Sabtu, 15 Agustus 2015

Sharing Economy dan Crowd Economy



Bisnis berbasis sharing economy berkembang pesat. Namun realitasnya, sharing economy juga memunculkan sikap negatif. Bagaimana dengan crowd economy?

Dalam beberapa tahun terakhir, bisnis sharing economy menunjukkan perkembangan yang cepat. PricewaterhouseCoopers memperkirakan nilai transkasi bisnis ini  mencapai $ 335 miliar pada 2025. Lonjakan yang luar biasa karena saat ini “baru” mencaai $ 15 miliar.
Namun ada temuan yang menarik dari hasil survei yang dilakukan First Advantage. Data temuan hasil survey itu menunjukkan hampir 86 persen orang Amerika akan  berpartisipasi dalam sharing economy jika penyedia transparan. Artinya, konsumen sangat antusias menggunakan jasa bisnis ini, namun dengan syarat ada kejujuran engelola sehingga konsumen percaya.

Dengan kata lain, bisnis ini tidak akan berkembang jika konsumen skeptis terhadap kondisi aturan main para penyedia jasa yang dibutuhkannya, apakah mereka bermain sesuai aturan, dan transkasinya mulai dari booking hingga sistem pembayarannya aman. Sebab seperti diketahui, dalam bisnis ini, transaski mulai dari pemesan hingga pembayaran dilakukan dengan sistem online. Ini dapat dilihat dari hasil survey Advantage dimana dikatakan bahwa untuk jasa peer-to-peer lending lebih dari 80 persen resonden mengatakan bahwa bisnis ini membutuhkan sistem keamanan tambahan. Hanya 11 persen yang mengatakan tidak ada pemeriksaan tambahan atau langkah-langkah keamanan yang diperlukan untuk setiap jenis layanan.

Temuan lainnya, di antara responden yang akrab dengan sharing economy, orang-orang yang usianya  lebih muda lebih mungkin untuk berpartisipasi di dalamnya. Mereka yang berusia 18-44, 85 persen mengatakan bahwa mereka telah menggunakan layanan sharing economy, sementara mereka yang berusia 45-68, hanya 15 persen menjawab dengan tegas.

Namun demikian, jarang ditemui bahwa penyedia jasa ini jarang promosi melalui iklan. Word-of-mulut memainkan peran dalam pertumbuhan sharing economy. Lebih dari lima puluh tiga persen dari mereka yang menggunakan layanan ini direkomendasikan oleh seorang teman. Konsekuensi dari romosi WOM adalah bahea pengelola bisnis jasa ini harus mempertahankan dan terus meningkatkan kepercayaan baik mereka yang menyediakan fasilitasnya atau penggunanya.   

Beberapa waktu lalu,  Pemerintah AS mengungkapkan kekhawatirannya atas munculnya masalah-masalah dalam bisnis sharing economyberbagai platform yang menyediakan layanan ekonomi berbagi itu. Pemerintah AS juga tengah menyelidiki kemungkinan pelanggaran yang dilakukan Uber, platform penyedia layanan angkutan, yang bisa menekan bisnis taksi tradisional. Beberapa pengusaha taksi telah mengajukan keberatan terkait keberadaan Uber. Masalah lain adalah sejauh mana penyedia platform berhak memiliki data mobilitas pelanggan serta sejauh mana mereka memproteksi privasi.

Platform penyedia layanan akomodasi AirBnB terpaksa memberikan ganti rugi kepada pemilik rumah setelah tamunya melakukan perusakan dan pelanggaran. AirBnB berusaha meminta data formal pemilik rumah dan tamunya. Namun, ada saja kejadian yang mencoreng bisnis berbagi kamar yang bisa menggerus bisnis perhotelan. Masalah-masalah seperti ini muncul di tengah maraknya gairah ekonomi berbagi.

Orang-orang yang bergerak di teknologi sering mengklaim bahwa dengan teknologi, model bisnis baru kini bisa mengeksploitasi kemungkinan membuat sesuatu yang luar biasa. Pada kenyataannya, teknologi saja tidak cukup. Mereka masih membutuhkan hubungan dengan pelanggan yang bentuknya kini sama sekali baru, meski memiliki satu kesamaan, yakni pelanggan memiliki kontrol atas seluruh proses, dari awal sampai akhir. Kuncinya adalah layanan optimal. Ini yang seringkali membuat pelanggan berbahagia.
Hubungan sosial yang didorong oleh web dan jaringan mobile telah menciptakan kolaborasi dan kerjasama tidak pernah terjadi sebelumnya. Ironisnya semua teknologi ini lah membantu meningkatkan interaksi manusia ini bukan persoalan suka atau berbagi. Teknologi memfasilitasi hubungan pelanggan baru. Pengalaman pelanggan menjadi semakin penting sebagai sumber keunggulan kompetitif. Dalam sebuah penelitian, 73% responden menyatakan bahwa bahkan ketika saluran digital perusahaan bekerja dengan sempurna, mereka masih menginginkan  memiliki akses ke manusia secara nyata.
Digital customer relationship bisa mengarahkan perusahaan pada keunggulan operasional digital (efisiensi dan peningkatan pengalaman pelanggan). Bagi sebagian besar perusahaan, ini akan menjadi suatu kondisi minimum untuk sukses. Akan tapi sekadar operasi digital tidak akan cukup untuk membedakan mereka dari pesaing. Dengan kata lain, transformasi digital memang dapat menjangkau sesuatu sesuatu yang jauh, mahal dan sebelumnya sepertinya sulit. Tapi itu saja tidaklah cukup.
Membawa orang untuk berbagi kepentingan bersama selalu menciptakan suasana yang menyenangkan. Jika Anda mengetahui sebuah kafe yang berhasil membuat pengunjungnya bahagia, itu mungkin itu café favorit Anda dan juga kafe favorit banyak orang lain.  Jika pemilik café ini kreatif, memiliki empati dan  gairah, dia dapat mengubah tempat itu menjadi tambang emas. Ini adalah elemen yang dibutuhkan untuk menciptakan hubungan manusia yang sempurna. Itulah inti dari membangun hubungan melalui serangkaian interaksi manusia. Hubungan pelanggan modern tidak hanya butuh digitalisasi, tapi juga perlu elemen emosional yang kuat.
Disinilah muncul gagasan untuk menggunakan model crowd economy ketimbang sharing economy. Crowd economy merupakan pengembangan dari crowdsourcing. Secara sederhana, crowdsourcing merupakan cara kolektif dengan mengajak khalayak umum berpartisipasi untuk memecahkan masalah yang dihadapi oleh seorang individu maupun organisasi. Umumnya, masalah akan dipecahkan sendiri secara individual maupun institusional oleh pihak internal atau dialihdayakan (outsourced) kepada pihak tertentu sebagai pihak ketiga.
Dalam bentuk yang lebih kecil dikenal dengan istilah Expertsource. Pekerjaan yang dialihdayakan kepada sekelompok para ahli termasuk dalam implementasi jenis ini. Eli Lily and DuPont memberdayakan jaringan periset handal dan para teknokrat dan memberikan penghargaan dalam bentuk finansial bagi pihak apabila dapat memecahkan masalah teknis nan kompleks yang dihadapi.
P&G menggunakan pasar yang demokratis Ideagoras dengan forum InnoCentive.com dimana para ilmuwan bekerja sama untuk memecahkan masalah riset dan pengembangan dan memperoleh sejumlah uang sebesar USD 10 ribu sampai dengan USD 100 ribu sebagai imbalannya.
Sementara itu konsumen yang berperan sebagai produsen dengan menciptakan produk untuk digunakan sendiri di permainan Second Life dikenal sebagai Prosumer. Aktivitas pekerjaan yang dilakukan berulang atau merupakan bagian dari proyek besar seperti Amazon Mechanical Turk dikenal sebagai worksource. Menurut Jeff sendiri, ada berbagai tipe crowdsourcing: Crowdvoting, Crowdfunding, Microwork, Prize Contest dan Wisdom of the Crowd.
Layanan populer dari Threadless.com dimana kalangan pecinta T-Shirt dapat mengirimkan desain yang mereka inginkan dan memilih desain mana yang akan diproduksi merupakan contoh Crowdvoting, CrowdSpring, GetAFreelancer, TopCoder dan 99designs adalah contoh lain.   
Crowd economy adalah pemberdayaan, inklusif, mengganggu serta manusia sentris. Nilai-nilai yang berpusat pada kemanusiaan tertanam dalam aplikasi crowd economy. Ini merupakan aksi kolektif,  bukan tentang perilaku massa tetapi solusi kerjasama yang memiliki sumber daya sangat bertarget uuntuk membantu masyarakat sehingga menjadi  lebih baik hidup.

Crowd economy menciptakan pengalaman nyang berarti dan nilai bersama. Crow economy mewujudkan budaya bersama penciptaan nilai dan tanggung jawab sosial yang membedakan diri dari pemikiran dan praktek ekonomi tradisional. Orang didorong terus berinisiatif untuk mewujudkan misi yang lebih besar untuk menciptakan solusi yang bekerja untuk, dan, dengan semua pemangku kepentingan. Hubungan pelanggan modern tidak hanya butuh digitalisasi, tapi juga perlu elemen emosional yang kuat. Bagian ketiga buku ini menggambarkan saat ketika unsur manusia (melalui emosi) membawa nilai tambah bagi hubungan pelanggan digital. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar