Senin, 28 Desember 2015

Mantra-Mantra Yang Mengubah Orang dari Menolak Menjadi Mendukung Perubahan



Dalam tulisan saya sebelumnya, orang yang menolak perubahan pada dasarnya adalah mereka yang belum siap untuk berubah. Karena itulah, agar mereka menerima atau bersedia untuk berubah, mereka harus disiapkan untuk berubah. Untuk membangun kesiapan orang untuk berubah atau melakukan perubahan, Bandura (1977) dan Fishbein dan Azjen (1975) menawarkan strategi, yakni komunikasi persuasif (baik lisan maupun tertulis), partisipasi aktif, dan pengelolaan sumber-sumber informasi eksternal.

Komunikasi persuasif merupakan proses penyampaian pesan yang secara eksplisit menekankan kesenjangan sehingga diperlukan adanya perubahan. Dalam kaitannya dengan isi pesan, Armenakis et at. (1999) mengajukan lima domain pesan penting dalam komunikasi perubahan. Kelimanya adalah discrepancy (kesenjangan), efficacy (kemanjuran), approriatteness (ketepatan), principal support (dukungan) dan valensi pribadi. Sentimen yang dihasilkan dari kelima isi pesan tersebut adalah membentuk motivasi individu, sikap positif (kesiapan dan dukungan) atau negatif (resistance) terhadap perubahan.

Pesan-pesan kesenjangan membentuk sikap karyawan bahwa perubahan dibutuhkan dan biasanya ditunjukkan dengan memperjelas perbedaan kinerja organisasi saat ini dengan kinerja yang diinginkan (Katz dan Kahn, 1978). Komponen pertama ini untuk menjawab pertanyaan, "Apakah perubahan diperlukan?"

Kesenjangan didefinisikan sebagai perbedaan antara kondisi saat ini dan kondisi ideal atau yang diinginkan. Sampai anggota organisasi menyadari bahwa kondisi saat ini sebenarnya tidak diinginkan dan mereka lebih menyukai keadaan yang berbeda, maka mereka seperti tidak mendapatkan insentif untuk mempertimbangkan perlunya perubahan. Beer et al. (1990a) berpendapat bahwa perubahan tidak terjadi sampai anggota organisasi menyadari bahwa ada kondisi yang jelas-jelas berbahaya yang dalam waktu dekat bakal terjadidan.

Masalah yang nyata dan langsung tersebut harus diatasi jika ingin organisasi tetap berjalan (hal. 55). Salah satu cara yang bisa digunakan untuk menunjukkan adanya kesenjangan tersebut adalah dengan memberikan peraga perbandingan produk tanaman kelompok yang diharapkan melakukan perubahan dengan produk pesaing. Dalam contoh lain, Galpin (1996) memperlihatkan suatu produk yang dihasilkan sebuah perusahaan petro-kimia yang menggunakan standar industri untuk menunjukkan kepada karyawannya tentang perlunya perubahan tertentu.

Appropriateness (ketepatan) mengacu pada sentiment bahwa suatu perubahan itu penting.  Dalam kegiatan perubahan pertanyaan yang muncul adalah "Apakah perubahan yang ini yang tepat?" Selanjutnya mereka bertanya, bertanya, "Berubah menjadi apa?" Yang sering terjadi, ketika inisiatif perubahan diperkenalkan oleh pengelola organisasi, maka sebenarnya hal tersebut tidak dilakukan dalam ruang hampa. Ketika usulan perubahan itu diajukan, tidak tertutup kemungkinan adanya individu atau kelompok yang setuju tentang perlunya perubahan tertentu. Namun demikian, ada pula yang tidak setuju dengan perubahan tertentu yang diusulkan.

Dalam kaitan tesebut pengelola organisasi tidak hanya harus menunjukkan bahwa ada kebutuhan bagi organisasi untuk melakukan perubahan, melainkan juga harus memberikan informasi bahwa inisiatif perubahan yang diusulkan adalah yang benar. Beckhard dan Harris (1987) mengamati bahwa pertanyaan diagnostik kunci yang perlu dijawab dalam memperkenalkan inisiatif perubahan adalah apakah inisiatif ini dimaksudkan untuk memperbaiki atau meningkatkan kondisi yang sudah ada.

Harus diakui bahwa bisa muncul fenomena anggota organisasi setuju bahwa perubahan diperlukan, namun bisa juga ada yang setuju dengan inisiatif perubahan yang diusulkan (Kissler, 1991). Pada kondisi tersebut, peneglola harus bisa menciptakan lingkungan partisipatif. Penelitian yang dilakukan Kissler (1991) menunjukkan bahwa sebuah organisasi yang mendorong anggotanya berpartisipasi, dapat membuat anggotanya lebih terlibat untuk meningkatkan efektivitas perubahan organisasi.

Persoalannya, tidak jarang terjadi supervisor level menengah mengakui adanya kebutuhan untuk meningkatkan efektivitas organisasi, namun mereka tidak mendukung lingkungan yang partisipatif. Karena itu, untuk mendukung sikap bahwa perubahan yang dilakukan sudah sesuai, diperlukan kesepatan bahwa inisiatif perubahan yang diusulkan sesuai. Selain itu, harus ada kesepakatan bahwa inisiatif ini adalah sejalan dengan budaya, struktur, sistem formal organisasi (Buller et al., 1985). Dengan demikian, kesesuaian inisiatif perubahan dengan organisasi adalah untuk menjawab pertanyaan apakah insitiatif perubahan sudah benar atau tidak.

Sementara itu, resistensi yang dihasilkan mereka jelas bermaksud baik dan berpotensi menguntungkan karena didasarkan pada ketidaksepakatan tentang kelayakan suatu perubahan. Jika pesan perubahan tidak dapat meyakinkan orang lain bahwa perubahan yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan mereka, maka harus dilakukan upaya untuk mempertimbangkan kembali apakah perubahan yang dilakukan itu sudah tepat. Armenakis et al. (1990), memaparkan kesalahan yang dilakukan eksekutif, manajer, dan konsultan dalam membuat dalam diagnosis organisasi. Jika beberapa kesalahan-kesalahan ini lazim maka perubahan organisasi yang dirancang untuk merespon diagnosis mungkin tidak tepat dan tidak efektif.

Komponen pesan ketiga adalah principal support (dukungan utama). Komponen ini menjawab pertanyaan, "Siapa yang mendukung perubahan ini?" Menurut Armenakis et al. (1999) bentuk dukungan yang diperlukan adalah "memberikan informasi dan meyakinkan anggota organisasi bahwa pemimpin formal dan informal berkomitmen untuk membuat pelaksanaan ... perubahan berhasil" (hal. 103).

Perubahan membutuhkan sumber daya dan komitmen untuk melihatnya sampai pada tingkatan pelembagaan. Karyawan yang telah melihat begitu banyak upaya perubahan namun karena kurangnya dukungan, mereka menjadi skeptis dan tidak mau mendukung secara aktif perubahan sampai dukungan tersebut mereka lihat secara jelas ada.

Ketika inisiatif perubahan diperkenalkan, anggota organisasi akan melihat apakah manajemen serius terhadap perubahan yang diusulkan. Dukungan tersebut makin diperlukan manakala melihat bahwa sebenarnya perubahan pernah diusulkan namun tidak ada tindak lanjut atas inisiatif perubahan masa-masa sebelumnya itu, atau perubahan terakhir yang dilakukan gagal.  Untuk memahami inisiatif perubahan dan motif manajemen, anggota organisasi akan mencari informasi dari sumber selain para manajer atau sumber formal yang memperkenalkan perubahan. Sumber ini biasanya dianggap oleh karyawan sebagai yang dapat diandalkan.

Larkin dan Larkin (1994) percaya bahwa pengawas yang berhubungan langsung dengan karyawan adalah individu memiliki peran paling penting dalam menggalang dukungan dari anggota organisasi untuk inisiatif perubahan. Ketika kepemimpinan mengumumkan perubahan, karyawan sering berubah menjadi atasan langsung pada saat di memberikan penjelasan tentang makna perubahan. Jika atasan langsung juga tidak menyadari pembenaran untuk perubahan, kesiapan bisa berdampak baik bagi anggota maupun pengawas.

Demikian juga, rekan-rekan karyawan juga mempunyai peran dalam memberikan penjelasan tentang arti penting inisiatif perubahan yang diajukan. Rousseau dan Tijoriwala (1999) menemukan bahwa anggota organisasi di rumah sakit tidak mempercayai manajemen puncak, namun mereka mempercayai persepsi rekan-rekan mereka.

Meskipun beberapa bukti menunjukkan tentang peran penting pengawas langsung dan rekan-rekan sekerja karyawan dalam menciptakan kesiapan untuk perubahan, namun hal tersebut tidak boleh diasumsikan bahwa dukungan ini hanyalah persoalan tingkat dukungan. Perubahan biasanya diperkenalkan dan didorong oleh manajemen puncak. Dengan demikian, reaksi mereka terhadap inisiatif perubahan yang diajukan dapat mengakibatkan munculnya perasaan beban berat di pikiran anggota organisasi.

Covin dan Kilmann (1990), misalnya, melaporkan bahwa visibilitas dukungan dan komitmen untuk perubahan menciptakan persepsi positif dari perubahan. Sebaliknya, kurang tampaknya dukungan atau perilaku yang tidak konsisten pada bagian-bagian tertentu manajemen dapat menyebabkan munculnya persepsi negatif tentang perubahan. Contoh tentang pentingnya dukungan utama digambarkan oleh Vollman (1996). Vollman adalah seorang konsultan di sebuah perusahaan dengan sistem informasi manajemen yang kacau-balau. Vollman dan rekan-rekannya merekomendasikan sistem baru untuk diterapkan organisasi.

Namun demikian, ada seorang eksekutif kunci -- yang menentang perubahan – yang kebetulan memegang begitu banyak kekuasaan dalam organisasi. Melihat kondisi tersebut, Vollman dan rekan-rekannya merekomendasikan agar organisasi menunggu dan tidak melakukan perubahan sampai eksekutif tadi pensiun. Dalam sebuah penelitian terhadap 91 rumah sakit, Nutt (1986) menemukan bahwa taktik perubahan yang paling berhasil  adalah dengan membangun persepsi kepada para agen perubahan terlebih dahulu bahwa perubahan penting, kemudian dilanjutkan dengan mendemonstrasikan dukungan para agen perubahan tersebut.

Agar individu termotivasi untuk berubah, mereka harus percaya bahwa ada sesuatu yang salah dan sesuatu yang harus berubah. Komponen pesan keempat yang diajukan oleh Armenakis et al. (1999) adalah efficacy atau sentimen kepercayaan diri bahwa mereka berhasil (Bandura, 1986). Pesn ini terutama dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan yang seringkali muncul dalam setiap perubahan seperti, "Dapatkah saya/kami berhasil membuat perubahan ini." Bandura dan Locke (2003) mendefinisikan efikasi sebagai, "... kekuatan untuk menghasilkan efek yang diinginkan. Kebalikannya adalah seseorang memiliki sedikit insentif untuk bertindak atau untuk bertahan dalam menghadapi kesulitan "(hal. 87).

Konsekuensinya, pesan yang disampaikan dalam komunikasi untuk perubahan harus mendorong individu mampu menangani perubahan dalam situasi tertentu dan tetap menjalankan pekerjaannya dengan baik meskipun berada dalam lingkungan yang berubah. Ini konsisten dengan teori harapan motivasi (misalnya Vroom, 1964), bahwa individu hanya termotivasi untuk mencoba atau melakukan perubahan bila mereka memiliki keyakinan bahwa mereka berhasil.

Karena itu, Galpin (1996) menyatakan bahwa pengelola organisasi memiliki tanggung jawab untuk menyediakan pendidikan dan pelatihan yang diperlukan anggota organisasi agar pelaksanaan inisiatif perubahan berhasil. Hal ini penting karena karyawan mungkin tidak memiliki keyakinan bahwa perubahan dapat dilaksanakan. Kegagalan manajemen dalam memberikan pendidikan atau pelatihan untuk mempersiapkan organisasi untuk perubahan dapat menyebabkan karyawan kurang memiliki rasa percaya diri berhasil dalam melaksanakan perubahan. Hal ini juga dapat menyebabkan karyawan kurang memiliki kepercayaan pada kemampuan pengelola untuk memimpin mereka dalam melaksanakan perubahan. Sebaliknya, manajemen bahkan mungkin meragukan kemampuan karyawan dalam melakukan perubahan tersebut. .

Perspektif ini sesuai dengan penelitian McCall (1993), dan Vollman (1996). Mereka menunjukkan pentingnya organisasi mengembangkan bakat kepemimpinan yang diperlukan untuk memenuhi tantangan perubahan lingkungan. McCall (1993) mengamati bahwa kegagalan memilih, melatih, dan mempromosikan orang yang siap berubah untuk menghadapi perubahan lingkungan dapat menyebabkan pengelola tidak siap mengakui perlunya perubahan, dan kemudian gagal membawa organisasi melalui tahapan dalam proses perubahan. Akhirnya, Vollman (1996) berpendapat bahwa tingkat-kegagalan yang tinggi pada inisiatif perubahan bisa disebabkan oleh kegagalan pengelola memahami pengetahuan, keterampilan, dan persyaratan kemampuan yang diperlukan bagi suatu organisasi untuk melaksanakan inisiatif perubahan.

Komponen pesan terakhir adalah valensi pribadi. Ketika dihadapkan pada situasi perubahan, karyawan sering bertanya, "Apa untungnya perubahan itu bagi saya/kita?"  “Apa arti perubahan itu buat saya?" dan sebagainya. Dalam kaitan ini, Cobb et al. (1995) mengingatkan bahwa selama perubahan berlangsung, anggota dari target perubahan akan menilai distribusi hasil baik yang positif maupun yang negatif, kewajaran perubahan, dan cara individu diperlakukan. Jadi, jika kepentingan pribadi (self-interest) individu terancam oleh perubahan yang diusulkan, kemungkinan mereka menolak (Clarke et al., 1996).

Pengamatan Armenakis et al. (1999) menunjukkan bahwa individu menganggap perubahan tidak bermanfaat bagi dirinya bila dia melihat adanya penyimpangan kebijakan dengan prosedur. Demikian pula jika merasa bahwa perubahan membuat dia merasa sakit. Pada kondisi seperti itu, karyawan cenderung menolak perubahan. Sebaliknya, jika organisasi dapat menunjukkan bahwa anggota tersebut menjadi lebih baik setelah perubahan, setidaknya dalam jangka panjang, anggota lebih mungkin menerima perubahan.

Penilaian evaluatif perubahan ini menjadi komponen kunci dari valensi. Pernyataan tersebut mempertajam temuan Goodman et al. (1980) tentang daya tarik hasil perubahan. Disini Goodman dan kawan-kawan menyatakan bahwa yang penting bukan hanya apakah ada atau tidak ada manfaat untuk berubah, tapi bagaimana menciptakan daya tarik manfaat buat anggota.

Bahkan sekalipun manajemen mampu menunjukkan adanya kebutuhan untuk inisiatif perubahan tertentu dan organisasi menjadi lebih baik -- bahkan jika karyawan mengakui manfaatnya -- dia masih fokus pada bagaimana perubahan secara individual berdampak pada dirinya. Judson (1996) yang melakukan penelitian dengan menerapkan kerangka relasional tentang bagaimana anggota organisasi melihat perubahan, menyebutkan bahwa ketika dihadapkan pada inisiatif perubahan, anggota organisasi berusaha memahami bagaimana inisiatif memiliki dampak pada pekerjaan mereka, hubungan mereka dengan rekan kerja mereka, untuk organisasi itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar