Jumat, 30 Desember 2016

KONTROL MEDIA


Dalam teori pers otoriter, control terhadap media dilakukan melalu mekanisme perizinan dan sensor. Pers bisa dimiliki oleh publik atau perorangan. Namun demikian tetap dianggap sebagai alat untuk menyebarkan kebijakan pemerintah.

Dalam teori pers liberal, John Locke (1632–1704), John Stuart Mill (1806–1873), dan Milton Friedman (1912–2006) mengilhami gagasan bahwa pers harus mendukung fungsi membantu menemukan kebenaran dan mengawasi pemerintah sekaligus sebagai media yang menyampaikan informasi, menghibur, dan mencari keuntungan.

Dalam lingkungan seperti itu, control pemerintah bergeser. Pemerintah bukan lagi sebagai pemegang control utama. Namun demikian realitasnya pemerintah tetap bisa menjadi pemegang control utama melalui mekanisme control terhadap isu.

Pada 1978, Stuart Hall dan kawan-kawan memunculkan gagasan tentang Primary Definition. Menurut Hall dkk, kelompok elit, berkat kemudahan aksesnya alam menggunakan saluran komunikasi massa, memperoleh status sebagai pendefinisi utama dalam wacana publik tentang persoalan terkini.

Interpretasi mereka tentang peristiwa dan kerangka penjelasan mereka dalam memahami peristiwa menjadi semacam konsensus, sedangkan penjelasan dan keterangan lain dikesampingan atau dipinggirkan dan dianggap tidak absah. Teoritis penyandang status ini banyak, realitasnya pemerintah mendominasi status tersebut.

Penelitian Bennet dan kawan-kawan (2007) tentang perang Irak menunjukkan bahwa dari 414 berita tentang alasan dan rasionalisasi perang yang disiarkan ABC, CBS dan NBC dari September 2002 hingga Maret 2003, hanya 34 berita yang berasal dari luar Gedung Putih.

Ini memperkuat teori Indexing News yang diajukan Benet (1990) sebelumnya yang menunjukkan bahwa media massa berita cenderung menggunakan elit pemerintah sebagai sumber-sumber resmi. Mereka cenderung mengindeks berita berbagai perdebatan resmi.

Liputan terhadap suatu isu menurun seiring dengan makin meredanya konflik antar elit pemerintah. Hal ini penting karena menurunnya liputan atas suatu isu karena telah dicapai  kesepakatan, atau isu tersebut menghilang dari agenda formal.

Intinya, hipotesis pengindeksan berita memprediksi bahwa konten berita tentang isu-isu kebijakan politik dan publik pada umumnya akan mengikuti parameter perdebatan elit. Ketika elit politik (seperti Istana, dan para pimpinan dewan, dsb) mencapai kesepakatan umum tentang suatu masalah, liputan berita atas suatu isu cenderung menurun atau berhenti sama sekali. 

Sebaliknya, ketika elit politik tidak setuju, liputan berita cenderung memblow-up ketidaksetujuan mereka. Karenanya ketika pemerintah menahan diri untuk tidak "berpendapat" tentang isu tersebut, interpretasi yang muncul adalah pembiaran. Ketika pembiaran berlangsung, yang muncul adalah prasangka.  

Dengan kata lain, isu dan pandangan media tunduk pada debat politik tingkat tinggi yang paling besar peluangnya untuk mendapatkan liputan berita yang luas. Isu-isu yang tidak diperdebatkan kurang mendapatkan perhatian secara kritis. Dengan kata lain, ketika pemerintah mendefinisikan suatu isu, selesai sudah isu tersebut. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar