Minggu, 31 Desember 2017

Kali Ini Saya Ingin Mengganggu (Disrupt) Pikiran Pemerintah


Dalam dunia bisnis yang berubah tiada henti, hanya ada satu cara untuk memenangkan permainan: Transform it completely. Ini membutuhkan sebuah revolusi dalam pemikiran - sebuah aliran strategi yang mengganggu dan solusi tak terduga.

Mantra lama, "differentiate or die” (membedakan atau mati) kini tidak lagi relevan. Kenapa? Saat ini sudah terlalu banyak diferensiasi yang terjadi. Dengan berpegang teguh pada mantra "membedakan atau mati", bisnis besar dan kecil semakin menyulitkan pelanggan (dan calon pelanggan mereka) untuk membedakan antara perubahan yang dalam dan bermakna dan hal baru yang dangkal dan dangkal.

Akibatnya, dengan kelebihan penawaran serupa di pasar, semua orang mengklaim "berbeda"  -- yang secara teoritis seharusnya memberi nilai tambah pada produk atau layanan perusahaan – akibatnya hampir tidak mungkin bagi bisnis untuk membuat produk mereka diperhatikan dan mendapatkan tanggapan yang berharga dari target marketnya.

Selama ini masih banyak perusahaan yang berkutat pada upaya untuk menemukan diferiensi produk dari sisi fitur. Jarang perusahaan yang memikirkan tentang bagaimana menciptakan suatu produk atau jasa yang ditujukan untuk konsumen yang selama ini belum terpenuhi kebutuhannya oleh produk atau merek yang ada. Ini bisa jadi karena akses mereka yang terhambat atau ketidaktahuan mereka atau kemampuan mereka menjangkau produk tersebut.

Situasi ini yang kemudian berusaha diatasi oleh Presiden Jokowi melalui pembangunan infrastruktur yang pada intinya membuka akses daerah atau masyarakat yang selama ini tidak bisa menjangkau atau dijangkau. Persoalannya adalah bagaimana kemudian membuat akses tadi dimanfaatkan oleh masyarakat yang baru terbuka tadi. Sulit mengharapkan mereka bergerak sendiri. Mereka harus didorong untuk bergerak memanfaatkan akses itu untuk meningkatkan kehidupannya.

Pemerintah DKI kini menghadapi persoalan penataan Tanah Abang. Pasar Tanah Abang sejak lama menjadi destinasi belanja masyarakat kelas menengah. Dalam bayangan saya, yang membuat Pasar Tanah Abang menarik adalah kemudian aksesnya. Banyak pedagang Pasar Bogor misalnya yang saya kenal kulakannya ke Pasar Tanah Abang. Mereka tidak bermobil melainkan berkereta. Ini membuat trafik antara stasiun dan pasar menjadi tinggi. Ini juga menjadi daya tarik pedagang. Daya tariknya makin tinggi paska pasar direnovasi.

Ini yang membedakan Pasar Tanah Abang dengan Pasar Mayestik misalnya sehingga Pasar Tanah Abang jauh lebih berkembang.  Pasar Mayestik sebenarnya mempunyai potensi untuk berkembang, sayangnya aksesnya yang hanya bisa dijangkau dengan moda transportasi mobil atau motor membuat orang – terutama dari luar daerah -- harus mempertimbangkan Pasar Tanah Abang sebagai pilihan belanja. Demikian pula dengan Pasar Jatinegara.

Beberapa waktu lalu, Majalah SWA-MIXdan Business Digest bekerjasama dengan Yayasan Danamon Peduli menyelenggarakan Forum Pembelajaran Inovasi Pasar Rakyat. Dalam presentasinya, pengelola pasar Koja menyatakan ambisinya untuk bisa menjadikan sebagai pasar alternative Pasar Tanah Abang. Namun sekali lagi mereka juga terkendala akses.

Potensi lainnya yang bisa dikembangkan sebagai alternatif adalah Pasar Bogor. Disini akses dan lokasi mudah dijangkau dengan kereta. Tinggal akses dari daerah di Jawa Barat lainnya yang mungkin perlu dikembangkan. Bukanah kini sudah akses kereta ke Sukabumi?  

Penelitian saya menunjukkan bahwa pasar meningkatkan daya tariknya paska direvitalisasi. Pengunjung meningkat meski belum tentu membeli. Disini kelebihan pedagang pasar Tanah Abang. Mereka piawai dalam local marketing. Mereka aktif mempersuasi pembelanja untuk membeli produknya. Ini berbeda dengan pasar lainnya. Di Pasar Blok F Bogor misalnya, berdasarkan penelitian saya, pedagangnya pasif, menunggu pembeli. Ini tipikal pedagang pasar tradisional yang diantara pedagang tidak terdapat persaingan.

Dalam buku Peddlers and Princes: Social Development and Economic Change in Two Indonesian Towns (University Of Chicago Press, 1963), Clifford Geertz, antropologis ternama, menyebutkan bahwa dalam pasar tradisional yang terjadi bukan persaingan antara pedagang dan pedagang lainnya, melainkan antara pedagang dan pembeli. Ini yang kemudian melahirkan teori sliding price, harga meluncur ke bawah akibat kegigihan pembeli dalam menegosiasikan harga yang ditawarkan pedagang.   

Ini yang kemudian memunculkan pertayaan, mengapa pemerintah tidak memecah Pasar Tanah Abang dengan melahirkan sentra-sentra pedagangan lainnya? Menjelang krsisi ekonomi tahun 1998 sejatinya pemerintah berhasil memecah pusat-pusat perdagangan yang selama itu berpusat di Glodok dengan melahirkan konsep trade center seperti ITC Fatmawati, Senayan dan sebagainya. Sayangnya krisis segera melanda. Kedua aksesnya juga tidak semudah Pasar Tanah Abang misalnya yang bisa dijangkau masyarakat dengan kereta.

Dalam literatur teori inovasi, ungkapan disruptive (mengganggu) diasosiasikan dengan gagasan tentang disruptive technology (teknologi yang mengganggu) yang digambarkan Clayton Christensen dalam bukunya The Innovator's Dilemma. Christensen mengamati bahwa teknologi yang mengganggu sering masuk di bagian bawah pasar, di mana perusahaan mapan mengabaikannya. Mereka kemudian tumbuh pada titik dimana pengaruh mereka melampaui sistem lama. Namun, dalam realtitasnya gagasan “mengganggu” tidak begitu banyak diimplementasikan banyak perusahaan sehingga mereka bisa menemukan dan bereaksi terhadap perubahan teknologi yang mengganggu pasar.

Menjadi perubahan yang mengganggu dalam industri adalah jenis usaha baru yang mungkin termasuk usaha kecil yang terbaik. Ini adalah cara berpikir yang dapat dipelajari dan diterapkan secara efektif oleh perusahaan atau organisasi baik besar maupun kecil atau bahkan calon industri yang bersedia menantang status quo di manapun mereka berada.

Tidak ada waktu yang lebih baik untuk menantang status quo daripada saat ini. Perusahaan atau yang menang dalam dekade mendatang adalah perusahaan yang memproduksi dan menerapkan gagasan yang tidak mudah dipahami atau direplikasi oleh pesaing. Perusahaan akan membuat kategori baru dan mendefinisikan ulang yang lama.

Pelanggan pada dasarnya mengubah apa yang mereka inginkan dari produk dan layanan yang mereka alami. Internet dan infrastruktur koneksi masif sudah menemukan kembali banyak industri, namun saat ini bisa jadi tahapannya masih menggaruk permukaannya. Merlimpah potensi di baliknya. Saat ini, pada dasarnya kita masih dikelilingi oleh banyak produk, layanan, dan model bisnis yang dibangun berdasarkan logika masa lalu. Banyak keputusan yang mendefinisikan suatu bisnis dibuat pada era bertahun-tahun yang lalu, dalam usia yang berbeda, dan konteks yang berbeda.


Dari sini pula muncul pertanyaan, kenapa tida menjadikan pasar fisik sebagai digital marketplace. Pasar fisik yang selama ini, menjadi semacam “warehouse” atau showroom untuk memfasilitasi habit showrooming yang kini semakin ngetrend. Kenapa pemerintah tidak mengedukasi pedagang pasar rakyat menjadi pedagang online yang andal?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar