Sabtu, 18 November 2017

Krisis dan Pergulatan Elite (1)


Tulisan ini dibuat dan dimuat Majalah SWA antara 1998-1999. Selama periode itu, Indonesia mengalami krisis ekonomi politik yang mendorong Presiden Soeharto setelah 32 tahun berkuasa mengundurkan diri.   

Tak seorang pun menduga bahwa krisis keuangan di Asia akan berlangsung sedemikian parah dan berkepanjangan. Rontoknya harga aset, memburuknya kondisi keuangan dan ketidakmampuan perusahaan memenuhi kewajibannya, serta melemahnya kemampuan ekonomi secara nasional sehingga berakibat pada menurunnya laju pertumbuhan ekonomi sedemikian parah. Jauh di bawah perkiraan banyak orang.

Setahun atau dua tahun sebelum krisis, beberapa ahli -- termasuk yang tergabung dalam Dana Moneter Internasional (IMF) -- sudah mengingatkan bahwa defisit neraca transaksi berjalan di Asia Tenggara sudah sama atau malah lebih tinggi dari Amerika Latin saat dilanda krisis mata uang pada tahun 1994. Mereka mengingatkan bahwa perekonomian Asia tidak kebal terhadap krisis finansial.

Peringatan itu didasari pada asumsi bahwa dengan terjadinya defisit anggaran, pemerintah menggunakan cadangan devisanya yang terbatas untuk mempertahankan kurs mata uangnya. Kebijakan ini pasti tidak akan bertahan. Karena impor yang makin menaik sementara pertumbuhan ekspor yang mendatar. Dan usaha para investor untuk mengantisipasi keadaan buruk itu, akan membuat serangan spekulatif terhadap nilai mata uang lokal tadi bertambah, apalagi saat cadangan devisanya berada pada titik kritis.

Banyak analisis berpendapat bahwa penyebab utama krisis ekonomi yang berlanjut menjadi depresi ini dikarenakan persoalan mata uang negara-negara kawasan ini. Thailand misalnya terpaksa membiarkan mata uangnya, baht, mengikuti keinginan pasar setelah dihajar habis-habisan oleh spekulan. Namun, pendapat ini tak menjelaskan mengapa Korea Selatan juga terjerambab dalam krisis ekonomi yang sama. Juga mengapa Asia dijadikan objek permainan para spekulan.

Paul Krugman, ekonom dan profesor pada Massachussets Institute of Technology, dalam sebuah ceramahnya di Tokyo, Jepang, Januari 1998, mengatakan krisis Asia sekarang ini berlainan dari krisis-krisis yang terjadi sebelumnya. Pertama, menjelang krisis, semua neraca anggaran pemerintahan di Asia itu berada dalam keadaan kurang lebih seimbang. Mereka juga tidak terlibat dalam pengadaan kredit yang tak bertanggung jawab atau melakukan ekspansi moneter. Tingkat inflasinya juga cukup rendah.

Kedua, meski memang terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi pada 1996, negara-negara Asia itu tidak mengalami masalah pengangguran tenaga kerja yang cukup berarti menjelang krisis terjadi. Dengan kata lain, tidak ada rangsangan untuk mengambangkan kurs mata uang dan melakukan kebijakan moneter ekspansif seperti yang umumnya terjadi pada krisis di Eropa tahun 1992. Ketiga, di negara-negara yang terkena krisis itu terjadi siklus "tumbuh kilat-hancur" dalam pasar aset yang mendahului krisis mata uang: saham dan harga tanah meningkat tajam dan juga lalu hancur dengan tajam.

Terakhir, di semua negara itu para pialang finansial (financial intermediary) tampaknya menjadi pemain utama. Di Thailand, peranan itu dimainkan oleh apa yang dinamakan "perusahaan finansial", sebuah lembaga nonbank yang meminjam uang dalam jangka pendek - seringkali dalam dolar AS - dan meminjamkan uang itu pada investor spekulan yang umumnya - tidak hanya - bergerak dalam usaha realestat. Di Korea Selatan, bank konvensional terlibat dalam peran seperti ini: mereka meminjam uang dalam jangka sangat pendek dan meminjamkan pada perusahaan-perusahaan besar untuk investasi yang - kemudian baru ketahuan - sangat spekulatif .

Namun, Morris Goldstein dari Institute for International Economics berpendapat bahwa seperti halnya krisis keuangan yang menimpa beberapa negara sebelumnya, krisis disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan. Dalam kasus ini terdapat tiga faktor yang dominan. Pertama, sektor finansial yang lemah. Kedua, pesoalan eksternal. Dan ketiga, efek penularan (contagion) yang berawal dari Thailand ke negara-negara lainnya.

Menurut Goldstein, lemahnya sektor finansial inilah yang membuat krisis Asia semakin menyusup ke dalam. Selama 1990-an, di negara-negara ASEAN (Thailand, Malaysia, Filipina, dan Indonesia) berlangsung booming kredit karena tumbuhnya banyak bankdan lembaga keuangan yang melebihi sektor lainnya. Longgarnya kredit ini dipicu oleh makin derasnya arus masuk dana swasta luar negeri. Sebagian besar dana-dana itu masuk ke sektor properti atau surat-surat berharga. Ketika ada usaha untuk menyejukan perekonomian dan mempertahankan kurs mata uang, secara tidak langsung menekan harga properti dan meningkatkan risiko munculnya kredit bermasalah. Kebetulan upaya mengakhiri booming kredit itu terjadi lebih awal di Thailand dan Indonesia sehingga dampaknya paling awal kelihatan.          

Analisis lain berpendapat bahwa depresi ekonomi yang terjadi belakangan dipicu oleh dua hal. Pertama, kejangakan sikap pemerintah dalam mengelola ekonomi negara. Asumsinya begini, investor lebih suka memegang mata uang negara yang tingkat inflasinya rendah dan stabil. Itu sebabnya, jika suatu negara  menerapkan sistem kurs yang dikaitkan dengan mata uang tertentu, setiap kali pemerintah menutup defisit anggaran dengan mencetak uang baru, investor cenderung untuk melepas mata uang tersebut.

Ini karena pencetakan mata uang baru yang berarti mendorog terjadinya inflasi. Kondisi ini akan berpengaruh pada cadangan devisa. Selanjutnya pemerintah tak lagi mempunyai kemampuan untuk mempertahankan nilai mata uangnya. Situasi inilah yang dimanfaatkan para spekulan untuk mempermainkannya. Namun, untuk gambaran ini tak sepenuhnya benar, sebab defisit anggaran negara-negara di kawasan Asia tidak terlalu parah.

Krisis keuangan juga bisa terjadi bila pemerintah menggunakan kebijakan moneter untuk mempertahankan mata uangnya. Misalnya dengan menaikkan suku bunga. Kebijakan ini dalam kenyataanya memperlemah kemampuan dunia usaha. Perputaran roda ekonomi justru makin lambat. Dalam kondisi ini, jika pasar bersikap ragu terhadap komitmen pemerintah untuk mempertahankan nilai mata uangnya, mereka akan menyerang mata uang negara tersebut. Namun, lagi-lagi hal ini tak berlaku umum.

Menurut Direktur Pelaksana IMF Michel Camdessus, krisis finansial Asia disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang buruk dan bukan ulah para hedge funds atau "perusak misterius". ''Saya belum pernah melihat para spekulan beraksi, jika perekonomian makro suatu negara itu kuat dan kebijakan-kebijakan pemerintahnya mantap,'' kata Camdessus seperti dikutip The Asian Wall Street Journal (3/12/1998).

Dalam kasus  Thailand misalnya, problem sebenarnya adalah kombinasi lemahnya fundamental ekonomi makro dan keengganan pemerintah untuk mengatasi itu. Cepat menyebarnya krisis Thailand ke seluruh kawasan itu, selain disebabkan karena kekhawatiran investor bahwa hal sama akan terjadi di negara-negara tetangganya, juga karena "tidak adanya transparansi" dalam perekonomian-perekonomian Asia itu sendiri. Ini menyebabkan para investor yang semula cenderung memilih tidak mempertanyakan problem menyangkut kredit macet (yang melibatkan kolusi erat perbankan, perusahaan swasta dan pemerintah) menjadi memutuskan bahwa lebih aman bagi mereka untuk mempercayai "yang terburuk".

William Nicol, staf ahli OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) berpendapat, spekulasi uang dapat di atasi Korea, Jepang, dan Asia Tenggara, bilamana negara-negara tersebut telah membereskan utang-piutangnya sedini mungkin (Kompas, 29 Desember 1997). Menurut Nicol, perkembangan perekonomian negara mana pun, dalam kapasitas tinggi tidak dapat terus-menerus seluruhnya di danai oleh kredit pinjaman. Tetapi, kesalahan itu bukan hanya pada para peminjam (borrower), tapi juga pada mereka yang meminjamkan dana.

Mereka terus-menerus menawarkan kelebihan dana mereka untuk investasi di mana saja, tanpa memeriksa dengan teliti kemungkinan keuntungan yang masuk akal yang dapat diraih dari sesuatu proyek. Misalnya, 19 Desember 1997 lalu Filipina menerima bantuan Bank Dunia sebesar US $ 3 miliar dengan bunga rendah. Padahal proyek yang disodorkan itu nilainya US $ 2,5 miliar.

Menurut mantan Menteri Perdagangan Indonesia Prof. Dr. Satrio Budihardjo (Billy) Yoedhono, seharusnya perbankan memeriksa dengan perhitungan rinci, kemungkinan-kemungkinan keuntungan yang dapat diraih, apakah itu yang berjangka panjang dalam paket dana pensiun atau asuransi jiwa, ongkos pembangunan infrastruktur proyek negara, dan proyek jangka pendek yang harus jatuh tempo, dengan penjadwalan tertentu. Mereka juga yang harus menentukan apakah penjadwalan itu pantas atau tidak.
                                                          
Hal itu menunjukkan adanya ketidakefisienan di sektor riil dan rapuhnya sistem perbankan yang ditunjukkan dengan lemahnya kontrol. Dengan demikian, pada dasarnya, krisis yang terjadi di beberapa negara Asia -- termasuk Indonesia -- bukan hanya disebabkan oleh faktor fundamental, namun juga sektor riil yang diperparah oleh kegagalan sektor finansial. Sektor finansial disini bukan hanya sekadar perbankan, tapi juga lembaga keuangan lainnya.    

Menurut laporan Bank Dunia, ada empat persoalan mikro ekonomi yang membuat Indonesia menjadi negara yang paling parah menderita krisis. Dalam laporan ini bank Dunia mengakui bahwa krisis Thailand memang menyebabkan serangkaian kejatuhan mata uang negara-negara sekelilingnya. Tetapi terdapat empat faktor yang membuat ekonomi Indonesia terpuruk. (The Asian Wall Street Journal, 20 Juli 1998).

Pertama, pembengkakan utang swasta -- terutama yang tidak dilindung nilai (hedge) yang berlangsung sejak 1992. Kedua, krisis perbankan. Soal ini sebenarnya sudah diketahui sejak beberapa tahun sebelumnya, namun perbankan masih saja melakukan ekspansi kredit. Penegakan disiplin yang dilakukan Bank Indonesia belum berhasil mengendalikan persoalan pemberian kredit dalam satu group, konsentrasi kredit, dan kriteria kelayakan kredit. Selain itu, sejumlah besar bank modalnya masih di bawah standar dan insolvent.
Ketiga, mencakup persoalan pemerintahan yang bersih. dalam laporan tersebut disebutkan bahwa sebelum Juli 1997, beberapa survey yang dilakukan saat pasar modal bergairah terdapat beberapa persoalan yang muncul di permukaan. Beberapa investor menunjukkan rasa keprihatinannya tentang birokrasi, suap, korupsi, insider trading, dan kesehatan sistem finansial Indonesia. Menurut Bank Dunia, Indonesia memiliki sistem perundangan yang lemah, pemerintah tidak transparan dalam mengambil kebijakan, dan kuatnya pengaruh politik dalam kegiatan-kegiatan bisnis.

Sementara itu di bidang politik, terdapat persoalan politik yang kurang menguntungkan. Seperti dimaklumi, krisis keuagan mulai meng'gigit' Indonesia enam bulan sebelum Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Celakanya, sampai lima bulan Indonesia memasuki krisis, masih belum ada tanda-tanda yang jelas sekitar pengganti Soeharto. Padahal, karena persoalan umur dan kesehatan, soal suksesi ini menjadi sangat penting. Yang keempat adalah soal gelombang panas El Nino. Musim kemarau berkepanjangan yang disebabkan gelombang panas ini menyebabkan kekeringan dan kebakaran hutan. Akibatnya, banyak terjadi kegagalan panen atau mundurnya masa tanam beberapa komoditi pangan.      

Namun di balik semua itu terkandung pergulatan di kalangan elite pemerintahan sekitar penanganan krisis. Saat-saat awal terjadinya krisis di Thailand -- yang ditandai dengan jatuhnya nilai baht -- misalnya, kalangan elite pemerintahan Indonesia menganggap sebagai persoalan rutinitas. ''Sebab kita kan mempunyai banyak pengalaman dengan penurunanan rupiah. Ketika wafatnya Ibu Tien Soeharto, kasus 27 Juli 1996, berobatnya Presiden Soeharto ke Jerman. Dan setahun sebelumnya, ketika terjadi krisis Meksiko, kita selamat,'' kata mantan Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono.

Saat itu, senjata yang dimainkan Indonesia adalah pelebaran kurs batas intervensi dan memperketat likuiditas. Namun, ketika pelebaran batas kurs intervensi tidak mampu membendung kekuatan pasar, pemerintah -- menurut pengamat ekonomi Dr. Rizal Ramli -- mulai panik. Likuiditas sangat diperketat. Suku bunga dinaikkan, dana BUMN ditarik dan dikonversi ke Sertifikat Bank Indonesia, dan penghentian perdagangan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU). Hal ini membuat Indonesia kekeringan rupiah.

Sampai pada keputusan Indonesia meminta bantuan Dana Moneter Internasional (IMF), elite pemerintahan nampaknya tidak seia sekata lagi. Keputusan itu menunjukkan kemenangan kalangan teknokrat yang lebih cenderung kepada ekonomi pasar. Kubu teknokrat -- antara lain Soedradjad, Menko Ekuin Prof Salef Afiff -- beranggapan bahwa dengan meminta bantuan IMF, kepercayaan pasar terhadap rupiah diharapkan pulih. Namun, menurut Menteri Keuangan Kabinet Pembangunan VII Fuad Bawazier, Pak Haryto tak sepenuhnya yakin. Itu sebabnya, menurut Fuad, keputusan itu bukan sepenuhnya diambil Pak Harto. Karena pada dasarnya Pak Harto lebih memilih kerjasama bilateral.

Puncak pergulatan itu adalah ketika Indonesia tiba-tiba mengumumkan rencananya untuk menggunakan Currency Board System (CBS) untuk memperkuat nilai mata uang rupiah. Rencana ini mendapat tentangan habis-habisan dari para teknokrat, termasuk Prof. Widjojo Nitisastro yang saat itu menjabat Wakil Ketua Dewan Pemantapan Ekonomi dan Keuangan. ''Pokoknya, ekonom yang normal pasti menolak gagasan itu,'' kata Soedradjat. Di sisi lain, Presiden Soeharto mendapat dukungan dari kalangan praktisi -- birokrat dan pebisnis. IMF sendiri menolak gagasan itu. ''Namun saya melihat alasannya bukan bersifat ekonomi namun lebih bersifat politis,'' kata Fuad Bawazir, orang yang disebut-sebut sebagai penggagas penerapan CBS di Indonesia.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar