335 milyar di tahun 2015.

Menurut Josh Goldman, Global Leader for Shopping Measurement di Nielsen, “perusahaan-perusahaan ini telah membangun nilai ekonomi baru serta mengacaukan para pemain industri.” Sementara itu, Lisa Gansk, penulis buku The Mesh: Why the Future of Businesses is Sharing juga sependapat. “Akan ada perubahan masif yang terjadi, dan saya percaya bahwa semua industri akan atau telah terkena dampaknya”.

Ingin bukti? Di San Fransisco, kehadiran Uber telah membuat perusahaan taksi mengalami penurunan jumlah penumpang hingga 65 persen. Kehadiran Airbnb yang menawarkan alternatif akomodasi bagi para pelancong pun telah membuat pendapatan industri hotel menurun. Menurut temuan peneliti dari Universitas Boston, setiap 10 persen kenaikan permintaan Airbnb di Texas menyebabkan penurunan pendapatan bulanan hotel sebesar 0.35 persen.

Bahkan, saat ini semakin banyak hotel yang terpaksa memangkas harga sewa per malamnya guna menarik minat pelancong. “Orang-orang tertarik pada model peer-to-peer ini karena faktor ekonomi, lingkungan, gaya hidup, serta alasan personal,” ungkap James McClure, GM Airbnb untuk kawasan UK & Ireland. Sharing economy telah membuat konsumen sadar akan pilihan-pilihan yang belum pernah terpikir sebelumnya.

Lalu bagaimana perusahaan tradisional menghadapi gelombang pesaing baru ini?  Salah satu keberhasilan yang luar biasa dari bisnis ini adalah kemampuan teknologi yang bisa memecah regulasi yang menjadi hambatan masuk ke bisnis taksi misalnya. Kebanyakan kota, misalnya, membatasi jumlah taksi yang bisa beroperasi. Akibatnya, harga seringkali – terutama dalam persesi masyarakat - lebih tinggi daripada yang disebutkan atau permintaan taksi yang tidak bisa dienuhi, terutama saat jamjam sibuk. Di New York misalnya, kurangnya pasokan relatif terhadap permintaan memunculkan jual beli izin taksi yang harganya bisa mencapai lebih dari $ 1 juta pada 2013. Tahun ini, harga itu anjlok hingga sekitar 25 persen sebagai tanggapan atas adanya jasa taxi-sharing.

Sementara konsumen berbondong-bondong ke layanan baru, hotel dan taksi perusahaan tradisional berbondong-bondong ke regulator dan politisi berharap untuk memblokir ini competitors. Banyak regulator bersimpati kepada klaim mereka. Beberapa kota dan negara bahkan telah melarang layanan ini. Namun, permintaan layanan ini telah begitu kuat sehingga mereka kewalahan mengatasi banyak permusuhan ini (dengan pengecualian, tentu saja, seperti Perancis dan Las Vegas).

Kesuksesan perusahaan-perusahaan ini diwarnai pula oleh kontroversi. Lihat saja, berapa banyak protes dan boikot terhadap keberadaan Uber yang dilancarkan oleh beberapa negara, atau perdebatan mengenai Airbnb dan operator hotel ilegal lainnya yang disinyalir membuat krisis rumah murah di beberapa negara. Di beberapa kota di Indonesia, GOJEK mendapatkan tentang dari lingkungan. 

Banyak negara yang berencana untuk memperkuat regulasi serta meningkatkan pajak untuk mengerem pertumbuhan perusahaan bermodal bisnis sharing economy. Namun rencana ini sama saja mempersulit keberadaan sharing economy yang memang didesain untuk memangkas harga serta menjauhkan konsumen dari pihak otoritas yang teralu ikut campur. Namun terlepas dari apapun kebijakan yang ditetapkan, pemerintah perlu menyadari bahwa perusahaan ini turut membantu menggerakkan roda perekonomian di negara mereka.

Dalam kolom Salon, Mr. Reich melihat tantangan dalam "mengalokasikan ... keuntungan dari pekerja yang lebih sopan." Dia mengatakan dalam pekerja "on-demand" sharing economy, dasar beroperasinya mirip dengan kondisi pekerja abad kesembilan belas. Saat itu para pekerja tidak memiliki kekuatan dan hak-hak hukum, menerima semua risiko, dan bekerja sepanjang jam untuk sesuatu yang hampir dia  tidak dapatkan. "Sebagian besar pendapatan diambil perusahaan yang memiliki perangkat lunak. Sisanya pergi ke pekerja on-demand," tulisnya.

Ketika perusahaan tradisional harus bersaing dengan mereka, pertanyaan pertama yang harus dicari jawabannya adalah  "Apa yang membuat perusahaan seperti Airbnb dan Uber begitu populer dengan pelanggan?" Berhenti mengeluh karena kemunculan pesaing baru akan menjadi langkah pertama yang baik. Sebaliknya, industri tradisional memperkuat diri dan tidak merengek meminta GO-JEK dan sebagainya menghentikan kegiatannya.

Seperti dimaklumi, dalam konteks komunikasi pemasaran, setiap produk atau merek memiliki pasar sendiri. Sekarang, cermati hal-hal yang membuat perusahaan seperti Airbnb dan Uber begitu populer di kalangan pelanggan. Kecepatan dan harga yang lebih murah. Strategi bersaing yang mungkin disarankan adalah dengan kolaborasi atau memadukan antara lain dengan berkolaborasi bisnis diantara bisnis tradisional. Itu yang antara lain dilakukan GrabTaxi. Kelemahannya GrabTaxi adalah word of mouth marketingnya nya yang kurang terkelola dengan baik. Demikian ula dengan GrabBikenya, promosinya masih jauh di bawah aktivitas GoJek.

Tahun 2012 lalu, agency periklanan di Minneapolis, Campbell Mithun, bermitra dengan Biro Riset Carbonview melakukan penelitian untuk mengukur respon konsumen terhadap konsep sharing economy. Hasil penelitian tersebut memberikan gambaran, benefit utama yang dirasakan penggunanya adalah personal value. Dalam konteks ini, ketika menggunakan jasa bisnis sharing economy pelanggan merasa di”orang”kan. Ini karena meski pemesanan dilakukan melalui gadjet misalnya, namun jasa sesungguhnya yang mereka nikmati benar-benar privat. 

Persoalannya adalah tidak ada jaminan bahwa layanan yang mereka terima bisa diandalkan. Artinya, karena jasa tersebut sebenarnya diberikan oleh orang yang menyewakan rumah misalnya, karena setiap orang bisa menyewakan rumah tak jaminan bahwa level kualitas layanannya sama.      

Manfaat yang paling – urutan kedua -- dirasakan oleh pelanggan adalah lebih bersifat rasional. Tidak mengherankan bila "lebih hemat" menduduki puncak daftar manfaat rasional. Dengan kata lain, pelanggan ingin membayar lebih sedikit tetapi mendapatkan lebih besar. Tetapi ketika disinggung soal manfaat emosional dari penghematan itu, responden mengatakan  bahwa dengan berhemat mereka "kemurahan hati kepada diri sendiri dan orang lain." Jadi dalam berbisnis model sharing economy, pemasar merek juga harus memberikan nilai dengan makna pribadi, dan disini tergantung pada konsumen.

Juni lalu, untuk menghadapi persaingan dari bisnis sharing economy, semetara jaringan hotel lain merayu generasi milenium dengan desain trendi, Hyatt Hotel Corp menginvestasikan jutaan dolar untuk perusahaan yang bergerak dalam bisnis sewa rumah tinggal mewah, Onefinestay. Jaringan hotel yang berbasis di London menawarkan penyewaan properti jangka pendek di London, Los Angeles, Paris, dan London mulai harga dari $ 140 sampai lebih dari $ 1.520 per malam.

Terdapat beberapa alternative yang bisa digunakan hotel agar  bisa bersaing. Misalnya dengan memberikan layanan yang kualitasnya konsisten, mengadakan event besar, dan membangun loyalitas pribadi. Dalam hal biaya, seperti diketahui sharing economy memang menawarkan harga yang lebih murah. Karena itu bisnis tradisional bisa bersaing dengan menawarkan pilihan beragam harga dengan kisaran perbedaan yang layak.

Dalam kasus Uber, diferensiasi tidak begitu mudah, meskipun bisa dilihat bahwa pengiriman on-demand dapat dan akan dilaksanakan untuk layanan perjalanan konvensional. Singkatnya, perusahaan konvensional dapat meniru aspek yang disebut sharing economy yang didukung oleh keuntungan yang tidak sedikit dari sebuah organisasi dan merek global.

Yang juga perlu dicatat, pada dasarnya layanan taksi diatur dengan maksud untuk memberikan layanan pengangkutan umum secara universal, seperti juga penginapan hotel. Dengan tidak diaturnya layanan "peer-to-peer", layanan yang diskriminatif dan / atau penyalahgunaan pelanggan - dan Uber telah menciptakan mode baru diskriminasi dan pelecehan - pasti akan memunculkan ketidakpuasan pelanggan.

Sebuah model bisnis berdasarkan "efek jaringan" bisa tumbuh cepat, tetapi juga dapat mengecilkan dengan cepat. Implikasinya, karena membangun bisnis startus reatif lebih mudah, yang bakal terjadi adalah jual beli bisnis ini. Karena itu, beberapa orang menyarankanm, cara untuk mengatasi persaingan adalah dengan membeli perusahaan startups pesaig tadi. Tidak ada alasan mengapa Airbnb tidak bisa dibeli oleh sebuah jaringan hotel. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar